Ali Kalora, Pimpinan Mujahidin Indonesia Timur

MRS, Teroris MIT dan Arab Spring di Indonesia

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Mohammad Rizieq Shihab (MRS) pentolan Front Pembela Islam Indonesia (FPI)  dan teroris jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) membunuh empat warga sipil dalam satu keluarga di Desa Lemba Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, pukul 08.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), Jumat, 27 Nopember 2020, bagian tidak terpisahkan dari aktifitas Arab Spring di Indonesia.

MRS merupakan tokoh penebar ujaran kebencian antar kelompok masyarakat, institusi negara, alat pertahanan negara (Tentara Nasional Indonesia atau TNI) dan alat keamanan negara (Polisi Republik Indonesia atau Polri), bertujuan membangun pola pikir masyarakat anti ideologi Pancasila  Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika, untuk diganti paham khilafah.

Akibatnya MRS segera dipanggil Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya, sehubungan aktifitas ujaran kebenciannya, dan melakukan aktifitas melibatkan kerumuman ribuan orang setelah pulang dari pelariannya di Arab Saudi selama 3,5 tahun, pada Selasa 10 Nopember 2020.

MRS dipersalahkan pula, karena tidak mau mengikuti isolasi mandiri begitu mendarat di Jakarta, Selasa, 10 Nopember 2020. selama 14 hari untuk memutus mata rantai penularan Corona Virus Disease-19 (Covid-19), dengan ancaman pidana penjara 1 tahun sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984, tentang Wabah Penyakit Menular, dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018, tentang: Kekarantinaan Kesehatan.

Polemik di sekitar MRS, lengkap sudah setelah dinyatakan menghilang dari Rumah Sakit Ummi Bogor, Jawa Barat, pukul 20.50 WIB, Sabtu malam, 28 Nopember 2020, setelah dirawat sejak Kamis, 26 Nopember 2020. Wali Kota Bogor, Bima Arya, memutuskan melaporkan Rumah Sakit Ummi Bogor ke Polisi, karena tidak kooperatif di dalam melakukan test swab Covid-19 terhadap MRS.

MRS adalah simbol radikalisme di Indonesia, pasca pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) didasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017. Radikalisme di Indonesia berkolerasi dengan maraknya aksi terorisme, sebagaimana aksi terorisme jaringan MIT di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat, 27 Nopember 2020.

Ali Kalora, pemimpin MIT di Sulawesi Tengah, sebuah jaringan teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan The Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), dalam pernyataan audio visual yang tersebar luar di media sosial, mengklaim paling bertanggungjawab terhadap 4 warga dalam satu keluarga di Kabupaten Sigi, Jumat, 27 Nopember 2020.

Aksi serupa, ancam Ali Kalora, akan terus berlanjut untuk memerangi pemerintahan thogut di Indonesia. Indonesia penganut ideologi Pancasila, bagi kaum radikal adalah pemerintahan thogut. Baik MRS dan MIT, berjuang agar Indonesia berhaluan khilafah. Jadi antara gerakan komplotan MRS dan MIT memang ada kolerasinya.

Arab Spring

Aksi radikalisme dan terorisme di Indonesia, merupakan bagian dari aktifitas Arab Spring, yaitu sebuah gerakan politik untuk mengganti haluan negara Indonesia dari ideologi Pancasila menjadi ideologi Islam garis keras, yaitu paham khilafah.

Afif Fuad Saidi, Tim Cyber Waroom Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor Nahdatul Ulama, mengatakan, Arab Spirng adalah gelombang musim semi politik di Jazirah Arab yang awalnya menjatuhan Rezim korup di Tunisia, namun pada akhirnya merembet dan meluluhlantakkan Negara. Dimulai dari Tunisia,  Libya, Yaman, dan Suriah.  

Target berikutnya adalah Indonesia. Kini, tengah diupayakan. Negara-negara di Timur Tengah itu sudah hancur luluh dan jadi negara gagal, akibat gerakan propaganda kaum radikalis yg mengatasnamakan revolusi. 

