Kementerian Pertanian mengatakan telah memiliki beberapa langkah untuk memastikan ketahanan pangan

Menteri Pertanian: Sampai Tahun Depan Kebutuhan Pokok Teredia dan Terkendali

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Pangan menjadi faktor yang sangat penting bukan hanya dari kacamata ekonomi, tapi juga bagi stabilitas sosial dan politik. Sejak awal, pangan merupakan isu sentral di banyak negara, termasuk Indonesia. Kita dihadapkan dengan situasi menurunnya produksi pangan. Di sisi lain, penduduk semakin bertambah dan lahan pangan semakin berkurang.

“Dampak dari Covid-19 itu akan membawa pentingnya food security yang harus kita persiapkan lebih kuat. Pengalaman saya, dari resesi ke resesi yang ada tidak pernah terganggu terlalu besar,” ujar Dr. Syahrul Yasin Limpo, S.H., M.H., Menteri Pertanian. “Ekspor pertanian mulai pulih. Dampak awal di pertanian waktu terjadi lock-down di mana-mana ada pada Maret-April terasa,” ungkapnya.

Stok Pangan Masih Cukup

Pangan untuk 267,7 juta penduduk bukan jumlah yang sedikit. Artinya, jikapun ada ketahanan pangan sampai akhir tahun, ada pertanyaan mendasar dalam pandemi, apakah pada tahun 2020 (fase pandemic outbreak) ini pemerintah telah memperhitungkan ketahanan pangan untuk tahun berikutnya? Hal ini menjadi keresahan publik, melihat masih remangnya titik-balik pandemi.

“Dalam musim tanam satu, kita memiliki produksi besar Januari-Juni sejumlah 17,33 juta ton. Sedangkan kebutuhan makan kita dari Januari ke Juni 2021 adalah 15,27 juta ton. Oleh karena itu stok akhir kita di Juni 2020 itu masih ada 3,86 juta ton,” jelas Syahrul.

“Di musim tanam dua, sesuai peringatan BMKG akan terjadi kekeringan dan lain-lain. Maka pencanangan kami dari 7,46 juta hektar itu hanya 5,83 juta hektar. Tentu memilih daerah yang irigasi dan airnya masih tersedia,” papar Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. “Kami berharap dari sini (Juni-Desember 2021) akan hadir kurang-lebih 13,8 juta ton sampai 15 juta ton beras,” jelas Syahrul. Dengan perhitungan tersebut, Menteri Pertanian menegaskan bahwa sampai Desember 2021, stok beras diperkirakan masih ada hingga 2,56 juta ton.

Dalam paparannya, Kementerian Pertanian mengatakan telah memiliki beberapa langkah untuk memastikan ketahanan pangan. Pengembangan lahan Rawa di Kalimantan Tengah total 164.598 hektar, yang mencakup intensifikasi 84.456 hektar dan ekstensifikasi 79.142 hektar. “Kami ada tiga agenda, yaitu emergency, temporary (jangka menengah), dan permanen (jangka panjang). Di Kalimantan Tengah tahun ini kami masuk 30 ribu lahan existing baru, atau lahan yang kita kembangkan.

“Kami juga melakukan diversifikasi pangan lokal, yaitu ubi kayu, talas, jagung, pisang, kentang, porang, dan sorgum. Ini kami wilayahkan, satu provinsi satu konsentrasi. Tapi tidak berarti yang lain tidak bisa. Misalnya saja Jawa Barat, walaupun kita tetapkan talas misalnya, tidak berarti jagung, sagu, dan kentang tidak bisa. Ini juga untuk menguatkan ke depan, bahwa kenyang itu tidak harus dari beras lagi, tetapi dengan diversifikasi makanan kita bisa lebih siap,” jelasnya.

“Yang harus tetap kita waspadai dan persiapkan adalah bawang putih dan daging sapi. Tetapi dari keseluruhan sebelas kebutuhan pangan pokok, di neraca perkiraan, cukup tersedia dan cukup terkendali. Setiap daerah membutuhkan pendekatan yang tidak teoritis. Kadang-kadang ada yang lepas 1.000 ayam di pasar, viral ke mana-mana dan membuat semua panik harga. Atau ada yang buang tomat, misalnya. Modus-modus semacam ini harus diwaspadai karena itu bisa meresahkan,” pungkasnya.

Kini, kondisi pandemi turut mempengaruhi produksi dan pasokan pangan dunia. FAO mengidentifikasi bahwa terdapat 27 negara terancam mengalami krisis pangan karena pandemi yang tersebar di Asia dan Afrika. Walaupun Indonesia tidak termasuk dalam negara yang disebut FAO, kepastian keamanan dari krisis pangan tetap harus dijamin untuk kepentingan dalam negeri.

Dalam hal perekonomian domestik sendiri, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II telah mencapai minus 5,32 persen, lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Artinya pula, semakin bertambah pula tingkat pengangguran dan kemiskinannya. Sementara optimisme pemulihan ekonomi masih benar-benar tergantung pada upaya pemerintah dalam menangani pandemi yang sampai hari ini jumlah kasusnya masih tinggi.

Hal ini senada dengan penjelasan dari Bulog, di mana ada penurunan kapasitas pangan yang jadi kecenderungan di seluruh negara, termasuk Indonesia. “Tren harga pangan yang terus meningkat saat ini kita lihat. Bulog saja sejak Januari sampai hari ini, harga pemulihan kita (gabah dan beras) di atas HPP semua,” ujar Tri Wahyudi Saleh, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog.

