Kota Tua, Kota Suci, Kota Sengketa bernama Yerusalem di Israel

Yerusalem, Kota Suci, Kota Sengketa Yang Tiada Habisnya

Loading

Oleh : Aziz Kumala

JAKARTA (IndependensI.com) – Yerusalem, nama itu selalu diingat di dalam relung hati umat Islam, Kristen maupun Yahudi sebagai kota suci bagi tiga agama besar dunia itu. Yerusalem, dalam bahasa Ibrani dikenal sebagai kota damai sementara Arab menyebut Yerusalem dengan Al-Quds yaitu kota suci.

Sejarah mencatat, kota Yerusalem pernah berulang kali dihancurkan, dikepung, diserang, dan dibangun kembali. Belasan abad hingga saat ini Yerusalem masih menjadi sengketa yang tiada habisnya.

Status Yerusalem menjadi kunci konflik panjang antara Israel dan Palestina. Yerusalem mempunyai situs-situs suci di dunia serta arsitektur bersejarah. Di dalam kota tersebut terdapat pembagian wilayah bagi Muslim, Kristen, Yahudi dan Armenia yang dikelilingi oleh tembok-tembok tua.

Penulis Buku Yerusalem Trias Kuncahyono mengatakan setiap wilayah memiliki populasinya sendiri. Wilayah Armenia yang menganut Kristen paling kecil diantara wilayah yang lain. Wilayah tersebut menjadi pusat Armenia tertua di dunia.

Hal tersebut diungkapkan oleh Trias yang juga Wakil Pimpinan Redaksi Kompas dalam diskusi Kamisan Taruna Merah Putih (TMP) dengan tema “Blunder Trump di Yerusalem” di kantor DPP TMP, Jalan Cik Ditiro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Kamis (14/12/2017).

Di dalam wilayah Kristen terdapat Gereja Makam Kudus yang merupakan situs penting bagi umat Kristen di seluruh dunia. Di wilayah Muslim terdapat Dome of Rock dan Masjid Al-Aqsa serta dataran tinggi yang dikenal sebagai Haram Al-Sharif oleh umat Islam.

Masjid al-Aqsa merupakan tempat suci ketiga bagi umat Islam setelah Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Sementara di wilayah Yahudi terdapat tembok ratapan. Tembok ratapan merupakan bagian yang tersisa dari bangunan Bait Suci.

Situs-situs suci tersebut terkonsentrasi di Kota Tua yang lebih dikenal dengan Yerusalem Timur. Kota Tua ini menjadi situs warisan sejarah yang dilindungi UNESCO dan berada di bawah pengawasan PBB.

Hingga saat ini status Yerusalem menjadi salah satu isu pokok dalam konflik Israel dan Palestina. Selama Perang Arab-Israel 1948, Yerusalem Barat berhasil direbut dan dikuasai oleh Israel, sedangkan Yerusalem Timur termasuk Kota Lama dikuasai oleh Yordania.

Namun setelah Israel berhasil memenangkan Perang Enam Hari pada 1967, Yerusalem Timur berhasil dikuasai oleh Israel. Kemudian, Israel berhasil mengambil paksa wilayah Yerusalem Timur dan memasukkannya sebagai wilayah mereka.

Padahal, bagi Palestina Yerusalem Timur merupakan ibu kota negara di masa depan. Sementara berdasarkan hukum internasional, Yerusalem Timur termasuk wilayah pendudukan dan mempunyai status quo di mana semua umat Islam, Kristen dan Yahudi bebas berkunjung ke kota suci tersebut dengan bebas.

Pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel akan memperkuat posisi Israel bahwa permukiman di kawasan timur kota itu merupakan komunitas Israel yang sah.

Persoalan kedaulatan kawasan Palestina itu yang menjadi pokok permasalahan dalam konflik Palestina dan Israel, disamping ada beberapa isu lainnya seperti perbatasan, keamanan, pengungsi, dan air.

Pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah melanggar hukum internasional karena tidak ada satupun hukum yang melandasi itu. Selain itu, pengakuan Amerika Serikat tersebut dapat memunculkan gerakan-gerakan bawah tanah (ekstremisme dan terorisme) mengatasnamakan pembebasan Palestina.

Gerakan tersebut dikhawatirkan akan merusak stabilitas keamanan di kawasan Timur Tengah dan mengganggu proses perdamaian negara-negara Arab dengan Israel. Solusi dua negara (two-state solution) dapat diajukan dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Paling solusi yang bisa ditempuh yaitu status Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, kata dia.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Indonesia dapat berperan aktif di dalam Organisasi Kerja Sama Islam untuk menggalang suara sesama negara-negara dunia lainnya dalam mewujudkan Palestina yang merdeka dan berdaulat.

