Warga Palestina mengusung jasad Mohamed Sami al-Dahdouh menuju makamnya di Kota Gaza, Palestina, Minggu (24/12/2017). Remaja berusia 19 tahun itu tewas dalam bentrokan dengan tentara Israel di belahan timur Gaza. (AFP)

Memahami Diplomasi Pejambon yang Sulit Dimengerti

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Reaksi Indonesia yang cukup agresif, terhadap keputusan kontroversil Presiden AS Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel, telah membuat Washington ‘marah’.  Reaksi agresif RI itu terlihat dari inisiatif Indonesia di KTT Luar Biasa OKI di Istambul, Turki.

Sementara ‘kemarahan’ Amerika Serikat, tercermin dari pidato Niki Haley, Duta Besar AS di Markas Besar PBB, New York, pekan lalu.

Derek Manangka

KTT OKI Istanbul, melahirkan kecaman keras terhadap Amerika Serikat. Kecaman OKI akhirnya beresonansi di PBB.

Tidak kurang dari 14 negara anggota PBB yang sebagian besar di antara mereka merupakan Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB, mengeluarkan resolusi – menentang keputusan Presiden Trump.

Di lain pihak, resolusi tersebut langsung diveto oleh Amerika Serikat. Dan sebuah veto dari Anggota Tetap Dewan Kemanan PBB, seperti Amerika Serikat, lazimnya langsung menggugurkan resolusi tersebut. Walaupun resolusi itu didukung oleh mayoritas anggota PBB. Karena begitulah aturan ataupun konvensi PBB.

Dalam vetonya, Niki Haley tidak secara spesifik menyebut nama Indonesia. Melainkan hanya memasukkan Indonesia dalam sebuah “basket” atau keranjang bersama sejumlah  negara anggota PBB.

Tetapi dimasukannya Indonesia di “keranjang” khusus, sudah merupakan sebuah sikap yang harus diperhitungkan Indonesia.

Apalagi negara-negara dalam “keranjang” itu oleh AS dinilai hanya mampu membela Palestina melalui pernyataan-pernyataan retorika. Tetapi sesungguhnya, mereka tidak memberikan bantuan secara maksimal kepada Palestina apalagi secara konsisten.

Dubes Niki Haley mengkleim, negaranya sudah mengeluarkan milyaran dolar Amerika untuk membantu pengungsi rakyat Palestina. Yang mengungsi di berbagai tempat. Mereka yang terlantar akibat konfliknya dengan Israel.

Bantuan kemanusiaan tersebut disalurkan melalui Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi atau UNHCR – United Nations High Commission for Refugee.

Indonesia disebut oleh diplomat wanita AS itu hanya menyumbang US$5.000 per tahun.

Sebuah jumlah yang relatif sangat kecil bila dibandingkan apa yang sudah diberikan Amerika.

Pengungkapan fakta oleh Dubes AS ini – jika benar akurat, merupakan sebuah upaya AS untuk “mempermalukan” Indonesia.

Setidaknya, Niki hendak berkata bahwa Indonesia yang hanya mampu berbuat “sedikit” tetapi “ngebacotnya” sangat “besar”.

Selain mengungkapkan data tersebut, Dubes Niki juga mengancam akan memberikan sanksi kepada semua negara yang mengecam keputusan Presiden AS di atas.

Artinya Indonesia sudah masuk dalam “radar” yang akan dikenai sanksi Amerika.

Kita tidak bisa menebak, apa bentuk sanksi yang akan dikenakan AS. Bisa saja AS memberi sanksi tidak langsung – misalnya mengganggu Papua, supaya di pulau paling Timur itu, bergerak lebih dinamis kekuatan anti-NKRI.  Gerakan mana akan menyulitkan pemerintah Indonesia, siapapun presidennya.

Tetapi sebagai negara berdaulat, kita Indonesia tentu saja tidak perlu takut dengan ancaman negara adidaya tersebut.

Yang menjadi persoalan ataupun pertanyaan, bagaimana kesiapan dan kemampuan kita menghadapi serta  mengatasi sanksi, apapun bentuknya?.

