Bongkar Dugaan Korupsi LPEI, Kejaksaan Agung Periksa Enam Saksi

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung bongkar dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) kepada sembilan perusahaan.

Guna membuat terang dan mencari tersangka kasus tersebut Kejaksaan Agung melalui tim jaksa penyidik pidana khusus mulai memeriksa saksi-saksi sebanyak enam orang, Selasa (29/6).

Empat orang saksi diantaranya dari LPEI, yakni AS Mantan Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta, FS Kepala Divisi UKM pada LPEI Tahun 2015, DAP Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II dan  YTP Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II pada LPEI.

Sedangkan dua saksi lainnya yakni MS merupakan Senior Manager Operation TNT Indonesia Head Office dan Ir EW selalu Manager Operation Fedex/TNT Semarang.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, Rabu (30/6) pemeriksaan para saksi untuk mengungkap fakta hukum adanya dugaan korupsi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI.

“Para saksi diperiksa terkait apa yang saksi lihat, dengar dan alami sendiri,” ucapnya seraya menyebutkan untuk mantan Kepala Kantor Wilayah LPEI Surakarta yakni AS diperiksa terkait pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT KKT.

Saksi FS selaku Kepala Divisi UKM pada LPEI Tahun 2015 diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT JMI dan PT MWI dan saksi DAP selaku Kepala Divisi Analisa Resiko Bisnis II pada LPEI diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT JMI.

Sedangkan saksi YTP selaku Kepala Divisi Restrukturisasi Aset II pada LPEI, diperiksa terkait penanganan debitur macet. “Dua saksi lain MS selaku Senior Manager Operation TNT Indonesia Head Office dan Ir EW selaku Manager Operation Fedex / TNT Semarang sama-sama diperiksa terkait pengiriman SBW melalui TNT,” ucap Leo.

Dia mengakui kasus dugaan korupsi di LPEI merupakan kasus baru yang disidik berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada JAM Pidsus Febri Adriansyah No: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.

Kasus posisinya yaitu LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT. Cipta Srigati Lestari, PT. Lautan Harmoni Sejahtera dan PT. Kemilau Harapan Prima serta PT. Kemilau Kemas Timur.

“Pembiayaan kepada para debitur tersebut oleh LPEI sesuai laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019,” ungkapnya.

Penyebabnya, tutur Leo, LPEI dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur (perusahaan penerima pembiayaan) diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik.

“Sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet atau non performing loan (NPL) pada tahun 2019 sebesar 23,39 persen,” tutur Leo.

Dimana berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 trilyun dengan penyebabnya karena adanya pembentukan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).

Selanjutnya berdasarkan statement di laporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74 persen dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan).

Kenaikan CKPN ini, tuturnya, untuk mencover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalah diantaranya disebabkan oleh ke sembilan debitur tersebut.

Dia mengungkapkan juga salah satu debitur dari Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dengan Direktur Utama dari ketiga perusahaan yakni S.

Namun dalam pembiayaan kepada Group Walet diduga pihak LPEI yaitu tim pengusul, Kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis dan Komite Pembiayaan tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.

Akibatnya debitur Group Wallet yaitu PT. Jasa Mulya Indonesia, PT. Mulya Walet Indonesia dan PT. Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 ( macet ) sehingga mengalami gagal bayar sebesar Rp.683 miliar yang terdiri nilai pokok sebesar Rp576 miliar plus denda dan bunga sebesar Rp107,6 miliar.(muj