Kegenitan Intelektual dan Menipisnya Nasionalisme

Loading

IndependensI.com – Tidak ada salahnya apabila kita sebagai sesama anak bangsa dengan cepat saling mengingatkan dalam berbagai hal, di mana  kalau hal tersebut dibiarkan akan menjadi bias apalagi dalam hal berbangsa dan bermasyarakat, khususnya dalam memberikan suri tauladan kepada generasi muda.

Itulah yang ingin kita kemukakan berkaitan dengan kejelian dan kecepatan Prof. Mahfud MD dalam mengingatkan kita terhadap munculnya polemik atas adanya usul dari Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Sutanto, yang mengusulkan penggunaan Bahasa Inggeris dalam debat Calon Presiden/Calon Wakil Presiden periode 2019-2024.

Mungkin dari segi intelektualitas menggunakan bahasa asing adalah hal baik walaupun belum tentu benar, sebagaimana sering diperlakukan terhadap pelajar dan mahasiswa baik nasional, regional dan internasional. Tetapi untuk para calon pemimpin bangsa sendiri adalah tidak pantas menggunakan bahasa asing, sebab yang akan diurus adalah bangsa sendiri dan tentu urusan-urusan sendiri itu jauh lebih cocok dan memenuhi kebutuhan adalah perbendaharaan bahasa Indonesia sendiri dalam mengurus segala ke-Indonesiaan.

Tentu perdebatan untuk penggunaan bahasa tersebut bisa panjang dan tergantung kegenitan para penanggap, agar keren sekaligus pencitraan adalah hal biasa di tahun politik. Dan yang paling berbahaya dalam tahun politik ini setiap hal bisa digunakan untuk menjatuhkan “lawan”.

Kita tidak tahu apa motif mereka yang melontarkan ide debat Capres/Cawapres menggunakan bahasa Inggeris. Apakah dengan sepenuh hati atau berpura-pura dengan ke-genit-an intelektual atau memang nasionalisme kita sudah menipis – “setipis kartu ATM?”  Mudah-mudahan jangan sampai ke titik itu. Sebab apabila usul dan saran penggunaan bahasa Inggeris dalam perdebatan Capres/Cawapres diterima karena menganggap diri hebat dan merasakan kehebatan dengan bahasa asing, sudah perlu ditakar ulang ke-Indonesia-an kita.

Apalagi mereka yang tergolong kaum politisi, negarawan, pemimpin bangsa setuju dengan usulan tersebut. Sebab amat berbahaya apabila ada dari pemuka-pemuka bangsa ini keseringan mengagungkan bangsa lain dan merendahkan bangsa sendiri. Hal-hal seperti itu sudah harus “dididik ulang”.

Di situlah kehadiran Prof, Mahfud MD sebagai negarawan dan tokoh terpelajar dengan cepat memberikan pencerahan agar kita tidak semakin larut dengan hal-hal yang tidak perlu seperti usul pake bahasa Inggeris tersebut. Mahfud MD dengan cepat mengingatkan kita bahwa hal-hal penggunaan bahasa telah ada Undang-undangnya yaitu UU No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Di mana pada Pasal 28 menyebutkan : Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato rsmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain di sampaikan di dalam atau di luar negeri.

Selain itu Prof. Mahfud MD juga mengingatkan sebagaimana diatur Pasal 31 UU tersebut bahwa Bahasa Indonesia harus digunakan dalam Nota Kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah RI, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan WNI juga bahasa ditulis dalam bahasa pihak asing atau bahasa Inggeris.

Kelihatannya tidak sulit untuk mencerna keterangan Prof Mahfud tersebut, yang sulit dimengerti adalah para tokoh politik serta para politisi yang “terlalu maju” menggunakan kata-kata atau istilah yang mungkin “enak” di dengar kuping tetapi bermakna ganda atau malah merendahkan, seperti “tempe setipis kartu ATM”, penggunaan kata-kata terhadap Ibu-ibu diganti dengan “emak-emak”.

Mungkin saja ke-akraban dapat tercermin dari ungkapan “emak-emak” tetapi pertanyaannya, beranikah kita, saya atau Anda mengucapkan kata-kata itu kepada ibu kita sendiri? Tidak perlu dijawab tetapi mari kita menarik semua hal kepada diri kita sendiri. Jangan hanya melempar kepada orang lain, sehingga kita dapat mengerti makna dari setiap ucapan, ide maupun lontaran kita.

Kesopan-santunan harus tetap terpelihara walaupun di tahun politik, sehingga apa yang disebut politik santun dapat terwujud-nyata dalah hidup dan pergaulan kita sebagai anak bangsa yang beradab dan bermartabat.

Hal itu perlu, karena pergantian kepemimpinan nasional adalah hal biasa dan rutin setiap lima tahun sekali, tetapi keharmonisan hidup adalah bagian hidup dalam keseharian sehingga pemeliharaan dan pelestarian hidup rukun dalam pergaulan perlu dijaga dengan mengurangi hal-hal yang bisa menyakiti sesama. Marilah berkompetisi secara sehat lahir bathin sehingga terpilihpemimpin yang dapat diterima kawan maupun lawan. Kita sesama saudara, mari saling asih, saling asah dan saling asuh. (Bch)