Atau apakah kita akan menganulir sikap kita yang sudah tertuang dalam dokumen KTT OKI Turki atau melakukan  upaya diplomasi?

Sejarah mencatat, Indonesia sebetulnya pernah dipercaya oleh Israel sebagai negara yang bisa menjadi juru damai di kawasan Israel dan sekitarnya.

Seusai Perang Yom Kippur Oktber 1973, PBB pada tahun berikutnya, 1974 membentuk pasukan penjaga perdamaian. Namanya United Nations Force II (UNEF II). Kawasan yang diawasi pasukan PBB membentang dari Sinai (Mesir) sampai dengan Gaza (Israel/Palestina).

PBB menetapkan Komandan Pasukan UNIFEL II dari Indonesia, Mayor Jenderal Rais Abin.

Dipercayanya jenderal Indonesia menjadi komandan pasukan PBB yang bertugas menjaga perdamaian antara Israel dengan negara tetangganya, hanya mungkin terjadi karena Israel sebagai salah satu negara dari yang berkonflik, ikut menyetujui.

Kepercayaan  Israel itupun membuahkan hasil positif. Jenderal asal Indonesia, mampu memimpin pasukan penjaga perdamaian sesuai tugas yang diamanatkan PBB. Rais Abin, putera Indonesia berhasil.

Israel, tidak hanya berdamai dengan Mesir ata sebaliknya. Tapi juga dengan Jordania. Salah satu keistimewaan dari keberhasilan Rais Abin ini adalah sikap Jordania. Negara yang sebagian wilayahnya seperti Yerusalem Timur, dicaplok Israel, tetapi Jordania tetap nberdamai. Padahal di wilayah yang dicaplok Israel itu terdapat masjid kebanggaan Muslim sedunia – Al Aqsa.

Dari perdebatan soal ibukota Israel,  konflik Palestina – Israel, terungkap sejumlah fakta baru dan penting. Fakta itu antara lain menunjukkan, betapa persoalan Palestina dari waktu ke waktu terus rumit.

Dan Palestina sebagai sebuah isyu, sudah menjadi seperti barang dagangan. Sejumlah negara ataupun kalangan terus memanfaatkan isyu Palestina untuk kepentingan kelompok.

Tidak semua negara sebetulnya ingin agar sengketa Palestina – Israel terselesaikan.

Ada yang berharap agar konflik tersebut tetap berlanjut atau paling tidak tetap dalam “status quo”.  Tidak bereskalasi tetapi juga tidak meredah. Dengan status itu, isyu Palestina sebagai ‘barang dagangan’  dijadikan alasan untuk menciptakan proyek bantuan.

Bahkan keputusan Donald Trump tersebut sesungguhnya ikut dijadikan komoditas. Walaupun di sisi lain, lebih pantas dilihat sebagai sebuah hadiah berbentuk pembelajaran semua generasi.

Dengan gambaran seperti ini, jika tidak cermat dalam berdiplomasi, maka cepat atau lambat – sepanjang konflik Israel – Palestina tidak terselesaikan, isyu Palestina hanya akan meninggalkan ‘bom waktu’ berbentuk bom molotov.

Kita tertarik untuk tidak dicederai oleh ledakan bom Molotov. Setiap kali ‘bom waktu’meledak, kita tergoda untuk membela Palestina dan terus memusuhi Israel.

Makin lama makin terdengar aneh. Kita tidak pernah terlibat perang dengan Israel. Namun kebencian, ketidak sukaan, kemarahan kita terhadap Israel, seolah-olah menunjukkan kita pernah menjadi korban. Israel kita tempatkan seakan-akan sebuah bangsa yang pernah melakukan genosida terhadap nenek moyang kita.

Setiap kali kita marah terhadap Israel, kemarahan itu merupakan wujud kepada kecintaan kita kepada Palestina.

Terhadap Palestina, kita selalu melihat bangsa ini sebagai komunitas yang punya ikatan darah dan keyakinan.

