Peta sumber daya alam Uranium di wilayah Indonesia

Geoekonomi, Uranium Borneo Terbesar di Indonesia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Badan Tenaga Nuklir Nasional Republik Indonesia (Batan RI), mengakui, sebagian besar bahan tambang uranium, sebagai bahan baku listrik tenaga nuklir dan peluru kendali berhulu ledak nuklir ada di Kalimantan, sebagai lokasi Ibu Kota Negara sebagai diumumkan Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019.

Dari geostrategi dan geoekonomi, maka Pulau Jawa sebagai masa lalu Indonesia, sementara Kalimantan sebagai masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dari 81.090 uranium ditemukan di Indonesia, ada 45.730 ton di antaranya di Kalimantan (Borneo). Batan RI, mencatat total sumber daya uranium yang dimiliki Indonesia sebanyak 81.090 ton dan thorium 140.411 ton di tiga wilayah, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Hal ini dijelaskan Kepala Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir (PTBGN) Batan Yarianto Sugeng Budi Susilo di Jakarta, Rabu, 15 Juli 2020

Perkembangan terakhir, sebagai salah satu aspek geostrategi dan geoekonomi terhadap aplikasi geopolitik Indonesia, berupa pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur.

Hal ini lantaranya mencuatnya konflik perebutan kepemilikan sumber daya alam di Asia Timur, termasuk di Laut China Selatan. Sektor barat, timur dan utara Pulau Kalimantan, berhadapan langsung dengan Laut China Selatan.

Menurut Batan, di Sumatera memiliki 31.567 ton uranium dan 126.821 ton thorium, Kalimantan sebanyak 45.730 ton uranium dan 7.028 ton thorium, dan Sulawesi sebanyak 3.793 ton uranium dan 6.562 ton thorium. Untuk satu pembangkit nuklir berkapasitas 1.000 megawatt (MW), dibutuhkan 21 ton uranium untuk dapat memproduksi listrik selama 1,5 tahun.

Dari kebutuhan 21 ton uranium, limbah yang dihasilkan hanya sepertiganya. Thorium lebih efisien karena 90 persen bahan bakar thorium akan bereaksi menghasilkan listrik jika dibandingkan dengan uranium yang hanya 3-5 persen, sehingga akan menghasilkan limbah radioaktif yang jauh lebih kecil.

Dari 45.730 ton uranium di Kalimantan, menurut Batan, meliputi 17.861 ton uranium di Provinsi Kalimantan Timur, 17.005 ton uranium di Provinsi Kalimantan Barat, dan 10.784 ton uranium di Provinsi Kalimantan Tengah (Ani Nursalikah, 2020).

Sejauh ini, sumber daya uranium yang terdata di Indonesia untuk mengolah uranium menjadi bahan bakar nuklir memerlukan proses yang cukup panjang. Karena penambangan dengan peledak atau alat berat untuk mendapatkan bijih uranium.

Bongkahan batu di chrusher untuk ukuran bijih yang kecil, kemudian proses milling untuk mendapatkan bijih uranium yang seperti bubuk (fine uranium ore). Tahap berikutnya adalah pelindian (leaching) dengan asam sulfat untuk mendapatkan larutan uranil sulfat.

Kemudian, dilakukan pemurnian dengan ion exchange untuk mendapatkan larutan konsentrat uranium (U) dan dilanjutkan dengan tahap pengendapan bertingkat menggunakan NH4OH.

Kemudian, masuk ke dalam filter dan dikeringkan untuk mendapatkan yellowcake. Dari yellowcake, diperoleh amonium diuranat dengan konsentrasi uranium lebih dari 60 persen.

Yellowcake sudah laku dijual. Namun yellowcake belum bisa sebagai bahan bakar, karena harus dimurnikan sampai grade nuklir lebih dari 99 persen.

Kemudian, dikonversi menjadi uranium heksafluorida (UF6) untuk proses pengkayaan. UF6 yang dikayakan (enriched UF6) direkonversi menjadi uranium dioksida (UO2) yang siap difabrikasi menjadi pelet, kelongsong, batang bahan bajar, dan bundel bahan bakar.

Geopolitik dan Geostrategi Indonesia

Untuk siklus bahan bakar nuklir, secara teknologi, Batan Republik Indonesia sudah siap. Hanya satu proses yang sensitif, yaitu untuk pengkayaan uranium 235. Teknologi itu sangat sensitif karena jika kita melakukan ini bisa dicurigai mau bikin bom nuklir, seperti Iran.

Untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) uranium dikayakan sampai 3-4 persen, kalau bom nuklir sampai 90 persen. Pemerintah Indonesia, belum banyak eksplorasi thorium (Th).

Thorium itu berasosiasi dengan logam tanah jarang dalam monasit. Selain di sabuk timah (tin belt) dari Batam, Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan Provinsi Kalimantan Barat, thorium juga terdapat di Mamuju, Provinsi Sulawesi Barat. Daerah lain belum diinventarisasi.

Indonesia memiliki kandungan yang sudah terinventarisasi sebanyak 140 ribu ton thorium, yang bisa diolah menjadi sumber bahan bakar nuklir. Di dunia, kandungan thorium lebih banyak empat kali dibanding uranium. Thorium berpotensi menjadi bahan bakar masa depan.

Namun, teknologi saat ini masih terus dikembangkan, belum ada yang komersial untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berbahan bakar thorium. Prinsipnya, thorium diubah dulu menjadi uranium 233 (U-233) dengan ditembak netron. U-233 sebagai bahan bakar nuklir (Ani Nursalikah, 2020).

Dari kenyataan ini, makan Pulau Kalimantan harus siap-siap jadi bumper (penahan/penyangga) berbagai potensi konflik/pertarungan berebut pengaruh antara Amerika Serikat dan China di Asia Pacifik, pasca Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019, mengumumkan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.

Pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia ke Provinsi Kalimantan Timur, erat kaitannya dengan perkembangan geopolitik, setelah mempertimbangkan aspek geostrategi, yaitu bergesernya pergerakan ekonomi dunia dari Benua Eropa dan Amerika abad ke-20 ke wilayah Asia Pacifik sebagai jalur matirim dunia pada abad ke-21.

Apalagi sekarang, konflik kepemilikan perairan Laut China Selatan di bagian barat, timur dan utara Pulau Kalimantan (Borneo), antara China dan Amerika Serikat (bersama negara sekutunya, terutama Australia, Jepang dan India), terus menguat dan memanas.

Konsep geopolitik tidak dapat berjalan dengan baik, jika tidak diimplementasikan melalui geostrategi yang tepat. Melalui geostrategi, kepentingan nasional sebuah negara direfleksikan ke dalam kebijakan-kebijakan yang dapat mendukung kedaulatan dan kesejahteraan domestik.

Dalam menentukan geostrategi, para pembuat kebijakan mempertimbangkan geografis dari negaranya, seperti halnya Indonesia, Eropa, dan Asia Timur. Posisi strategis Indonesia yang terletak di antara dua benua, yaitu Benua Australia dan Benua Asia, serta dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, sekaligus negara kepulauan terbesar di dunia, membuat Indonesia menjadi salah satu jalur perdagangan dunia yang cukup ramai di dunia.

Sedangkan Eropa turut disebut-sebut sebagai bagian dari dan Rimland atau pusat dari penguasaan dunia, dan Asia Timur memiliki corak sebagai region dengan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi.

Selain itu, sumber daya alam region-region tersebut yang cukup melimpah juga menjadi salah satu daya tarik sendiri bagi negara lain.

Memahami geopolitik dan geostrategi Indonesia, Eropa, dan Asia Timur, menghantarkan kita untuk bisa melihat fenomena pergerakan pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia di dalam perebutan sumber daya alam di Perairan Laut China Selatan.

Di sini pula kita dihantar untuk memahami tantangan yang dihadapi Indonesia di abad ke-21, karena sebesar 63 persen cadangan devisa internasional berada di Asia Timur (Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Asia Cadangan Devisa Internasional Terbesar

Indonesia masuk di dalam kawasan Asia Timur sebagai bagian dari Asia Pacifik. Bank Central di Asia memegang rekor tertinggi dalam perbendaharaan Amerika Serikat dan aset asing lainnya pada akhir Juli 2017, misalnya.

Cadangan devisa gabungan di negara-negara dan kawasan Asia kecuali Jepang dan China mencapai U$2,4 triliun pada akhir Juli 2017, naik 6% dari tahun sebelumnya (2016). Indonesia membukukan cadangannya devisanya tumbuh 15% dalam satu tahun terakhir.

Laju pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur meningkat sejak awal tahun 2017 dan cadangan devisa kini telah tumbuh enam kali lipat dari tingkatnya selama Krisis Keuangan Asia tahun 1997 (Asia.nikkei.com, Rabu, 6 September 2017).

Sementara pada 2020, Product Domestic Brutto (PDB) Asia diproyeksikan melampaui PDB seluruh dunia jika digabungkan. Pada tahun 2030, Kawasan Asia Timur diproyeksikan menyumbang 60% pertumbuhan global.

Asia-Pasifik juga bertanggung jawab atas mayoritas (90%) dari US$2,4 miliar anggota baru kelas menengah yang memasuki ekonomi global. Sebagian besar pertumbuhan itu datang dari pasar berkembang di China, India, dan di seluruh Asia Tenggara dan menimbulkan sejumlah keputusan baru untuk bisnis, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (Weforum.org, Jumat, 20 Desember 2019).

Lokasi IKN berada di bagian utara pesisir Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) dan Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Provinsi Kalimantan Timur. Persis di pertemuan wilayah Kota Balikpapan, Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.

Jadi bumper pertarungan kepentingan antara China dan Amerika Serikat, sehubungan di sektor barat dan utara di Pulau Kalimantan, tengah terjadi konflik kepemilikan terhadap perairan Laut China Selatan.

Amerika Serikat campur tangan di dalam perebutan pengaruh, dengan berada di belakang negara-negara yang berseteru dengan China masalah kepemilikan perairan Laut China Selatan.

Achmad (2003) dalam Tara Kukuh Wardhani (2016), menyebutkan, konsep geopolitik di Indonesia pertama kali diperkenalkan Soekarno (Presiden Indonesia, 17 Agustus 1945 – 12 Maret 1967) tersirat dalam Sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) pada 1 Juni 1945.

Berbeda dengan geopolitik barat yang cenderung menekankan pada perjuangan untuk terus memperluas wilayah, karena populasi domestik terus meningkat sehingga kualitas dan kuantitas ruang hidup juga harus bertambah.

Soekarno berpendapat bahwa Indonesia justru tidak berusaha untuk memperjuangkan wilayah, karena wilayah merupakan ruang hidup manusia.

Pola pikir geopolitik yang demikian telah membuat bangsa Barat dikenal sebagai penjajah karena terus melancarkan usaha ekspansionismenya ke wilayah-wilayah di luar Eropa.

Sedangkan Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno menentang dengan cukup keras aksi kolonialisme dan imperialisme, serta mendasarkan geopolitiknya pada nilai ketuhanan dan kemanusiaan seperti yang tertera pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pola pikir geopolitik Indonesia berupa usaha untuk mencapai perdamaian dunia juga mendorong Indonesia untuk terus melangsungkan kerjasama dan memperluas hubungan diplomatik dengan negara lain.

Uranium

Evan Laksmana (2011), menulis buku berdjudul: “The Enduring Strategic Trinity: Explaining Indonesia’s Geopolitical Architecture”. Evan Laksmana menjelaskan, geopolitik Indonesia dapat dianalisa melalui dua faktor, yaitu faktor geografi dan faktor sejarah.

