Azyumardi Azra

Hijrah, Momentum Tinggalkan Adu Domba dan Hoax

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Umat muslim di seluruh dunia baru saja merayakan tahun baru 1440 hijriah pada hari Selasa (11/9/2018), sekaligus memperingati hijrahnya Rasulullah Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah.  Muhammad hijrah dalam rangka mengindari penindasan dan membangun peradaban baru yang damai, tenteram, dan adil.

Karena itulah, peringatan 1 Muharram harus jadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk meninggalkan hal-hal buruk ditengah era kemajuan informasi teknologi seperti adu domba, hoax, dan ujaran kebencian, menuju terciptanya kedamaian, kerukunan, kemajuan, dan keutuhan NKRI.

“Tahun baru hijriah jangan hanya sekadar seremoni tapi harus jadi momentum hijrah dari nilai-nilai atau perilaku jahiliyah ke makna hijrah sebenarnya yang diajarkan Rasulullah Muhammad SAW yaitu menciptakan kedamaian, kerukunan, kehidupan yang lebih baik, dan meninggalkan perilaku merusak seperti mengirim hoax, ujaran kebencian, dan fitnah di media sosial,” kata cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, CBE di Jakarta, Rabu (12/9/2018).

“Ini penting karena akhir-akhir ini medsos penuh dengan hoax, ujaran kebencian, provokasi, insinuasi (sindiran), dan propaganda radikalisme yang bisa mengancam keutuhan NKRI. Kita harus tinggalkan itu, semua ini untuk memlihara NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, dan Pancasila,” ujarnya.

Azyumardi menilai, perilaku menyebarkan hoax, ujaran kebencian, adu domba, dan lain-lain adalah perilaku jahiliyah yang dikuasai nafsu angkara murka. Ironisnya, perilaku seperti itu kini kembali marak, terutama di media sosial. ‘Penyakit’ seperti ini dinilai tidak hanya membahayakan moral anak bangsa, tapi bisa memecah belah keutuhan Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.

Dia mengingatkan semua pihak harus menjadikan tahun baru hijriah untuk membuat resolusi kebulatan tekad dalam diri masing-masing untuk meninggalkan hal-hal jahiliyah diatas menuju kebenaran yang berorientasi penciptaan perdamaian dan kerukunan dalam masyarakat. Juga meningatkan rasa saling menghargai satu sama lain terlepas dari perbedaan-perbedaan yang ada.

“Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah itu berjumpa bukan hanya dengan orang muslim tapi juga dengan orang-orang Yahudi dan juga ada umat Kristiani. Tapi beliau berdamai, menciptakan perdamaian dengan hijrahnya itu. Jadi meninggalkan nilai-nilai kalau dalam konteks sekarang nilai-nilai yang bisa menimbulkan kekacauan dalam masyarakat pada nilai-nilai keadilan, kebenaran, keikhlasan. itu nilai-nilai positif yang harus diisi dalam tahun baru 1440 hijriah,” terang Guru Besar Sejarah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini.

Azyumardi menjelaskan, penetapan tahun baru hijriah dilakukan oleh Khalifah Umar Bin Khattab atas usul Sayyidina Ali dan Sayyidina Utsman, enam tahun setelah Muhammad wafat pada 638 Masehi. Penetapan hijrah sebagai awal dari almanak Islam karena setelah hijrahnya Rasulullah dan menetap di Madinah, beliau berhasil membangun negara Madinah atau disebut sekarang daulah Madinah menjadi negara yang damai dan adil di tengah perbedaan yang ada. Selain itu, hijrah juga menjadi awal mula pembentukan masyarakat muslim yang solid dan menyatu di bawah kekuasaan keagamaan dan politik.

Sejak itu, lanjut Azyumardi, kaum muslimin menjadi terkonsolidasi sebagai umat dan sebagai nation atau bangsa yang kemudian menjadi bagian dari anggota keluarga dari negara Madinah itu. Ia menegaskan bahwa peristiwa hijrah Rasulullah Muhammad SAW menjadi peristiwa yang sangat krusial sangat penting karena menjadi titik tolak dari pembentukan umat Islam dari sudut keagamaan maupun juga dari sudut politik.

Salah satu buktinya adalah dibuatnya Piagam Jakarta. Menurut Azyumardi, sebagai kepala negara Rasulullah berusaha menciptakan kehidupan yang harmonis sehingga umat muslim bisa hidup berdampingan dengan orang yahudi dan penganut agama lain.

Setelah melalui diskusi dan musyawarah, Rasulullah akhirnya menetapkan Piagam Madinah. Isinya menjelaskan hak dan kewajiban dari warga muslim maupun non-muslim.  Pertama hak mereka untuk dilindungi nyawanya atau protection to life, kedua protection to property atau melindung harta beda.

“Jadi warga Madinah hidup dan hartanya dilindungi oleh negara, meski berbeda agama,” tukasnya.

Oleh karena, ungkap Azyumardi,  Piagam Madinah menjadi sangat penting. Bahkan seorang profesor sosiologi agama dai UCLA Prof. Robert N Bellah mengatakan Piagam Madinah ini sangat modern karena dapat meletakkan dasar-dasar toleransi, dasar-dasar kebebasan, beragama, dasar-dasar perlindungan terhadap nyawa dan juga harta benda, meskipun berbeda agama, suku. Bahkan Piagam Madinah dinilai sangat modern dibandingkan dengan Piagam PBB Universal Declaration of Human Rights tahun 1948.

“Saya kira Piagam Madinah dalam konteks ke-Indonesia-an sekarang sangat relevan, dengan umat Islam yang mayoritas juga  wajib melindungi umat non muslim serta bersama-sama membela negara dari segala upaya pecah belah,” tutur mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah ini.

Ia menyayangkan akhir-akhir ini pengertian hijrah banyak diplesetkan seiring konflik yang terjadi di Timur Tengah dan Asia Selatan. Menurutnya, dalam hal ini, pengertian hijrah dikaitkan dengan tiga konsep lain yang dianut kelompok neo khawarij. Pertama takfiri yaitu mengkafirkan muslim lain yang tidak sepaham. Misalnya kelompok tersebut punya gagasan mendirikan negara Islam atau kalau di Suriah dan Irak, ISIS ingin mendirikan khilafah, maka orang yang menolak pandangan itu dianggap kafir.

Kedua pengertian hijrah secara fisik yang mengartikan pindah dari negara muslim seperti Indonesia, ke Suriah atau Irak, dalam rangka mendukung ISIS. Menurut Azyumardi, ini jelas penyimpangan makna hijrah, karena pergi ke ISIS, itu berarti mendukung sebuah kelompok yang melakukan tindakan kekerasan, brutal, terorisme, padahal kemudian terorisme itu sama sekali tidak bisa dibenarkan dalam Islam. Ketiga jihad yaitu memerangi orang islam lain yang tidak sepaham.

“Hijrah bukan pengertian seperti itu, kita harus kembali ke pengertian hijrah yang sebenarnya. Jadi kalau ada orang yang mengartikan hijrah itu pergi ke negeri dimana ada gerakan islam garis keras atau islam teroristik, yang melakukan tindakan brutal dan tidak berperikemanusiaan, seperti ISIS, kaum muslimin harus waspada. kalau ada orang yang mengatakan hijrah artinya pergi ke wilayah isis, aatau wilayah lain seperi Boko Haram di Nigeria, itu tidak. Hijrah itu untuk tujuan perdamaian, kebaikan, perbaikan kehidupan,” pungkas pria yang dua kali mendapat gelar kebangsaan dari Kerajaan Inggris dan Jepang ini.