Kita tidak pernah melihat atau mengakui bahwa di antara bangsa Palestina itu juga ada yang keturunan Yahudi – sebuah etnis mayoritas Israel.

Pandangan dan persepsi kita tentang Palestina, banyak yang keliru.

Dan atas  alasan itulah yang nampaknya antara lain membuat Presiden Joko Widodo ikut ‘marah’ kepada Amerika dan Israel. Sampai-sampai Presiden kita ini menjadi jauh lebih pro aktif ketimbang negara yang bersengketa langsung dengan Israel – mendesak diselenggarakannya KTT Luar Biasa OKI.

Artinya ada cara pandang kita yang tidak sepenuhnya benar, tentang isyu konflik Israel – Palestina. Bahkan ketika terbersit berita bahwa di Palestina sudah muncul Partai Komunis, kita masih melihat Palestina seperti masih terdiri atas Hamas dan Al-Fatah.

Maaf berjuta maaf. Kita malas mengikuti perkembangan politik global. Informasi yang sudah menjadi komoditas utama bagi bangsa yang (mau) maju, tidak kita akui sebagai komoditas penting.

Kita juga tidak secerdas Turki, yang mampu  berdiplomasi dengan berbagai peran.

Turki tahu bagaimana bersuara lantang terhadap Israel. Tanpa membuat Israel membatalkan proyek kerja samanya dengan Turki yang bernai US$20 miliar.

Turki mengecam pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibukota negara Yahudi tersebut. Tapi pada saat yang sam Turki berjanji akan membuka kedutaannya di Israel.  Tentu saja maksudnya di Yerusalem.

Demikian juga Turki bisa berpura-pura marah terhadap Amerika, padahal Turki tetap mengizinkan negaranya sebagai salah satu basis pertahanan tentara Amerika di persimpangan Asia-Eropa-Afrika.

Turki adalah contoh negara yang pintar berdiplomasi. Tidak ada lawan yang abadi. Kecuali kepentingan.

Yang pasti di forum bilateral, terhadap Israel dan Amerika, Turki mampu bermanuver dengan suara yang berbeda, lebih lembut.

Kontras atau paradox dengan cara kita berdiplomasi.

Yang paling nyata, terlihat dari cara kita terhadap Belanda dan Jepang.

Dua negara ini, melakukan penjajahan atas Indonesia, secara kejam. Belanda dan Jepang sebagai penjajah  merampas hak-hak bangsa kita,di antaranya bahkan membunuh nenek moyang kita.

Kalaupun tidak membunuh, minimal memenjarakan atau menyiksa nenek moyang kita. En toch, kita bisa memaafkan Belanda dan Jepang. Hubungan kita dengan Belanda dan Jepang, seperti sesama manusia yang tidak pernah ada luka.

Sikap kita ini, memaafkan penjajah Belanda dan Jepang, di pertengahan tahu  1990-an, ditiru oleh Afrika Selatan.

Di bawah pimpinan Presiden Nelson Mandela, yang menjadi pemimpin kulit hitam pertama di Afrika Selatan pada tahun 1994, bangsa kulit hitam ini, memaafkan semua bentuk perlakukan tidak baik yang dilakukan bangsa kulit putih.

Hasilnya dalam waktu kurang dari 30 tahun, Afrika Selatan sudah menjadi salah satu proso kekuatan dunia  di benua Afrika.

Jadi, terhadap Turki yang menjadi tuan rumah KTT Luar Biasa OKI, kita perlu lebih awas.

Banyak fakta memperlihatkan negara ini, cukup cerdik memainkan semua isyu yang merebak di Timur Tengah atau kawasan negara-negara Islam dan dunia Arab.

Jangan melihat Turki dari kulitnya saja. Lihat dan salami apa yang ada di dalam daging dn urat nadinya.

Kita sudah dipermalukan oleh Amerika dan dikelabui oleh Turki. Jangan lagi kita menjadi “tumbal” dari negara-negara lain, khususnya yang berada di kawasan Timur Tengah. (Derek Manangka)