Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi

BPIP Benar, Pancasila Dibunuh, Agama Dipaksa Jadi Ideologi

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Secara realitas di masyarakat, jika dicermati dengan hati dan pikiran jernih, tidak ada yang salah dari pernyataan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Yudian Wahyudi.

Di Jakarta, Rabu, 12 Februari 2020, Yudian, mengatakan, kalau mau jujur, sehubungan adanya gerakan kelompok minoritas yang selalu ingin memaksakan kehendak, agama adalah musuh Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagai filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akan tetapi, lantaran dilihat dari kacamata politik, sejumlah pihak lantas mengecam Yudian Wahyudi.

Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas, turut mengecam Yudian. “Timbul pertanyaan kalau agama harus diberangus lalu sila pertama dari Pancasila tersebut mau dibawa ke mana. Dibuang? Kalau dibuang berarti tidak ada lagi Pancasila dan berarti negara ini bubar,” ujar Abbas, dalam keterangan tertulis, Rabu, 12 Februari 2020.

Karena itu, Abbas mendesak Presiden Indonesia, Joko Widodo, mencopot Yudian Wahyudi.

Untuk menenangkan suasana, Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin, meminta Yudian Wahyudi, memberikan klarifikasi.

“Supaya tidak terjadi salah paham, kontroversi sehingga menimbulkan kegaduhan,” kata Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) di Gedung Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jakarta, Rabu, 12 Februari 2020.

Wakil Presiden berharap dengan klarifikasi itu, tidak ada konflik di kalangan masyarakat karena pernyataan Yudian Wahyudi menyinggung kelompok-kelompok agama tertentu.

Pancasila Dibunuh
Pernyataan Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, menjadi perdebatan, karena mengatakan, Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah diterima oleh mayoritas masyarakat, seperti tercermin dari dukungan dua Organisasi Massa (Ormas) Islam terbesar, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sejak era 1980-an.

Tapi memasuki era demokratisasi ditandai Presiden Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, asas-asas organisasi termasuk partai politik, boleh memilih selain Pancasila, seperti Islam.

Hal ini, ujar Yudian Wahyudi, sebagai ekspresi pembalasan terhadap era kepemimpinan otoriter Presiden Soeharto (1 Juli 1966 – 21 Mei 1998) yang dianggap semena-mena.

“Dari situlah sebenarnya Pancasila sudah dibunuh secara administratif,” kata Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Yudian Wahyudi di Jakarta, Selasa, 12 Februari 2020.

Belakangan, kata Yudian Wahyudi, ada kelompok yang mereduksi agama sesuai kepentingannya sendiri yang tidak selaras dengan nilai-nilai Pancasila.

Mereka, ujar Yudian, antara lain membuat Ijtima Ulama untuk menentukan calon wakil presiden. Ketika manuvernya kemudian tak seperti yang diharapkan, bahkan cenderung dinafikan oleh politisi yang disokongnya, mereka pun kecewa.

“Si minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu, ya agama, bukan kesukuan,” papar Yudian.

Sebagai kelompok mayoritas yang sebenarnya, Yudian melanjutkan, NU dan Muhammadiyah mendukung Pancasila. Kedua Ormas ini tidak pernah memaksakan kehendak.

Konsep Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk seperti Indonesia, lanjut Yudian, merupakan anugerah terbesar dari Tuhan.

Dari sisi sumber dan tujuan, Pancasila itu relijius karena kelima sila yang terkandung di dalamnya dapat ditemukan dengan mudah di dalam kitab suci ke enam agama yang diakui secara konstitusional di NKRI ini.

“Tapi untuk mewujudkannya kita butuh sekularitas bukan sekularisme. Artinya soal bagaimana aturan mainnya kita sendiri yang harus menentukannya,” kata Yudian.

Secara pribadi, Yudian mengaku menerima amanah sebagai Kepala BPIP menggantikan Dr Yudi Latief yang mengundurkan diri pada Juni 2018, sebagai bentuk jihad dalam upaya mempertahankan NKRI.