Pertama, faktor geografi Indonesia yang terletak di sekitar garis khatulistiwa membuat Indonesia memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah, sehingga hal ini mempengaruhi perkembangan ekonomi, politik, dan militer Indonesia.

Meskipun demikian, kekayaan alam Indonesia juga memiliki dampak negatif karena Indonesia menjadi salah satu tujuan kolonialisme dan imperialisme negara-negara besar.

Kedua, faktor sejarah terbentuk atas dasar strategic trinity (geostrategi, geoekonomi, dan geopolitik), dimana kemudian membentuk fondasi konseptual Indonesia yang cenderung merujuk pada strategi militer dan keamanan.

Hal ini dikarenakan, kekayaan alam Indonesia harus dijaga melalui berbagai pertahanan konsentris dari berbagai lapisan melalui strategi detterence.

Oleh karenanya dari tingkat domestik, dibutuhkan sikap patriotisme yang tinggi dari masyarakat untuk melindungi dan mempertahankan kemandirian geoekonomi Indonesia.

Tidak hanya muncul sebagai salah satu negara maritim terbesar di dunia, Indonesia juga merupakan produsen bahan pangan dan barang tambang yang cukup besar di Asia Tenggara.

Meskipun telah muncul sebagai sebuah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan kuat secara pangan, stabilitas internal Indonesia cenderung minim dikarenakan adanya ketimpangan dan perbedaan standar hidup antar masyarakat masih marak terlihat di berbagai lapisan masyarakat Indonesia.

Hal ini membuat Indonesia harus terus memperkuat pertahanan nasional dan kerjasama di tingkat kawasan melalui Association of South East Asian Nations (ASEAN) sebagai lingkaran konsentris utama Indonesia.

Tujuh Choke Points Dunia

Tidak hanya dalam lingkup regional, Indonesia juga memfokuskan geostrateginya pada inter-regional, yaitu Asia-Pasifik dikarenakan lokasinya yang terletak di antara dua benua dan dua samudera.

Kemampuan Indonesia untuk mengontrol stabilitas Asia-Pasifik di kemudian hari dianggap sebagai peluang untuk menguasai empat dari tujuh chokepoints atau lebih dikenal jalur maritim dunia (Tara Kukuh Wardhani, 2016). Sementara jalur perhubungan laut dunia atau “sea lanes of communication” melewati tujuh chokepoints.

Libertina Widyamurti Ambari (2013), menyebut, di antranya empat chokepoints harus dikendalikan Indonesia, karena berada di wilayah terirotial Indonesia yaitu Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Lombok dan Selat Makasar.

Tiga selat lainnya di dunia sebagai chokepoints, yaitu Selat Bosphorus yang memisahkan Turki bagian Eropa dan bagian Asia. Bosphorus atau Bosporus juga dikenal sebagai Selat Istanbul.

Ini adalah salah satu dari Selat di Turki, bersama dengan Dardanella. Bosporus merupakan selat tersempit di dunia yang digunakan untuk pelayaran internasional, menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Marmara.

Kemudian, Selat Hormuz, memisahkan Iran dengan Uni Emirat Arab, terletak di antara Teluk Oman dan Teluk Persia. Rute Selat Hormuz menghubungkan Teluk Persia dan Samudera Hindia (yaitu Timur Tengah dan Asia), dan merupakan rute paling penting bagi transportasi penjualan minyak di dunia.

Terakhir, Selat Gibraltar. Selat Gibraltar adalah selat sempit yang menghubungkan Samudera Atlantik ke Laut Mediterania dan memisahkan Spanyol di Eropa dari Maroko di Afrika. Namanya berasal dari nama Arab “Jebel Tariq” yang berarti gunung Tariq. Dia menunjuk ke Jenderal Muslim Tariq bin Ziyad yang menaklukkan Spanyol pada tahun 711, yang kemudian dikenal sebagai Selat Gibraltar atau STROG (Strait Of Gibraltar).

Wilayah perairan strategis bagi pelayaran internasional di kawasan Pasifik melewati Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur. Wilayah perairan strategis bagi pelayaran internasional di kawasan Pasifik melewati Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur yang secara politik dan ekonomi sangat strategis, karena menyangkut kelangsungan hidup sejumlah negara di mana empat di antara perairan tersebut berada dalam kedaulatan Indonesia.

Jalur pelayaran laut ini membentang dari Teluk Persia ke arah barat menuju Eropa Barat, dan ke arah Timur menuju Asia Timur dan Amerika Serikat.

Jalur transportasi laut merupakan bentangan garis energi minyak dan gas bumi yang tidak boleh terputus karena hal tersebut, sangat berkaitan dengan industri negara-negara maju.

Dalam bidang geografi transportasi, wilayah perairan tersebut dikenal sebagai “chokepoints” yakni lokasi yang membatasi kapasitas sirkulasi dan tidak dapat dengan mudah dilewati, karena sangat mudah untuk diblokir.

Ini berarti bahwa setiap alternatif dari `chokepoint` melibatkan suatu rute memutar atau penggunaan alternatif yang berimplikasi pada biaya dan penundaan waktu yang signifikan.

Saat era perdagangan dunia bergeser ke wilayah Asia Pasifik, yang sebelumnya di Eropa dan Amerika, kawasan tersebut muncul sebagai salah satu pusat strategis maritim dunia di abad 21.

Di era perdagangan Trans-Pasifik, Selat Malaka mengambil peran yang sangat penting karena merupakan jalur laut terpendek yang bisa menghubungkan antara dua samudera penting di dunia yaitu Samudera India dan Samudera Pasifik.

Rute perdagangan dari Samudera India menuju Samudera Pasifik menjadikan Selat Malaka sebagai rute tercepat di antara dua samudera ini, yang berarti menghemat biaya operasional.

