Program revitalisasi kebudayaan Suku Dayak, di antaranya melalui wacana perubahan Kalimantan atau Borneo jadi Pulau Dayak, adalah salah satu langkah pengamalan ideologi Pancasila
Di Indonesia, selain dibentuk kepengurusan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MHADN), dibentuk kepengurusan serupa pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Momentum Tumbang Anoi, sekaligus menjadi bahan refleksi bagi Suku Dayak di dalam merevitalisasi Kebudayaan Suku Dayak, kembali kepada jatidiri Dayak sesungguhnya dengan doktrin manusia Dayak beradat: berdamai dan serasi dengan leluhur, alam semesta dan sesama.
Masyarakat di Indonesia, harus belajar dari China, Jepang dan Korea Selatan yang berhasil memisahkan agama sebagai sumber keyakinan iman, dan doktrin agama asli berbagai suku bangsa di wilayah itu sebagai filosofi etika berperilaku (jatidiri)
Kalaupun Borneo nantinya positif dijadikan lokasi ibukota negara, harus ada jaminan terhadap kelanjutan Program HoB, sehingga jalan keluarnya harus diberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Suku Dayak sebagai penjaga paru-paru dunia di Pulau Borneo.
Kalaupun nanti, ibukota negara tetap dipindahkan ke Kalimantan, tapi mesti ada solusi aplikatif dan posisi tawar yang kuat terhadap Pemerintah Pusat, berupa pemberian otonomi khusus kepada Suku Dayak
Kendati aksara Arab di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, dibatalkan, setelah diprotes banyak pihak, tapi aksara Arab sudah terlanjur dipasang di Tugu Perdamaian di Kota Sampit, Ibukota Kabupaten Kota Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah
Membangun Pulau Borneo dalam bentuk Otonomi Khusus dan atau Borneo Merdeka, tanpa disepakati melalui sebuah ideologi Suku Dayak yang aplikatif, hanya akan dijadikan ajang kepentingan pragmatis kaum elit internal