Penjaja revolusi menjanjikan seribu janji manis, khilafahIislam, keadilan, perdamaian, kesejahteraan, surga. Namun yg terjadi kebalikannya, perang sipil berkobar, saling bunuh sesama anak bangsa, negara hancur dan menyisakan penyesalan. Neraka dunia.  

Menurut Afif Fuad Saidi, gerakan yang dimotori oleh kelompok radikal, sudah nampak di Indonesia, sudah siaga. Mereka akan melakukan apa yang dilakukan oleh idola mereka di Jazirah Arab sana untuk menghancurkan negeri. 

Massa pendukung mereka adalah orang-orang yang kalah – gagal dalam hidup – kurang pendidikan dan korban hasutan politik berkedok agama. Mimpi khilafah islamiyah di Suriah, Irak, dan Libya menyebabkan gelombang pengungsian ke Eropa.  

Ikhwanul Muslimin yang memenangkan Pemilihan Umum (Pemilu) di Mesir dan Tunisia harus kecewa karena negara-negara luluh-lantah akibat kekacauan. Dan kini mencuci otak generasi muda di Indonesia, melalui Dakwah Tarbiyah dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Bisa dilihat dari hampir semua kebijakan Pemerintah Republik Indonesia, terutama di era Pemerintahan Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024) ditentang PKS. PKS di Indonesia, meniru Mesir. 

Keberhasilan kelompok radikal menghancurkan Jazirah Arab menjadi semangat jejaring mereka di Eropa, Afrika, Asia, Australia, bahkan kini sampai ke Indonesia. 

Inilah 3 tandanya, mengutip Afif Fuad Saidi. Pertama, politisasi agama. Sedang gencar dikobarkan. Gerakan mereka mengatasnamakan “umat” dan “Tuhan”, gerakan mereka seolah membela “Agama” dan Umat Islam, serta menjadikan simbol-simbol Islam sebagai basis gerakan mereka. Di Damaskus, mereka menggunakan Masjid Jami’ Umawi sebagai markas Demonstran.

Sedangkan di Indonesia, pengajian-pengajian dan mimbar masjid – khususnya pada khutbah Jumat – mereka gunakan untuk propaganda kebencian pada Pemerintah. 

Jika Yusuf Al Qardlawi pimpinan Ikhwanul Muslimin pernah menyerukan “Jumat al-Ghadab” atau “Jumat Kemarahan”, itu yang sudah dipraktekkan di Indonesia.

Kedua, melakukan pembunuhan karakter pada Ulama. Khususnya Ulama yg menjadi lawan politik dan gerakan mereka. Ulama yang pro Pemerintah, Pro kebangsaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mereka tuding “Penjilat Istana.”

Di Damaskus – Syeikh Sa’id Ramadhan al-Buthi, ulama besar yang karyanya bertebaran di Perpustakaan Kampus Islam dunia, wafat di Masjid Al-Iman Damaskus saat Pengajian tafsirnya berlangsung. Al-Buthy dan 45 orang lainnya harus terbunuh hanya karena berbeda pandangan politiknya.

Al-Buthi juga dianggap “Penjilat Istana” dan dianggap sebagai pengikut Syiah – padahal Al-Buthi adalah Ulama Aswaja, ceramah dan karyanya getol menyuarakan Aswaja: Ashul Sunah Wa Jama’ah – hanya karena pandangan kebangsaannya, beliau harus terbunuh.

“Lalu, bagaimana di Indonesia? Jawabannya, kurang sama, para Ulama dibunuh karakternya. Prof Quraish Syihab adalah salah satunya. Mereka menuduhnya sebagai seorang Syiah. Kiai Mustafa Bisri dituduh liberal. Begitu juga Kiai Said Aqil Siradj, dituduh Syiah dan liberal, yangg berseberangan pandangan politiknya dihabisi, difitnah,” ungkap Afif Fuad Saidi.

Ingat kasus Tuan Guru Bajang Zainul Majdi? Tokoh yang awalnya mereka puja, karena pandangan politiknya berubah, mereka memfitnahnya sedemikian rupa.

Sebaliknya, menurut Afif Fuad Saidi, mereka memanggungkan ustadz abal-abal yang lebih menghibur. Atau enteng mencaci maki.   