Rute pelayaran strategis juga dapat melewati Selat Sunda yang menghubungkan Laut Cina Selatan dan Samudera Hindia. Rute pelayaran alternatif lainnya adalah melalui Selat Lombok dan Selat Makassar.

Selain melewati Samudera Hindia, Selat Lombok dan Selat Makassar terhubung pada Samudera Pasifik dan Laut Filipina di utara dan Australia di selatan (Libertina Widyamurti Ambari, 2013).

Oleh karenanya, kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik Indonesia ke depannya dapat menjadi pertimbangan yang cukup kuat bagi negara-negara hegemoni seperti Amerika Serikat, Jepang, China, India, Korea Selatan, Inggris, Perancis, Jerman dan Australia. Dalam konteks itulah, Ibu Kota Negara Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.

Geopolitik Indonesia yang didasarkan pada perspektif ideologi Pancasila berfungsi untuk menyaring dan membendung nilai-nilai negatif dari luar yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa.

Pancasila tidak hanya dapat menjadi mediator antara nilai-nilai bangsa dengan nilai luar, namun juga sebagai mediator antar suku yang menjadi bagian dari kedaulatan Indonesia sehingga perbedaan suku tidak menjadi hambatan dalam usaha pengintegrasian bangsa (Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Selain itu, masyarakat Indonesia juga harus memperdalam pemahaman mengenai Wawasan Nusantara karena di dalamnya berisi mengenai pengetahuan bahwa kedaulatan Indonesia tidak hanya terdiri dari daratan berupa kepulauan sebanyak 17.000 pulau, namun juga wilayah perairan dan juga masyarakat itu sendiri.

Pada sisi militer, geopolitik Indonesia berfungsi jika terdapat konflik kepentingan antara Indonesia dengan negara maupun entitas lain. Maka demi mengakomodasi keamanan dan pertahanan nasional, dibentuk dua wilayah komando armada, yaitu komando armada timur dan barat.

Indonesia juga terus memperbarui teknologi militer yang dimiliki untuk meningkatkan surveillance, baik untuk dalam negeri maupun ketika terdapat ancaman dari luar.

Koesnanto Anggoro (2013) dikutip Tara Kukuh Wardhani (2016), mengatakan ancaman terbesar Indonesia di masa mendatang berasal dari dalam negeri dikarenakan maraknya ketimpangan ekonomi dan sosial, disparitas, hingga isu-isu separatisme dan radikalisme anti Pancasila.

Keberagaman suku serta jauh dan “terpisahnya” antara satu pulau dengan pulau lain dengan lautan membuat integrasi nasional masih menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia.

ASEAN sebagai lingkaran konsentris utama Indonesia sedikit banyak telah membantu Indonesia dalam usahanya untuk menjadi kekuatan regional. Dalam usaha untuk menjadi kekuatan regional ini pula, Indonesia telah aktif untuk menjaga stabilitas Asia Tenggara baik di bidang perdagangan hingga menjadi mediator pada konflik perebutan wilayah Laut Cina Selatan.

Kedua, keterbatasan space dan sumber daya alam merupakan beberapa masalah utama yang menjadi kajian dalam pengembangan studi Geopolitik di Eropa.

Hal ini kemudian membentuk kecenderungan bangsa Eropa untuk menerapkan geopolitik ekspansionis untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan domestik tiap negara Eropa, terutama terhadap rempah-rempah.

Geopolitik dan Geostrategi Eropa

Selain itu pada abad ke-18, muncul Revolusi Industri di Inggris sehingga negara-negara di Eropa berkecenderungan untuk saling meningkatkan produktivitasnya melalui kecanggihan teknologi.

Hal ini berimplikasi pada terjadiya over-produksi dan ledakan penduduk, sehingga bangsa Eropa terdorong untuk melakukan ekspansi pasar dan teritori.

Faktor-faktor ini menjadi penggerak utama geopolitik dan geostrategi kolonialisme dan imperialisme bangsa Eropa untuk mendapatkan pemasukan komoditas maupun kapital yang lebih dari region lain.

Akan tetapi, aksi kolonialisme dan imperialisme ini lambat laun berkurang dan bahkan terhenti seiring dengan berakhirnya Perang Dunia II pada 1945. Hal ini dikarenakan, negara-negara yang dulunya merupakan wilayah jajahan bangsa Eropa mulai terdekolonisasi dan merdeka.

Bahkan hingga membentuk blok baru, yaitu gerakan non-blok di tengah-tengah dua blok besar, yaitu blok Barat dengan ideologi kapitalisme dipimpin oleh Amerika Serikat dan blok Timur dengan ideologi komunisme dipimpin Union of Soviet Socialist Republics (USSR).

Persaingan antara kubu kapitalis dengan kubu komunis ini kemudian juga dikenal sebagai free world versus iron curtain, atau dunia bebas melawan dunia tirai besi (Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Paska Perang Dunia II, kemenangan yang diperoleh oleh dua negara besar, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet membuat dunia seakan-akan terbelah menjadi dua blok.

Hal ini membuat pola geopolitik dan geostrategi di era pasca Perang Dunia II adalah berpola aliansi karena tiap negara turut mengambil posisi dan memberikan dukungan terhadap ideologi yang diyakini.

Akan tetapi, seiring dengan runtuhnya Union of Soviet Soscialist Republics yang kemudian menjadi Federasi Rusia, 25 Desemmber 1991 di bawah kepemimpinan Mikhail Gorbachev, terjadi pergeseran dunia dari Perang Dingin menuju Tatanan Dunia Baru atau New World Order (Flint, 2006, dikutip Tara Kukuh Wardhani, 2016). Pada era ini, muncul kekuatan-kekuatan baru di Eropa, seperti Prancis, Swedia, Inggris, dan Jerman (Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Selain itu kemunculan globalisasi pada 1980-an turut membuat proses industrialisasi dan aktivitas perekonomian meningkat dengan cukup pesat, dikarenakan adanya kemudahan untuk mengakses teknologi dan berpindah dari satu negara ke negara lain.