Bulog sendiri merupakan Perum yang dimiliki oleh negara, yang dilekati tugas dalam menjaga ketahanan pangan (candangan dan stabilitas harga). “Padinya oke, kami sudah all-out. Sampai saat ini kami stok 1,4 juta ton padi, sesuai hasil Ratas,” ujar Tri.

“Masih ada persoalan di hilirnya. Sejak 2019, (mekanismenya) free-market, tidak wajib membeli ke Bulog. Itu persoalan. Bulog banyak menyerap, tapi hilirnya kami masih belum ada regulasi untuk captive market. Kami harus jual secara pasar,” tambahnya.

Di masa pandemi, Bulog semakin menjadi harapan dalam stabilitas dan tata kelola pencadangan pangan nasional. Hingga 12 Agustus 2020, Bulog telah menyerap gabah dan beras mencapai 889.806 ton dari target 1,4 juta ton. Dalam program food-estate yang tengah disiapkan oleh pemerintah, Bulog menjadi off-taker di beberapa titik. “Seperti yang tengah disiapkan oleh pemerintah di Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Oleh Kementerian BUMN, kami ada di Sukamandi,” tambah Tri.

“Dari sisi manufaktur Bulog sedang mempersiapkan. Pemerintah sudah menyetujui PNM sekitar Rp 2 triliun. Bulog kini sedang melengkapi infrastrukturnya. Triwulan pertama 2021 ini bisa kami manfaatkan,” jelas Tri Wahyudi Saleh.

“Dalam waktu dekat, pemerintah sudah merespon kesulitan Bulog itu. Bulog punya 1.429.198 ton. Mungkin minggu ketiga Agustus, kami ditugaskan pemerintah untuk mengeluarkan stok Bulog untuk bansos pandemi untuk 10 juta keluarga penerima manfaat (KPM) Program Keluarga Harapan. Masing-masing KPM 15 kg, selama tiga bulan,” papar Tri. “Jadi dalam waktu dekat kami akan bisa mengeluarkan sekitar 450.000 ton. Stok kami sudah tersebar di setiap wilayah Indonesia” pungkasnya.

Hambatan Ketahanan Pangan

“Kalau kita lihat fenomena Indonesia secara umum, posisi kita pada Global Food Security Index memang ada di nomor 62 dari 113 negara, ada di tengah. Kita tidak mungkin mengandalkan pangan pada pasar internasional,” ungkap Dr. Jamhari, S.P., M.P., Dekan Fakultas Pertanian UGM.

“Kita bisa mengukur tingkat ketahanan pangan dari sisi demand, yang tahan pangan baru 37 persen rumah tangga. Mau pandemi atau tidak, mereka itu pendapatannya memang sudah cukup, dan kalori yang dikonsumsi juga sudah cukup. Tapi, rumah tangga yang sudah bebas pangan itu baru 37 persen, yang lain ada masalah. Kalau terjadi kenaikan harga, yang lain akan bahaya,” papar Jamhari. “Dari sisi kualitas pangannya, mayoritas tidak berimbang, ada 65 persen. Banyak karbohidratnya,” tambahnya.

“Partisipasi petani dalam kelompoknya juga rendah. Aktivitas dalam kelompok tani hanya 30 persen yang aktif. Apalagi pemanfaatan jasa koperasi hanya 4 persen. Sedangkan, rata-rata partisipasi anggota dalam koperasi adalah 8 persen. Di tingkat dunia 16 persen. Untuk petani hanya 4 persen, saya kira tantangan bagi kita. Partisipasinya sangat kecil,” jelas Jamhari.

“Pertumbuhan ekonomi kuartal kedua turun, tapi justru sektor pertanian tumbuh. Inilah yang membantu ekonomi kita. Kehadiran negara itu dalam bentuk intervensi pada sistem produksi, distribusi, dan konsumsi. Keragaman hayati Indonesia nomor dua di dunia. Mestinya, diversifikasi konsumsinya keragamannya nomor dua. Ketahanan pangan bisa kita bentuk dengan mengkonsumsi beragam pangan yang bisa kita produksi sendiri. Ini jangka panjang yang harus kita tempuh,” ungkapnya.

“Saat ini, permintaan kebutuhan rumah tangga komoditas pertanian terjadi penurunan karena penurunan daya beli masyarakat. Orang butuh makan. Kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini terus berjalan. Antisipasi hambatan-hambatan harus dilakukan agar tidak terjadi kegagalan ekonomi terutama persoalan pangan,” jelas Aria Bima, anggota Komisi VI DPR RI.

“Kalau melihat postur pasar sangat berubah, cenderung berubah menjadi konsumsi pangan dan sandang. Kebutuhan primer leih diutamakan dalam konsumsi. Pemerintah lewat Kementerian Pertanian dan BUMN-BUMN pangan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pokok. Harga harus diantisipasi jangan sampai naik,” kata Aria Bima.

“Yang terus kami cermati adalah bagaimana mengurangi hambatan perdagangan. Kami sangat berharap koordinasi di hulu Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan. Bagaimana juga supply pangan bisa masuk sampai ke rumah tangga. Kami yakin tidak akan terjadi kekurangan pangan. Tapi mungkin ada kekurangan beberapa komoditas karena hambatan perdagangan atau manajemen logistik. Kami berharap DPR bersama pemerintah nanti membuat skenario sistem cadangan pangan darurat, bekerjasama dengan negara-negara lain,” pungkas  Aria Bima.(wst)