Sementara itu dosen politik Amerika Serikat Universitas Indonesia, Suzie Sudarman mengatakan tiga pemain utama di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yaitu Arab Saudi, Iran, dan Turki yang tidak bisa bersatu menghambat penyelesaian konflik Palestina-Israel.

Ketiga negara tersebut tidak mungkin bersatu karena masing-masing memiliki kepentingan sendiri. Ia mencontohkan Arab Saudi saat ini lagi mereformasi ekonomi secara besar-besaran dengan tidak bergantung kepada sektor minyak. Pemerintah Arab Saudi kemudian bertekad melepas ketergantungan itu dengan menyusun reformasi ekonomi bernama Visi Saudi 2030.

Arab Saudi membutuhkan bantuan Amerika Serikat dalam mewujudkan Visi Saudi 2030. Arab Saudi yang hanya mengirimkan pejabat setingkat Direktur Jenderal ke pertemuan kepala negara anggota OKI menunjukkan bahwa Arab Saudi membutuhkan Amerika Serikat.

Kalau Arab Saudi berseberangan dengan kepentingan Amerika Serikat, tentu akan sulit bagi negara teluk tersebut dalam memperbaiki perekonomiannya. Dengan kata lain, imperialisme dibutuhkan Arab Saudi dalam mereformasi ekonominya.

Kemudian, Iran, negara syiah terbesar yang mempunyai perbedaan pandangan dengan Arab Saudi serta Turki dalam beberapa hal.

Salah satunya terkait Suriah, Iran adalah pendukung setia Presiden Suriah Bashar Al-Assad. Sementara Arab Saudi dan Turki adalah pendukung dan penyandang dana kelompok pemberontak Sunni yang menentang pemerintah.

Kemudian, Iran sangat mendukung perjuangan Palestina terhadap okupasi Israel dan menuduh negara-negara seperti Arab Saudi tidak memperhatikan kepedihan warga Palestina dalam memperjuangkan kedaulatan wilayah mereka.

Berbeda dengan Indonesia, Turki mempunyai hubungan diplomatik dengan negara Yahudi sejak 1950. Saat ini, nilai perdagangan Turki-Israel jauh lebih besar dari total nilai perdagangan Turki dengan negara-negara Islam keseluruhan.

Ada kontradiksi yang ditampilkan Turki terkait ucapan dan tindakan terkait Israel. Turki dan Israel juga memiliki perjanjian kerja sama bilateral di berbagai bidang lainnya seperti kebudayaan, pertanian, perdagangan, ilmu pengetahuan dan keamanan.

Dengan alasan-alasan itu susah mengharapkan bantuan Arab Saudi, Iran maupun Turki dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Disamping itu, Israel tidak akan rela melepas wilayah sudah mereka kuasai.

Itu artinya perlu upaya ekstra untuk mengembalikan wilayah Palestina yang telah dikuasai Israel tersebut. Namun, Suzie Sudarman mengaku tidak setuju dengan opsi perang dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina dan akan lebih efektif melalui jalur politik. Perang justru akan membuat rumit situasi di kawasan.

Rakyat Indonesia Diingatkan Tidak Terprovokasi Krisis Yerusalem

Secara realitas, negara-negara Arab tidak mempunyai kekuatan militer yang sepadan dengan Israel. Israel adalah negara di Kawasan Timur Tengah yang memiliki kekuatan nuklir dan persenjataan yang mutakhir.

“Perang Arab-Israel pada 1948 dan 1967 dimenangkan oleh Israel. Kemudian negara-negara Arab ingin mengambil risiko dimana terjadi perang nuklir di Timur Tengah. Saya tidak sanggup untuk membayangkannya,” ujar dia.

Negara-negara Arab tidak akan sanggup memperjuangkan Palestina dengan jalur peperangan mengingat kekuatan militer yang dimiliki Israel saat ini. Salah satu cara memperjuangkan kemerdekaan Palestina, lanjut dia, dengan menempuh jalur politik atau perundingan. Indonesia yang harus berteriak secara lantang mengakui negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.

Sementara itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan Indonesia dapat menawarkan kepada dunia untuk tidak menggunakan kekerasan sebagai solusi. Cara damai yang dapat ditawarkan oleh Indonesia adalah membangun sebuah koalisi. Koalisi yang dibangun adalah koalisi memerdekakan Palestina dengan memiliki wilayah dalam waktu dekat.

Bila koalisi ini terbentuk diharapkan Presiden Trump memikirkan kembali keputusannya dan Israel segera menghentikan pembangunan pemukiman baru bagi warganya. Dengan kembalinya Yerusalem kepada orang Palestina, maka akan tercipta kedamaian di Tanah Kanaan ini.

Penulis adalah wartawan Antara