Kegiatan perdagangan yang relatif membutuhkan pasokan gas alam, minyak, dan komoditas sumber daya alam dalam jumlah cukup besar menjadi faktor pendorong negara-negara Eropa untuk terus mengekspansi kekuatan dan dominasinya agar dapat bersaing di tingkat internasional.

Perkembangan geopolitik dan geostrategi negara-negara Eropa, khususnya di era kontemporer tidak terlepas dari peran Uni Eropa sebagai badan supra-state Eropa yang berdiri sejak 1950-an.

Motif dibentuknya Uni Eropa di era Perang Dingin dianggap menjadi salah satu penanda bahwa Uni Eropa, tidak hanya dibentuk sebagai organisasi regional yang dapat mewadahi kepentingan ekonomi dan politik negara-negara Eropa serta integrasi intra-regionalnya.

Akan tetapi, Uni Eropa juga berfungsi sebagai bagian dari blok Barat dan pendukung dari hegemoni ideologi kapitalisme Amerika Serikat.

 

Dalam tingkat intra-regional, Uni Eropa memiliki regulasi yang cukup jelas pada negara-negara anggotanya dan telah memiliki bank sentral serta badan-badan yang berhubungan dengan penjagaan sumber daya alam negara-negara Eropa.

Oleh karenanya, pola geopolitik dan geostrategi Uni Eropa didasarkan pada kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai oleh negara-negara anggota Uni Eropa itu sendiri.

Meskipun negara-negara Uni Eropa muncul sebagai satu entitas yang beridentitaskan Uni Eropa, namun masing-masing negara anggota Uni Eropa turut memiliki ambisi tersendiri dalam pengimplementasian geopolitik dan geostrategi negaranya.

Pertama, Jerman sebagai negara yang pada Perang Dingin terbagi menjadi dua, yaitu Jerman Barat dan Timur, menjadi representasi kecil dari keadaan Eropa secara keseluruhan yang juga terbagi menjadi Eropa Barat dan Timur.

Eropa Barat merupakan sub-region yang mendukung ideologi kapitalisme Amerika Serikat. Sedangkan Eropa Timur berisi negara-negara satelit Union of Soviet Soscialist Republics yang mendukung ideologi komunisme.

Dalam usaha berintegrasi dengan negara-negara Eropa, Jerman dapat dikatakan bersifat lebih inklusif dibandingkan Inggris. Hal ini dikarenakan, Jerman sebagai salah satu negara yang cukup kuat di Eropa bersedia untuk bergabung dalam Uni Eropa.

Meskipun organisasi regional Uni Eropa bersifat supra-state, sehingga konvergensi kebijakan dan dualisme kedaulatan negara-negara yang tergabung akan semakin tinggi karena dikontrol ketat oleh Dewan Uni Eropa.

Tergabungnya Jerman dalam Uni Eropa ini dikarenakan Jerman ingin memperluas kekuatannya di ranah regional Eropa. Hal ini terlihat pada pernyataan Jerman bahwa mereka tidak ingin menjadi German Europe, namun justru ingin menjadikan European Germany.

Oleh karenanya, sifat ultranasionalisme dan melekatnya keinginan Jerman untuk menjadi hegemon, terus membuat Jerman ingin menjadi salah satu negara berpengaruh di Uni Eropa sebagai tempatnya untuk melatih kekuatan.

Kedua, Inggris sebagai salah satu negara hegemon Eropa dan bahkan dunia, memiliki keraguan tersediri dalam mengambil keputusan untuk bergabung dengan Uni Eropa.

Keraguan ini terlihat pada tergabungnya Inggris sebagai negara anggota Uni Eropa, namun tidak tergabung dalam Eurozone, atau zona penggunaan Euro. Karena Inggris masih teguh untuk terus menggunakan Poundsterling-nya dengan alasan agar nilai mata uang nasionalnya tetap tinggi dan harus didevaluasi.

Selain itu, penggunaan Euro sebagai mata uang Inggris ditakutkan oleh Inggris akan turut menarik Inggris ke dalam krisis jika terjadi krisis di Eropa. Security dilemma yang dirasakan Inggris dengan Prancis dan Jerman juga relatif masih tinggi sehingga Inggris khawatir akan terjadi pertarungan kekuatan kepentingan lebih lanjut di dalam Uni Eropa.

Secara geografis, Inggris juga merasa sebagai entitas yang terpisah dari Eropa, karena Inggris tidak terletak di satu daratan yang sama, namun merupakan negara kepulauan yang cukup terpisah dengan negara-negara Uni Eropa lainnya.

Oleh karenanya, meskipun Inggris telah sedikit banyak menyadari bahwa dengan adanya Uni Eropa maka arus perdagangan dapat menjadi lebih lancar, efektif, dan perekonomian meningkat, namun superioritas Inggris dibandingkan negara-negara Uni Eropa lainnya, masih terlihat jelas.

Sehingga jika Inggris terintegrasi secara penuh dalam Uni Eropa, maka Inggris akan merasa bahwa Inggris akan sepenuhnya berada di bawah kontrol Uni Eropa dan tidak berdaulat secara penuh.

Maka sebagai counterbalancing, Inggris terus berhubungan erat dengan Amerika Serikat sebagai hegemon dunia di era kontemporer (Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Ketiga, Polandia merupakan salah satu negara yang memiliki sejarah terintervensi seperti halnya Jerman.

Sebagai negara yang berawal dari negara kesatuan Lithuania pada awal abad ke-17, Polandia kemudian berhasil mendapatkan kedaulatannya melalui Perjanjian Versailles pada 1919 meskipun akhirnya pada 1939 diduduki oleh Jerman dan menjadi negara satelit Uni Soviet sampai 1989.

