Jaksa Agung Burhanudin saat membuka Rapat Kerja Teknis bidang Pidana Umum yang akan berlangsung selama dua hari dari tanggal 1-2 September 2021.(ist)

Jaksa Agung: Gunakan Hati Nurani Dalam Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Jaksa Agung Burhanudin kembali mengingatkan jajarannya untuk mengedepankan hati nurani dalam setiap pelaksaan tugas dan kewenangan serta pengambilan keputusan.

Menurut Jaksa Agung hati nurani haruslah menjadi pertimbangan dan penerapan hukum berdasarkan hati nurani adalah sebuah kebutuhan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

“Guna mewujudkan keadilan hukum yang hakiki dan untuk lebih memanusiakan manusia di hadapan hukum,” tuturnya saat membuka Rakernis bidang Pidana Umum tahun 2021 secara virtual dari ruang kerjanya di Gedung Menara Kartika Adhyaksa, Kejagung, Jakarta, Rabu (1/9).

Oleh karena itu Jaksa Agung kembali menegaskan kalau dirinya tidak membutuhkan jaksa yang pintar, tapi tidak bermoral dan jaksa yang cerdas tapi tidak berintegritas.

“Yang saya butuhkan para jaksa yang pintar dan berintegritas. Saya tidak menghendaki para jaksa melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan tidak ada dalam text book, tapi ada dalam Hati Nurani,” ujarnya.

Dia menambahkan sumber dari hukum adalah moral. “Di dalam moral ada Hati Nurani. Jangan sekali-kali menggadaikan hari nurani. Karena itu anugerah termurni yang dimiliki manusia dan cerminan dari sifat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang,” ujarnya.

Dikatakannya juga Kejaksaan telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai bentuk kristalisasi penerapan hukum berdasarkan Hati Nurani.

Berdasarkan laporan yang diterima Jaksa Agung sejak diberlakukannya keadilan restoratif dari 22 Juli 2020 hingga 1 Juni 2021, sebanyak 268 perkara berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif. Sedang tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif yaitu penganiayaan, pencurian, dan lalu lintas.

“Data ini seharusnya membuat kita tersentak. Karena ternyata selama ini banyak pencari keadilan dan banyak perkara-perkara seperti Nenek Minah dan Kakek Samirin yang tidak diekpos media dapat perlakuan hukum yang tidak pantas dan tidak seyogianya diteruskan ke pengadilan,” tutur Jaksa Agung.

Oleh karena itu, kata Jaksa Agung, adalah tugas jaksa selaku pemilik asas dominus litis atau pengendali perkara yang menentukan dapat atau tidaknya suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan.

Dia menyebutkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif suatu bentuk diskresi penuntutan oleh penuntut umum yang akan melihat dan menyeimbangkan antara aturan yang berlaku dengan tujuan hukum yang hendak dicapai.

“Ingat tugas kita sebagai penegak hukum adalah untuk memberikan perlindungan hukum dan menghadirkan kemanfaatan hukum kepada masyarakat,” ucapnya.
 
Oleh karena itu dia meminta Jaksa Agung Muda Pidana Umum untuk melaporkan penanganan perkara keadilan restoratif  secara berkala setiap bulan dan disampaikan kepada masyarakat mengenai capaian kinerja melalui Pusat Penerangan Hukum.
 
“Saya ingin Kejaksaan di kenal melekat di mata masyarakat sebagai institusi yang mengedepankan hati nurani dan penegak keadilan restoratif. Kejaksaan harus mampu menegakan hukum yang memiliki nilai kemanfaatan bagi masyarakat,” ujarnya.

Jaksa Agung saat membuka Rakernis meminta juga sejumlah isu aktual perlu dicermati dan dibahas. Antara lain penerapan Pedoman Nomor 11 Tahun 2021 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika dan/atau Tindak Pidana Prekursor Narkotika.

Pedoman ini, katanya, punya hubungan erat dengan Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum. “Saya minta para Jaksa untuk mencermati Pedoman Narkotika, sehingga tidak menyimpangi asas single prosecution system.”

Selain itu Jaksa Agung menginginkan untuk kebutuhan internal perlu adanya digitalisasi untuk setiap regulasi, surat edaran, atau petunjuk teknis penanganan perkara pidum.

“Guna mempermudah penyebarluasan informasi produk-produk hukum dan kebijakan terbaru ke seluruh Indonesia,” tuturnya seraya meminta jajarannya untuk memberikan perhatian terkait penyelesaian pelaksanaan putusan pengadilan yang telah “inkracht” secara tuntas.

“Tidak hanya penyelesaian pidana pokok, tapi juga penyelesaian pidana tambahan maupun eksekusi barang bukti. Karena mengabaikan pelaksanaan dan penyelesaiannya akan memperbanyak tunggakan perkara yang berimplikasi pada tidak adanya kepastian hukum atas putusan pengadilan,” ujar Jaksa Agung.

Oleh karena itu, katanya, diperlukan kesungguhan untuk mewujudkan asas litis finiri oportet bahwa setiap perkara harus ada akhirnya dalam rangka menjamin hadirnya kepastian hukum dan mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Jaksa Agung pun meminta agar pelaksanaan sidang secara online perlu dikaji lebih lanjut sejauhmana sidang secara online dapat dipertahankan sebagai instrumen proses penyelesaian perkara di pengadilan.

Dia menyebutkan apakah sidang online ke depan hanya diberlakukan dalam keadaan darurat seperti saat ini atau dapat menggantikan sidang konvensional secara permanen. “Atau diberlakukan berjalan berdampingan dengan sidang konvensional sebagai pilihan proses penyelesaian perkara di pengadilan,” ucapnya.

Hadir secara virtual dam pembukaan Rakernis Pidum antara lain Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, Para Jaksa Agung Muda, Kepala Badiklat Kejaksaan, Ketua Komisi Kejaksan serta para pejabat eselon II dan III pada JAM Pidum. 

Selain itu para Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia beserta jajarannya, dari ruang kerja atau dari kantor masing-masing. (muj)




J






Jaksa Agung Minta Pe