KH Maman, “Wiranto Case” dan Deradikalisasi

Loading

Oleh. : Adlan Daie (Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat)

INDRAMAYU (IndependensI.com) – Peristiwa penusukan, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Jenderal (Purn) Wiranto di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten, baru-baru ini ditanggapi KH. Maman Imanulhaq, anggota F-PKB DPR RI dalam perspektif yang menarik untuk ditelaah lebih dalam.

Menarik, bukan saja karena mendapat sorotan publik secara luas dan kecaman dari berbagai pihak, lebih dari itu, peristiwa tersebut menghentak langsung jantung problem kebangsaan kita yang tidak cukup “diamputasi” hanya dengan “security approach” berjangka pendek melainkan secara bersamaan harus diletakkan dalam kerangka programatik untuk gerakan “deradikalisasi” bersifat jangka panjang.

Dalam perspektif KH. Maman Imanulhaq sebagaimana pernyataannya di sejumlah media menanggapi peristiwa penusukan Wiranto di atas, setidaknya menandai dua hal penting :

Pertama, secara simbolik merupakan sebuah “case‘, kasus besar yang menohok langsung pertahanan negara dan bangsa. Selain karena “korbannya”, Jenderal (Purn) Wiranto, seorang pejabat negara, pemegang kendali otoritas koordinasi keamanan negara, juga dilakukan oleh pelaku secara terbuka dengan pola serangan bersifat fisik langsung.

Inilah yang dimaksud KH.Maman Imanulhaq bahwa “negara sesungguhnya tidak dalam keadaaan aman-aman saja”, dan karena itu, menurutnya, membutuhkan performa kehadiran Badan Intelegen Negara (BIN) dan Polri yang prima dalam kerangka deteksi dini secara presisi dan penguasaan peta situasi keamanan secara optimal dan maksimal.

Kedua, dari sisi pelaku yang diduga terkoneksi dengan jaringan kelompok Jihadis dan ISIS menjelaskan kepada kita bahwa anasir-anasir radikalisme masih tumbuh bersemai di Indonesia, tidak cukup “diamputasi” bentuk kelembagaanya saja, seperti pembubaran Hizbut Tahrir Indoneaia (HTI) dan pelarangan pengajian-pengajian terpapar radikalisme. Harus dilakukan langkah-langkah komprehensif dengan sinergi lintas kementerian dan lembaga negara serta organisasi masyarakat dalam ikhtiar pencegahannya. Karena radikalisme sumber lahirnya tindakan teror dengan “daya rusak” yang dahsyat, menebarkan ketakutan di ruang publik dan menjadi ancaman nyata bagi Ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang Bhinneka Tunggal Ika.

Secara konseptual radikalisme lahir dari pemahaman doktrin agama (Islam) yang keliru. Islam dipahami dengan mengutip kitab suci (Al qur an), antara lain, sebagai “agama yang sempurna mengatur seluruh sistem kehidupan” (QS.Al Maidah:3) Karena itu, cara pandang para radikalis meletakkan Islam sebagai agama yang mengatur keseluruhan sistem hidup. Mulai dari sistem politik, sosial, hukum, ekonomi dan lain lain. Dari sinilah lahir sistem politik “Khilafah”,lahir sikap ekslusivisme mereka di ruang publik, menolak segala sistem dan ideologi lain yang dalam pandangan mereka tidak sesuai dengan doktrin Islam.

Pangkal tolak pemahaman doktrin Islam diatas itulah yang harus ” di-deradikalisasi“, bahwa Islam sebagai “rahmatan lil ‘alamin‘, rahmat untuk seluruh umat manusia dan relevan untuk segala tempat dan jaman, justru karena Islam hadir tidak menawarkan “sistem sosial dan politik” yang statis formalistik melainkan sumber nilai yang menjunjung tinggi prinsip persamaan hak dan keadilan (Al masawah Wal ‘adalah). Transformasinya dapat “diinjeksikan” dalam varian-varian sistem sosial dan politik yang beragam. Dalam perspektif inilah, Pancasila hadir sebagai titik temu nilai-nilai ke-Islaman dan kebangsaan dalam bentuk final ke-Indonesia-an kita hari ini.

Pelajaran terpenting bagi Jokowi sebagai Presiden RI dalam konteks peristiwa Wiranto (“Wiranto case“) di atas, terutama dalam konteks pembentukan Kabinet Kerja Jilid II haruslah diisi oleh figur-figur yang selain kompeten di bidangnya, integritas personalnya tinggi, juga “wabil khusus“.

Kementerian Agama (Kemenag) haruslah memiliki pemahaman keagamaan yang moderat (tidak radikalis dan tidak liberalis) secara lahir dan batin sebagai pendulum dari atas untuk memperkuat gerakan “de-radikalisasi” seluruh sistem dan instrument negara sesuai masing masing tupoksinya dan memperluas perspektif penugasan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) secara kontekstual dan adaptif dengan anasir tantangannya dalam rangka menjamin dan melindungi seluruh tumpah darah bangsa Indonesia dan tetap tegak kokohnya pilar pilar keIndonesian kita: Pancasila, UUD 1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika.