DPD RI Ingatkan Kegagalan Mitigasi Elektoral Pilkada 2020

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020, yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Desember sudah memasuiki tahapan-tahapan krusial.

Salah satunya, pendaftaran calon kepala daerah sebagai pintu masuk kontestasi sudah dilaksanakan dengan sejumlah pelanggaran yang dikhawatirkan sejak awal pasti akan terjadi.

Pengerahan dukungan massa yang jumlahnya melanggar protokol kesehatan terjadi di sejumlah daerah.

Padahal peraturan KPU melarang pengerahan masa, namun sejak awal sudah diprediksi akan sulit dikendalikan.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komite I DPD RI Abdul Kholik kepada para wartawan, Kamis (17/9/2020)

Menurut Kholik, pilkada dan pandemi adalah dua hal yang saling bertentangan secara diametaral.

“Satu pihak melarang kerumunan dan mengharuskan jaga jarak, sementara pilkada intinya adalah mobilisasi massa dan penggalangan dukungan untuk meraih popularitas dan elektabilitas pasangan calon,” kata Kholik.

Kholik menyatakan, sejumlah pihak semakin keras menyuarakan pilkada berpotensi menjadi cluster baru penyebaran Covid-19.

“Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengeluarkan pernyataan resmi terhadap potensi pilkada sebagai klaster penyebaran wabah. Kekhawatiran IDI, menambah daftar panjang sejumlah Lembaga yang menolak Pilkada 2020,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut Kholik, DPD RI melalui Komite I sejak awal menolak penyelenggaraan Pilkada Tahun 2020.

“Demikian pula Perludem, Peneliti LIPI, dan sejumlah kalangan ahli dari berbagai perguruarun Tinggi. Terakhir Komnas HAM RI secara resmi sudah merekomendasikan untuk menunda kembali Pilkada 2020,” ungkapnya.

Di awal, ujar Kholik, KPU memutuskan untuk kembali mengaktifkan tahapan pilkada, tepatnya pada pertengahan Juni lalu, jumlah kasus positif Covid masih pada kisaran 39.294.

“Saat itu baik KPU, pemerintah dan DPR masih optimis penanganan Covid-19 akan semakin membaik. Mendagri misalnya yakin Pilkada akan dapat dilaksanakan dengan sukses dan tahapan akan berjalan dengan baik. Begitupun KPU yakin dapat mengatur dan melaksanakan secara ketat sesuai protokol kesehatan,” paparnya.

Namun, ucap Kholik, fakta yang terjadi sebaliknya, di mana jumlah kasus positif kini berlipat ganda mencapai 221.253. Hasil test kesehatan terdapat 65 pasangan calon yang positif Covid-19, sehingga harus masuk isolasi maupun perawatan.

“Legitimasi pilkada juga semakin terancam dengan potensi rendahnya partisipasi pemilih. Survei yang dilakukan Charta Politika mencatat hanya 34% persen warga yang menyatakan akan hadir ke TPS jika Pilkada digelar pada tahun 2020. Sulit dibayangkan apabila kondisi pandemik terus meningkat eskalasinya dipastikan warga semakin enggan dan takut datang ke TPS,” jelasnya.

Bisa jadi, sambung Kholik, partisipasi pemilih akan sangat rendah dan itu artinya legitimasi calon terpilih akan sangat rendah.

“Pilkada 2020, juga dipastikan akan semakin diwarnai sejumlah daerah yang minim kontestasi. Data terakhir menunjukkan setidaknya 28 daerah akan diikuti satu pasangan calon (calon tunggal). Artinya bertambah 10 daerah dibanding Pilkada tahun 2018. Sekalipun KPU membuka pendaftaran kembali, sulit diharapkan munculnya pasangan calon di daerah tersebut,” katanya.

Kholik menilai, fakta calon tunggal ini membuktikan upaya untuk memperbaiki kualitas kontestasi yang semula dicanangkan gagal.

“Tampaknya, justru menjadi strategi baru untuk memenangkan pilkada tanpa kontestasi semakin mengemuka. Lantas, apa artinya Pilkada tanpa kontesntasi? Pastilah itu bukan pesta demokrasi penuh kegembiraan dan menjadi ajang pendidikan politik yang mencerdaskan, melain tanda-tanda kemunduran demokrasi,” urainya.