Lepasnya Polandia dari satelit Uni Soviet membuat negara-negara Uni Eropa berusaha untuk melebarkan integrasinya menuju Polandia, dengan cara mencoba untuk melepaskan pengaruh komunisme dari Polandia.

Melihat tingginya pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan Uni Eropa, maka Polandia bersedia menjadi bagian dari Uni Eropa dengan menetapkan geostrategi pada perluasan usaha privatisasi dan Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing melibatkan dua hingga banyak negara sekaligus.

Union of Soviet Socialist Republic sebagai Heartland.

Pada masa terdahulu, kondisi geografis Polandia yang berupa dataran rendah dan sungai serta lokasinya yang berada di antara Jerman dan Uni Soviet membuat Polandia rawan akan pendudukan keduanya dan penjajahan dari negara lain.

Maka untuk mengatasi hal ini, Polandia sempat mengambil keputusan untuk menjadi buffer zone antara Jerman dan Uni Soviet.

Namun Polandia justru berakhir sebagai negara satelit Union of Soviet Socialist Republics. Oleh karenanya, Polandia mencoba untuk mendapatkan bantuan dari Inggris dan Prancis yang dianggap sebagai aktor netral sehingga pada 1991, Polandia resmi menjadi bagian dari Uni Eropa dan North Atlantic Treaty Organization (NATO) demi menjaga stabilitas dan keamanan Polandia.

Keempat, Rusia merupakan negara yang disebut Mackinder sebagai Heartland, yaitu pusat dari penguasaan dunia (Friedman, 2008, dalam Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Akan tetapi pada kenyataannya, Rusia justru memiliki permasalahan pada space dikarenakan kondisi geografisnya sebagai landlocked sehingga sumber daya alamnya terbatas dan untuk memenuhi kebutuhan maupun bersaing dengan negara lain harus melakukan ekspansi.

Maka keterbatasan ini menjadi faktor-faktor pendukung Rusia untuk membentuk imperium sejak era kepemimpinan Ivan Silayep (18 Desember 1991 – 7 Februari 1994).

Ivan Silayep, Kepala Pemerintahan Uni Soviet terakhir dengan mengemban jabatan sebagai Ketua Ketua Ekonomi Antarnegara, sekaligus Ketua Ketua Manajemen Operasional Union of Soviet Socialist Repubblics sejak 6 September – 26 Desember 1991.

Aksi ekspansi Union of Soviet Socialist Republics pada awalnya difokuskan pada region Asia Tengah, Eropa Tengah, dan Eropa Timur.

Negara-negara tersebut kemudian juga dijadikan Rusia sebagai negara buffer, utamanya Eropa Timur dan Eropa Tengah, sehingga Rusia dianggap sebagai negara Eurasia karena letaknya yang melewati batas antara Eropa dan Asia.

Anggapan bahwa Rusia merupakan Heartland membuat Rusia terdoktrin bahwa dirinya merupakan pusat dari sistem internasional sehingga pasca Perang Dunia II ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet muncul sebagai pemenang maka Uni Soviet terus menggencarkan pengaruh ideologi komunisme ke negara-negara lain, seperti Kuba, Indonesia, dan Vietnam, dengan memasok persenjataan.

Maka untuk menjaga stabilitas hegemoninya, Rusia bergantung pada geostrategi berupa manajemen pemerintahan yang oversentralisasi, di mana anggaran militer relatif lebih besar dibandingkan anggaran untuk sektor lain (Rykhtik, 2009, dikutip Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Kelima, Perancis merupakan salah satu negara dengan kekuatan militer yang cukup kuat. Geopolitik Perancis sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor geografis dan sejarah. Secara umum geopolitik Perancis terdiri dari empat elemen utama.

Pertama, lokasi geografis Perancis yang relatif susah untuk dijangkau sehingga sumber daya alam Prancis yang melimpah hanya didominasi oleh pemerintah Perancis saja.

Kedua, geopolitik Perancis difokuskan pada sikap mawas terhadap perkembangan yang terjadi dalam Eropa bagian Timur, utamanya Jerman dan Rusia, serta negara-negara besar di sekitarnya, seperti Inggris, Spanyol, dan Portugal.

Ketiga, geopolitik Perancis juga ditujukan untuk mempertahankan kekuatannya di Eropa Barat dan statusnya sebagai negara ekspansionis terutama di wilayah Afrika dan Asia Tenggara.

Meskipun negara-negara koloni Perancis cenderung tidak berkontribusi secara langsung dan besar terhadap perekonomian Perancis, namun negara-negara tersebut memiliki sumber daya alam dan digunakan ketika pemerintah Perancis sedang dalam krisis seperti pada era Perang Napoleon.

Keempat, Perancis cenderung menganggap bahwa geopolitik berbeda dengan ideologi sehingga dalam penerapan geopolitiknya, Perancis cenderung lebih fleksibel. Hal ini dapat terlihat pada usaha aliansi Perancis yang juga ditujukan pada negara-negara Eropa Utara dan Selatan sekaligus usahanya dalam menjaga hegemoni di Eropa.

Ketiga, pertumbuhan dan kekuatan perekonomian Asia Timur, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan China, menjadi perhatian tersendiri bagi negara-negara Barat. Hal ini dikarenakan, seiring dengan era globalisasi, teknologi dan perdagangan Asia Timur terus meningkat dengan bukti bahwa Asia Timur telah berkontribusi pada lebih dari 25 persen ekspor dan impor dunia serta Foreign Direct Investment (FDI).

Bahkan, sebesar 63 persen cadangan devisa internasional berada di Asia Timur. Meskipun tingkat security dilemma di antara negara-negara Asia Timur tergolong cukup tinggi, namun kerjasama intra-regional di bidang perdagangan terus berjalan dengan pesat.