Ketiga, propaganda anti Pemerintah.  Mereka melakukan agitasi dan seruan ketidakpercayaan pada Pemerintah dan Istana. Di Suriah, Basyar al-Assad dituduh Syiah, dituduh Kafir dan membantai kaum Sunni.

Joko Widodo Dituduh PKI

“Sedangkan di Indonesia, Presiden Joko Widodo, dituduh anak Partai Komunis Indonesia (PKI), keluarganya dituduh sebagai Kristen, antek China. Polanya sama,” ujar Afif Fuad Saidi.

Mereka juga menggugat ketidakpercayaan pada sistem dan pelaksana Negara. Mereka menawarkan “teko ajaib” bernama Khilafah Islamiyah sebagai solusi dari sistem Demokrasi. 

Masalah apapun yang ada di Indonesia, solusinya adalah Khilafah Islamiyah, dengan melemahkan sistem dan pelaksana Negara di Indonesia. 

Di Suriah ada jargon tertentu yang selalu diteriakkan, seperti “Al-Sha’b Yurid Isqat Al-Nizam” (rakyat menghendaki rezim turun) dan “Irhal Ya Basyar” (turunlah Presiden Basyar), di Indonesia juga sama, apapun demonstrasinya intinya tetap turunkan Presiden Joko Widodo.

Polanya sangat mirip, jika tidak boleh dikatakan sama. Suriah saat ini luluh lantak karena membiarkan dan terlena pada gerakan ‘Radikal’ tersebut. Jangan sampai di Indonesia terjadi seperti Suriah. 

“Semoga Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri),  khususnya Kepala Polisi Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) Inspektur Jenderal Polisi Fadil Imran, dan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Pangdam Jaya) Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman, tidak kecolongan lagi di dalam menghentikan aktifitas MRS karena bagian dari Arab Spring,” ujar Afif Fuad Saidi. 

Mobilisasi masyarakat

Pengamat Timur Tengah dari Damar Institute, Dr Suaib Tahir MA, mengungkapkan, salah satu yang mendukung gerakan massa di negara-negara Arab saat itu tidak terlepas dari kemajuan teknologi, khususnya medsos.

Masyarakat tidak perlu lagi teriak-teriak di sana sini untuk mempengaruhi yang lainnya agar turun ke jalan akan tetapi cukup membuat tagline di media sosial. Buktinya, propaganda, hoaks, dan agitasi yang tersebar di medsos mampu memobilisasi masyarakat untuk turun ke jalan sehingga menimbulkan kegaduhan besar.

“Yang menarik dari Arab Spring ini adalah munculnya gerakan-gerakan radikal dan ekstremisme di negara-negara itu sebagai salah satu pioner pembebasan dari sistem diktator yang selama ini berkuasa di negeri-negeri itu. Isu agama dijadikan senjata untuk menerapkan syariat Islam seperti yang terjadi di Mesir, Libya, dan Tunisia,” ujar Suaib Tahir jebolan Universitas Khartoum Sudan di Jakarta, Selasa, 26 Maret 2019.

Suaib Tahir mengingatkan, agar bangsa Indonesia belajar dari fenomena Arab Spring yang pernah terjadi di Timur Tengah. Suaib menjelaskan, ketika Arab Spring terjadi, ia masih berada di Timur Tengah dan menyaksikan secara langsung proses kemunculannya.  Saat itu, ia sedang berada di Juba menghadiri upacara kemerdekaan Sudan Selatan.

Usai menghadiri upacara kemerdekaan itu tiba-tiba semua delegasi dari berbagai negara  harus kembali ke Khartoum, Ibu Kota Sudan, karena ingin menyampaikan laporan upacara kemerdekaan Sudan Selatan.  Pada waktu yang sama, mereka ingin melaporkan kejadian di Tunisia yang memaksa Presiden Tunisia Ali Zaenal Abidin agar mundur dari posisi Presiden.

Awalnya, terang Suaib, hanya masalah kecil yaitu seorang pedagang buah di sebuah kota provinsi di Tunisia membakar dirinya karena putus asa atas tindakan aparat keamanan yang melarang dan membakar barang dagangannya di pinggir jalan.