Kholik menuturkan, melihat semua fakta yang terjadi sampai tahapan pencalonan, dan ke depan akan memasuki fase kunci tahapan kampanye dan pencoblosan (pemilihan), dapat ditegaskan, semua asumsi optimistik yang dibangun ketika KPU melanjutkan tahapan Pilkada semakin jauh dari akurat.

“Kegagalan Mitigasi bahaya pilkada era pandemik semakin nyata adanya. Demi mencegah bahaya yang lebih besar dan mengurangi potensi bencana kluster penyebaran Covid yang sulit dikendalikan dan potensi jatuhnya korban jiwa secara masal, harus segera diambil sikap demi keselamatan masyarakat,” ingatnya.

Perppu Jilid II

Kholik mengungkapkan, setidaknya terdapat lima opsi yang diambil sebagai solusi bagi penyelenggaraan Pilkada.

“Pertama, mitigasi bahaya elektoral PIlkada era pandemi oleh Tim Independen yang kapabel dan kredibel untuk menentukan lanjut atau tidaknya Pilkada. Langkah ini diperlukan untuk secara obyektif menilai sejauh mana resiko jika Pilkada dilanjutkan atau perlu segera ditunda kembali,” jelasnya.

“Tim ini beranggotakan multi stakeholder yang menggabungkan antara kepentingan penanganan Covid dan penyelenggaraan Pilkada,” sambungnya.

Kedua, sebut Kholik, sebagai institusi yang memiliki kewenangan untuk mengawasi tahapan pilkada, dengan melihat berbagai indikasi pelanggaran massif yang terjadi saat pencalonan bisa saja Bawaslu merekomendasikan semacam menarik “rem darurat”.

“Hal tersebut dilakukan berdasarkan atas nama fakta pelanggaran dan potensi pelangharan yang lebih massif, dan ancaman keselamatan penyelenggara dan pemilih,” ungkapnya.

Ketiga, sambung Kholik, membuka ruang untuk penerapan model Pilkada Asimteris hanya pada tahap pemungutan suara ketika pandemi terus meningkat.

“Hal ini dapat dilakukan dengan cara perwakilan bertingkat. Setiap satu RT diwakili 5-10 pemilih yang dihitung berdasarkan proporsi dan besaran jumlah KK. Model mengadopsi pemilihan anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), sehingga satu desa cukup satu TPS,” terangnya.

Menurut Kholik, metode ini sangat efesien dan masih ada ruang untuk penerapan protokol secara ketat.

Untuk menjaga keterbukaan dan prinsip jurdil pemilih yang akan mewakili RT bisa diundi secara acak. Pilihan terakhir jika model delegasi juga tidak memungkinkan dibuka ruang dipilih oleh DPRD dengan tetap KPU sebagai penyelenggara dengan pengawasan super ketat,” jelasnya.

Keempat, tukas Kholik, KPU sebagai penyelenggara mengambil inisiatif untuk menunda tahapan setelah menyelesaikan tahapan pencalonan, dengan melakukan mitigasi elektroal yang berbasis saat ini dan meminta pendapat ahli pandemi.

“Atau setidaknya merujuk pada perkiraan ketersediaan vaksin Covid yang diperkirakan akan mulai tersedia pada awal 2021, sehingga dapat menjadi alasan untuk menerapkan ketentuan Pasal 201A Perpu Pilkada jo. UU Nomor 6 Tahun 2020, Pasal 201A ayat (3) yang membuka ruang penundaan kembali pemungutan suara dapat diberlakukan,” tegasnya.

Kelima, tambah Kholik, Presiden mengambil inisitiaf untuk menerbitkan Perppu Pilkada Jilid II dengan landasan demi kepentingan umum yaitu keselamatan rakyat yang utama.

“Sekaligus dalam Perppu ini memeberikan solusi apabila setelah penundaaan pada tahun 2021 masih kesulitan untuk menyelenggarakan Pilkada maka opsi Pilkada Asimeteris di era pandemi dapat dimasukan sebagai salah satu jalan keluar,” paparnya.

Kholik menandaskan, berbagai solusi di atas sangat mungkin dilakukan untuk menjaga keselamatan umum dan mengakomodasi berbagai langkah yang dapat memastikan pilkada dapat berjalan demokratis dan berkualitas dapat semestinya segera dilakukan.

“Terlebih apabila pilihan Perppu jilid II yang diambil maka tuduhan sebagian pihak, Presiden berkepentingan dengan Pilkada tetap dilaksanakan karena alasan kekerabatan, dapat dengan sendirinya terbantahkan,” pungkasnya. (Daniel)