Melalui perdagangan, integrasi regional Asia Timur lambat laun semakin meningkat. Hal ini terlihat dengan tergabungnya China, Korea Selatan, dan Jepang ke dalam ASEAN +3, sebagai upaya dari negara-negara Asia Timur untuk menghadapi traumatik atas peristiwa krisis finansial 1997.

Selain itu, negara-negara Asia Timur juga semakin intens dalam mengadakan pertemuan antar negara, seperti diadakannya East Asian Summit pada 2005 sehingga hal ini menjadi salah satu pertanyaan besar bagi negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa (Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Kekhawatiran dari negara-negara hegemon di bidang perekonomian mulai muncul seiring dengan semakin terintegrasinya Asia Timur dikarenakan Asia Timur dikhawatirkan akan muncul sebagai aktor regional baru yang besar dan dapat menandingi kekuatan perekonomian Barat.

Pendekatan multilateral mulai terus diluncurkan oleh negara-negara Asia Timur terhadap satu sama lain karena pendekatan bilateral dikhawatirkan akan justru menyebabkan konflik seperti peristiwa Jepang dan China.

Maka untuk meredam security dilema yang telah terbentuk sejak era terdahulu, kerjasama multilateral terus dilakukan oleh negara-negara Asia Timur. Dalam perspektif China, hal ini dilakukan agar security dilemma Jepang dan Korea Selatan terhadap China tidak semakin meningkat sehingga kerjasama dapat terus terjalin.

Sedangkan bagi Korea Selatan dan Jepang, kerjasama harus terus dilakukan agar China tidak menjadi agresif dan interdependensi dapat semakin meningkat karena adanya organisasi regional yang mengikat.

Diadakannya kerjasama dalam regional Asia Timur juga dapat menjadi tolak ukur, bagi Jepang maupun China mengenai kemampuannya dalam mengatur langkah-langkah yang harus diambil oleh Asia Timur di bidang ekonomi.

Oleh karenanya, seiring dengan semakin terintegrasinya Asia Timur, maka negara-negara Asia Timur, semakin mengakui identitasnya sebagai bagian dari Asia Timur dibandingkan hanya sekedar mengakui identitas negara masing-masing.

Pembentukan geopolitik Asia Timur kontemporer tentu tidak terlepas dari dinamika yang terdapat dalam negara-negara di Asia Timur itu sendiri, yaitu China, Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara.

Pertama, China sedikit banyak mengakui bahwa kunci kesuksesannya di bidang ekonomi salah satunya merupakan karena keterlibatannya dalam kerjasama dengan negara lain dan organisasi internasional. China juga berhasil memanfaatkan sumber daya domestik yang dimilikinya, baik sumber daya alam maupun manusianya.

Geostrategi China dalam mencapai kepentingan politik dan ekonominya adalah Strings of Pearl, yaitu sebuah strategi yang digunakan China sebagai landasannya untuk menjadi negara hegemon melalui penguatan militer di jalur-jalur strategis.

Kata ‘pearl’ mengacu pada pulau-pulau yang memiliki nilai strategis bagi China, seperti pulau Woody di Vietnam sebagai lokasi bongkar muat kontainer, pulau Chittagong di Bangladesh sebagai pelabuhan kontainer, pulau Hainan sebagai lokasi pengembangan militer modern, dan lain lain.

Beberapa faktor pembentuk geostrategi Strings of Pearl. Pertama, kepentingan politik yang berasal dari Chinese Communist Party (CCP) sebagai partai rezim komunisme terbesar di China yang ingin mempertahankan rezim komunisme di China itu sendiri.

Kedua, keinginan untuk menjaga wilayah kedaulatan China terhadap Jepang dan disintegrasi Taiwan dengan dibentuknya kerjasama militer. Ketiga, mengurangi pemberontakan domestik agar tercipta stabilitas.

Strategi sea lines of communication

Melalui geostrategi Strings of Pearl pula, sea lines of communication dapat diamankan sehingga China dapat tersambung secara langsung dengan negara-negara Asia Tenggara hingga Timur Tengah dan menguasai minyak dan gas alam yang dimiliki negara-negara tersebut.

Kedua, Jepang merupakan salah satu negara Asia Timur yang tergolong memiliki tingkat modernitas setara dengan Barat. Hal ini dikarenakan, Jepang relatif memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi, teknologi, dan kekuatan militer yang cukup tinggi dan stabil.

Maka di tingkat internasional, untuk memperkuat kemampuannya, maka Jepang cenderung menerapkan tiga geostrategi utama, yaitu beraliansi dengan Amerika Serikat, berfokus pada pembangunan ekonomi, dan menghindari konfrontasi.

Pertama, aliansi Jepang dengan Amerika Serikat berawal pada era Perang Dingin sebagai usaha Amerika Serikat untuk mencegah efek domino komunisme di Asia Timur dan mencegah munculnya Jepang sebagai negara yang agresif kembali. Sebagai basis pangkalan militer Amerika Serikat, perekonomian Jepang turut terbantu hingga menjadi kekuatan ekonomi dunia.

Kerjasama Jepang dengan Amerika Serikat ini juga digunakan sebagai langkah Jepang untuk menghadapi negara-negara tetangganya di Asia Timur, seperti China, Korea Selatan, dan Korea Utara karena masa lalu yang kurang baik.

Selain itu, kepemilikan nuklir oleh Korea Utara dan China juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi Jepang, terutama ketika terjadi sengketa pulau Senkaku atau Diayou antara Jepang dan China yang ternyata mengandung sumber daya hidrokarbon yang tinggi.