Peristiwa inilah yang kemudian memancing amarah masyarakat untuk turun ke jalan memprotes aksi aparat keamanan itu. Protes yang dimulai dari ibu kota provinsi akhirnya menjalar hingga ke Ibu Kota dan pada akhirnya memaksa Presiden Tunisia untuk lengser dari jabatannya.

Suaib Tahir melanjutkan, apa yang terjadi di Tunisia menjadi inspirasi bagi warga Mesir yang juga melakukan aksi bakar diri karena putus asa dengan kehidupan ekonominya. Dari sini, masyarakat Mesir mulai turun ke jalan menuntut Presiden Mesir Hosni Mubarak agar lengser dari kursi kepresidenan. 

Apa yang terjadi di Mesir juga menginspirasi masyarakat Libya, Yaman, Irak, dan Suriah kemudian melakukan hal yang sama dan semua itu berawal dari hoaks. Menjelang Pemilihan Umum 2019 dan pasca kedatangan MRS ke Indonesia sejak 10 Nopember 2020, fenomena hoaks menjadi tantangan besar yang dihadapi bangsa Indonesia.

Terbukti, selama proses demokrasi Pemilu 2019 dan sampai akhir tahun 2020, hoaks beredar di liar.  Ironisnya, literasi digital dan budaya saring sebelum sharing di masyarakat masih sangat rendah. Kondisi ini dimanfaatkan pembuat hoaks dengan membuat bentuk yang menarik seperti meme, video pendek, dan lain-lain.

Suaib Tahir menjelaskan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan apakah berita itu benar atau hoaks. Pertama adalah tanggal dan tempat peristiwa. Produsen hoaks sering kali memanipulasi gambar dan berita sebagai bahan propaganda. Misalnya sebuah kejadian yang sudah lama tapi kembali diunggah dalam bentuk baru dengan tanggal unggahan yang baru. 

Padahal, gambar tersebut sudah lama dan bahkan kejadinya sama sekali tidak ada kaitannya dengan apa yang dimaksud postingan itu. Kedua produsen hoaks sering kali memanipulasi tempat kejadian atau gambar yang dimanipulasi untuk kebutuhan tertentu, termasuk tujuan politis.  

Terkait proses demokrasi dalam Pemilu 2019 ini, doktor jebolan Universitas Khartoum Sudan ini menilai, masyarakat sejatinya menjadi bagian dari proses demokrasi yang bersih, jujur, dan adil, tanpa ada intimidasi-intimidasi yang dapat menekan seseorang atau satu komunitas untuk memilih paslon yang diinginkan.  Karena itu kebebasan memilih sesuai hati nuraninya harus dihormati tanpa harus menggunakan cara-cara kotor seperti hoaks dan lain-lain.  

“Hoaks dan ujaran kebencian hanya akan menimbulkan kemarahan dan pasti akan berdampak negatif dalam proses demokrasi kita. Di titik ini secara tidak langsung kita telah menanam benih-benih kebencian antara sesama kita dan itu sangat tidak baik bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia,” tutur Suaib.  

Hubungan Persaudaraan

Padahal, lanjut Suaib Tahir, pesta demokrasi sejatinya harus dipahami sebagai sebagai ajang untuk memperjuangkan para calon tanpa harus mencederai pendukung lain. Karena itu hubungan persaudaraan harus selalu di jaga kapan pun dan di mana pun karena hubungan persaudaraan tanpa mengenal batas waktu sehingga harus dirawat dalam kondisi apa pun.

Menurut Suaib Tahir, akan menjadi sebuah kekeliruan jika hanya karena pilihan yang berbeda hubungan persaudaraan atau pertemanan sebagai bangsa Indonesia bisa rusak.   

Dari fenomena ini, Suaib Tahir mengajak generasi milenial di Indonesia untuk mengambil pelajaran dari Timur Tengah itu, terutama pemakaian hoaks untuk memecah belah bangsa dari kelompok radikal berkedok agama. (Aju)