Agamaisasi Ideologi
Pernyataan Yudian Wahyudi, pada dasarnya sebagai tanggapan terhadap praktik agamisasi ideologi yang dilakukan kelompok radikal yang dalam takaran tertentu selalu dikaitkan dengan salah satu dari agama yang difasilitasi Pemerintah.

Mereka ingin memaksakan sumber keyakinan iman (agama) menjadi ideologi negara. Indonesia dipaksa menganut ideologi agama yang dijadikan sumber keyakinan iman mereka.

Menanggapi hal itu, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 sebagai pengganti atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, tentang Organisasi Massa (Ormas).

Perppu Nomor 2 Tahun 2017, tentang Ormas mengatur tahapan sanksi bagi ormas anti-Pancasila yang lebih ringkas dibanding Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013.

Perppu Nomor 2 Tahun 2017, mengatur tiga tahapan sanksi terhadap Ormas. Pasal 61 Perppu Ormas mengatur sanksi administratif dengan tahapan peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Di antara Ormas yang otomatis dibubarkan, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena ideologi perjuangan politiknya tetap menginginkan ideologi Pancasila diganti dengan paham kekhilafahan.

Sasaran tudingan Yudian Wahyudi sebetulnya ditujukan kepada kelompok eks HTI yang sampai sekarang secara diam-diam selalu membawa nama Agama Islam yang selalu tetap ditentang keras NU dan Muhammadyah.

Karena kehancuran Indonesia, apabila antara agama sebagai sumber keyakinan iman dipaksakan menjadi ideologi NKRI sebagai pengganti ideologi Pancasila.

Padahal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, setiap warga negara harus memaknai dalam konteks yang berbeda antara agama sebagai sumber keyakinan iman dan Pancasila sebagai ideologi (filosofi etika berperilaku di dalam masyarakat).

Demi keutuhan NKRI, antara keduanya tidak bisa dicampur-adukkan, karena ideologi Pancasila sudah merupakan kesepakatan nasional sebagai filosofi di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bukan berdasarkan ideologi agama tertentu.

Sementara agama, adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhan. Eksistensi Pemerintah Republik Indonesia di dalamnya hanya sebatas memfasilitasi dari aspek teknis melalui keberadaan Kementerian Agama Republik Indonesia.

Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 1966), mengatakan, ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia.

Itu berarti dengan mencintai dan dan melestarikan kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila.

Karena tidak mungkin seseorang yang sudah memeluk Agama Katolik sebagai sumber keyakinan imannya, misalnya, semerta-merta berubah menjadi suku bangsa Yahudi, hanya lantaran sumber doktrin Gereja Katolik sebagian berurat berakar dari kebudayaan suku bangsa Yahudi.

Sementara status kesukuan seseorang di Indonesia akan melekat di dalam dirinya sampai akhir hayat. Bahkan, sampai di dalam kubur sekalipun, di batu nisan, status kesukuan seseorang tetap akan melekat di dalam dirinya.

Ideologi Pancasila, sejalan dengan konsep trilogi peradaban kebudayaan suku-suku bangsa di Benua Asia, yaitu hormat patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan berbagai suku bangsa di Benua Asia dimaksud, sebagai pembentuk karakter dan jatidiri manusia di Benua Asia yang beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Pembentuk karakter dan jatidiri manusia di Benua Asia yang beradat, itu, lahir dari sistem religi yang berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari berbagai suku bangsa yang bersangkutan.

Jadi, faktor pembentuk karakter dan jatidiri berbagai suku bangsa di negara manapun di dunia, selalu bersumber dari sistem religinya, bukan satu-satunya dari sumber keyakinan imannya.

Karena karakter dan jatidiri orang Arab dengan orang Indonesia, tentu, sangat berbeda, kendatipun dari sumber keyakinan imannya antara keduanya sama, seperti sama-sama pemeluk Agama Katolik, misalnya.

Apabila seseorang selalu memaksakan kehendak, sumber keyakinan iman menjadi ideologi negara, maka di situlah bukti seseorang sudah kehilangan karakter dan jatidiri yang sekaligus titik awal kehancuran NKRI berideologi Pancasila. (Aju)