Jepang mengambil inisiatif untuk meningkatkan anggaran militer Jepang dengan dibentuknya sistem pertahanan modern bernama Aegis Ashore adalah sistem pertahanan rudal balistik yang direncanakan Jepang mempertahankan kepulauan tak dihuni di Laut China Timur sepanjang 3000 kilometer.

Rupanya, beberapa pembuat kebijakan ingin Jepang benar-benar capai kemampuan untuk menyerang misil musuh sebelum Aegis Ashore diluncurkan (Chakravorty, 2013, dalam Tara Kukuh Wardhani, 2016; Dewi Lusmawati, 2020).

Ketiga, Korea Selatan merupakan salah satu negara yang tidak memiliki sejarah terkolonisasi hingga terjadi kependudukan Jepang atas Korea pada 1905.

Ditambah lagi pada Perang Dingin, Amerika Serikat dan Uni Soviet berusaha untuk menanamkan ideologinya ke Korea sehingga Korea terpecah menjadi Korea Utara dan Korea Selatan meskipun pada dasarnya keduanya memiliki sejarah dan kebudayaan yang serupa (Wallerstein, 2012, dalam Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Korea Utara atau Democratics People’s Republic of Korea (DPRK) menjadi negara berbasis komunis, sedangkan Korea Selatan atau Republic of Korea (ROK) menjadi negara berbasis kapitalis. Perpecahan Korea ini mencapai puncaknya pada 1950 ketika pecah Perang Korea.

Sampai saat ini, Korea Selatan turut menjadi salah satu rekan kerja Amerika Serikat yang cukup erat. Di bawah kepemimpinan Presiden Park Geun Hye, Korea Selatan ke-11 (25 Februari 2013 – 10 Maret 2017) melandaskan geostrateginya pada ide mengenai Eurasia, yaitu didorongnya kerjasama ekonomi antara Asia Timur dengan Eropa dan negara-negara Barat.

Geostrategi Eurasia ini diharapkan tidak hanya mampu mengintegrasikan kepentingan Korea Selatan pada negara-negara Barat, namun juga sebagai sarana untuk mengembangkan teknologi, energi, transportasi, dan jaringan.

Selain itu, Korea Selatan juga menerapkan perkembangan ekonomi kreatif agar dapat bersaing di pasar global. Sedangkan dalam hubungannya dengan Korea Utara, status yang ada hingga saat ini merupakan status quo dan tidak terdapat usaha penggunaan senjata berat dari Korea Selatan karena adanya ketakutan bahwa Korea Utara benar-benar mencoba untuk mengembangkan senjata nuklir yang dapat membahayakan kedaulatan Korea Selatan.

Keempat, Taiwan atau yang juga dikenal dengan nama resmi Republik China dulunya merupakan bagian dari Republik Rakyat China hingga pada 1949 secara resmi memisahkan diri dari daratan China. Perpindahan Taiwan dari Beijing menuju ke Taipei menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi China.

Hal ini dikarenakan, Pulau Taiwan dianggap China sebagai the first island chain karena lokasinya yang strategis yang dapat menghubungkan antara China dengan Asia Tenggara.

Bagi China, kembalinya Pulau Taiwan di bawah kepemimpinan China akan memperlancar geopolitik dan geostrategi China untuk menjadi hegemon di Asia Timur dan Tenggara, bahkan dunia.

Maka dengan pertimbangan tersebut, China terus berusaha untuk merebut kembali kedaulatannya atas Taiwan. Meskipun saat ini pengaruh Amerika Serikat di Taiwan dinilai lebih besar dibandingkan pengaruh China di Taiwan, yang dibuktikan dengan kuatnya paham liberalisme dan demokrasi di Taiwan.

Namun meskipun Amerika Serikat memiliki pengaruh yang cukup besar di Taiwan, Taiwan tetap tidak dapat memiliki status sebagai negara sehingga sampai saat ini secara de jure di tingkat internasional.

Taiwan hanya dianggap sebagai sebuah entitas ekonomi. Terhambatnya proses pencapaian kedaulatan secara penuh Taiwan secara de facto sebagai sebuah negara ini dikarenakan peran dari China yang tidak rela jika Taiwan diakui kedaulatannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masyarakat internasional serta status China yang saat ini merupakan salah satu negara hegemon di bidang perekonomian sehingga turut memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pengambilan keputusan internasional.

Meskipun demikian, Taiwan tetap bersikeras untuk tidak kembali berada di bawah kepemimpinan China karena adanya perbedaan ideologi dan kesadaran akan kekayaan sumber daya alam Pulau Taiwan itu sendiri (Tara Kukuh Wardhani, 2016).

Permasalahan menjadi unik, ketika Vatikan, salah satu negara di Benua Eropa, telah menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan sejak 23 Oktober 1942.

Kedaulatan dan kelangsungan hidup

Kesimpulannya, lokasi, kondisi geografis, dan kekayaan alam merupakan nilai-nilai strategis utama yang dimiliki oleh Indonesia, Eropa, maupun Asia Timur. Meskipun ketiganya memiliki perbedaan yang cukup signifikan, namun juga terdapat persamaan, sebagai berikut:

Geopolitik dan geostrategi antara ketiganya difokuskan untuk menjaga kedaulatan dan keberlangsungan kehidupan domestik.

Dalam upaya untuk mensejahterakan domestik, maka kerjasama dan aliansi internasional terus terbentuk sehingga terdapat dukungan dari masyarakat internasional pula, dalam menjalankan politik dan ekonomi internasional.

Security dilemma dengan negara-negara sekitar maupun negara hegemon lainnya cenderung diatasi dengan mempererat kerjasama intraregional yang diharapkan dapat menjadi batu loncatan ke tingkat internasional.

Oleh karenanya, Indonesia, Eropa, dan Asia Timur meskipun terdiri atas negara maju maupun berkembang cenderung memiliki pola geopolitik dan geostrategi yang relatif sama (Tara Kukuh Wardhani, 2016). (Aju)