Kementan Larang Penggunaan AGP Pada Ternak

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) , Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menyampaikan pelarangan penggunaan Antibiotic Growth Promotors (AGP) dalam imbuhan pakan ternak bukanlah kebijakan yang diambil pemerintah secara tiba-tiba. “Kebijakan ini dilakukan pemerintah karena mengingat dampak negatif penggunaan AGP bagi kesehatan manusia,” kata Direktur Kesehatan Hewan, Fadjar Sumping Tjatur Rasa pada hari ini Kamis 7 Juni 2018 di Kantor Kementerian Pertanian.

Menurut Fadjar, kebijakan pelarangan ini juga telah diambil oleh berbagai negara di dunia utamanya di Eropa sebagai bagian dari kampanye Antimicrobial Resistance(AMR) oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Termasuk FAO dalam rilisnya tanggal 30 Mei 2018 mengingatkan kembali agar seluruh dunia segera menghentikan penggunaan Antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan.

Antimikroba merupakan salah satu temuan yang sangat penting bagi dunia, mengingat manfaatnya bagi kehidupan, terutama untuk melindungi kesehatan manusia, hewan, dan kesejahteraan hewan. Akan tetapi bagai “pisau bermata dua”, jika dalam penggunaannya antimikroba ini dilakukan secara tidak bijak dan tidak rasional, maka menjadi pemicu terhadap kemunculan bakteri yang tahan atau kebal terhadap efektivitas pengobatan antimikroba.

Di Indonesia sendiri pelarangan terhadap penggunaan AGP telah diatur dalam Undang-Undang No. 18/2009 juncto Undang-Undang No.41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyatakan tentang pelarangan penggunaan pakan yang dicampur dengan hormon tertentu dan atau antibiotik imbuhan pakan. Melalui Permentan No. 14/2017 tentang Klasifikasi Obat Hewan, sejak 1 Januari 2018 Pemerintah melarang penggunaan AGP dalam pakan. Pelarangan ini juga diperkuat dengan Permentan No. 22/2017 tentang Pendaftaran dan Peredaran Pakan, yang mensyaratkan pernyataan tidak menggunakan AGP dalam formula pakan yang diproduksi bagi produsen yang akan mendaftarkan pakan.

Lebih lanjut Ia sampaikan bahwa dalam implementasinya pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah, perguruan tinggi, pelaku usaha, Asosiasi Produsen Pakan, Asosiasi Produsen Obat Hewan dan Asosiasi Peternak Unggas telah melakukan sosialisasi terhadap kedua peraturan menteri tersebut secara intensif sepanjang tahun 2017 dan masih berlanjut sampai saat ini.

Pada kesempatan yang sama Sri Widayati selaku Direktur Pakan menyampaikan, sebelum adanya pelarangan, porsi penggunaan AGP dalam formula pakan relatif kecil hanya sekitar 0,01-0,05 kg/ton pakan. Ia sebutkan bahwa dalam berbagai diskusi yang telah dilakukan bersama stakeholder terkait, telah mengemuka sebanyak 294 produk alternatif pengganti AGP yang terdiri dari enzim, probiotik, prebiotik, essensial oil, acidifiers/asam organik, simbiotik, bioaktif tanaman/herbal. “Bahan-bahan tersebut dapat diperoleh dengan mudah dan banyak tersedia di pasaran,” ungkapnya.

Sri Widayati menegaskan, penggunaan bahan-bahan alternatif pengganti AGP akan lebih efektif jika dibarengi dengan manajemen budidaya yang baik (good farming practices) disertai penerapan biosekuriti yang ketat. Dampak positif penting pelarangan penggunaan AGP adalah mencegah gangguan kesehatan manusia yang mengkonsumsi produk ternak dan meningkatkan daya saing komoditas unggas Indonesia yang saat ini telah mampu menembus pasar ekspor yang dikenal relatif ketat seperti Jepang. Ia sebutkan bahwa, dalam kesempatan sosialisasi secara umum pelaku industri pakan ternak telah memahami dan tidak lagi mempersoalkan pelarangan penggunaan AGP.

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan AGP dan bahan pengganti AGP pada pakan unggas lokal di Vietnam dalam Asian Feed Magazine edisi April/Mei 2018, menunjukkan bahwa penggunaan essensial oil compound (EOC) memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan AGP dalam hal bobot akhir, feed convertion ratio (FCR) dan tingkat kematian (mortalitas).

Indikator Menggunakan AGP    

Menanggapi adanya isu kenaikan harga pakan yang terjadi saat ini karena adanya pelarangan penggunaan AGP dari pemerintah, Sri Widayati menyampaikan bahwa kenaikan harga lebih disebabkan adanya dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan kenaikan harga beberapa bahan pakan impor seperti bungkil kedelai (soybean meal) dan tepung tulang/daging (meat bone meal). “Jadi tidak ada kaitannya dengan adanya pelarangan penggunaan Antibiotic Growth Promotors (AGP),” jelasnya.

Lebih lanjut disampaikan dalam formulasi pakan, penggunaan bahan pakan lokal masih mendominasi sekitar 65 % dalam bentuk jagung, dedak, Crude Palm Oil (CPO) dan lain-lain. Sisanya sekitar 35% masih belum dapat diproduksi di Indonesia karena terkendala efisiensi dalam produksi seperti bungkil kedelai, tepung tulang/daging dan premiks. Sebagai gambaran porsi penggunaan bungkil kedelai sebesar 23% dan tepung tulang/daging sebesar 7%.

Sebagai ilustrasi, harga rata-rata bungkil kedelai tahun 2017 sebesar 390 USD/MT dan rata-rata harga tahun 2018 (sampai dengan Mei) sebesar 422 USD/MT atau naik sebesar 8,20%. Sedangkan berdasarkan konfirmasi dari Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) kenaikan harga pakan hanya sekitar 2-3%. Hal ini terjadi karena ketatnya persaingan antar produsen dan masih adanya stok bahan pakan di produsen.

“Dalam industri peternakan, salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penggunaan AGP yaitu dengan menerapkan praktik-praktik manajemen yang baik, sebagai aktifitas pencegahan untuk mengurangi risiko penyakit infeksi,” kata Sri Widayati. “Selain memperbaiki manajemen pemeliharaan, peternak juga perlu menerapkan prinsip-prinsip animal welfare, biosecurity dan treacibility”, pungkasnya.