Jaksa Agung: Hati Nurani Berandil Besar Menyeimbangkan Tiga Tujuan Hukum

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Jaksa Agung Prof Dr Burhanuddin, SH, MM, MH mengatakan dari tataran enpirik tidak dapat dipungkiri hukum saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas formal daripada keadilan hukum yang lebih subtansial bagi masyarakat.

“Sebagian besar kalangan juga masih memandang jika hukum bagai pisau yang tajam ke bawah tumpul ke atas,” kata Jaksa Agung dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tidak Tetap Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah dengan judul “Hukum Berdasarkan Hati Nurani”, Jumat (10/9).

Jaksa Agung mengakui beberapa kali terjadi peristiwa penegakan hukum yang mencederai rasa keadilan masyarakat ketika pelaku tindak pidananya masyarakat kecil dan perbuatan tindak pidananya tidak pantas atau tidak adil jika dibawa ke pengadilan.

“Seperti dialami Nenek Minah yang didakwa dan dihukum mencuri tiga buah kakao atau Kakek Samirin yang dihukum karena mencuri getah karet telah mengusik rasa keadilan di masyarakat,” ungkapnya.

Dia menyebutkan dari dua contoh tersebut banyak kalangan mempertanyakan dimana letak hati nurani aparat hukum yang tega menghukum masyarakat kecil dan tua renta atas kesalahannya yang dipandang tidak berat.

Padahal, katanya, tujuan hukum ada tiga yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. “Apalagi saat ini terjadi penggeseran paradigma hukum dari keadilan restributif atau pembalasan menjadi keadilan restoratif atau pemulihan,” tuturnya.

Dia mengakui keadilan adalah salah tujuan utama dari hukum. “Tapi bukan berarti tujuan hukum yang lain yaitu kepastian dan kemanfaatan hukum terpinggirkan.”

Dikatakannya juga ketika keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum saling  menegaskan, maka hati nurani menjadi jembatan untuk mencapai titik neraca
keseimbangan dari tujuan hukum.

“Hati nurani sendiri bukanlah tujuan hukum, melainkan instrumen katalisator untuk menyatukan dan mewujudkan tiga tujuan hukum tersebut secara sekaligus,” ujar mantan Kajati Sulawesi Selatan ini.

Dia menuturkan ketika kemanfaatan hukum dan kepastian hukum yang dilandasi hati nurani telah tercapai secara kesamaan maka keadilan hukum akan terwujud secara paripurna.

“Adanya komponen hati nurani yang memiliki andil besar dalam mewujudkan keadilan hukum ini saya namakan sebagai hukum berdasarkan hati nurani,” kata Jaksa Agung.

Dia menekankan semakin tinggi penggunaan hati nurani maka akan semakin tinggi nilai keadilan hukum yang dapat diwujudkan. “Hukum tanpa keadilan adalah sia sia dan hukum tanpa tujuan atau manfaat juga tidak dapat diandalkan.”

Dikatakannya juga hukum berdasarkan hati nurani adalah cara mewujudkan keadilan yang hakiki dengan berpijak pada kemanfaatan dan kepastian hukum yang dicapai bersama-sama dengan melibatkan hati nurani.



Untuk itu Jaksa Agung pun telah mengeluarkan Peraturan Kejaksaan (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang disebut juga Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif dan telah diundangkan pada 22 Juli 2020.

“Perja tentang Keadilan Restoratif lahir untuk memecahkan kebuntuan atau kekosongan  hukum materil dan hukum formil, dan diharapkan dapat lebih menggugah Hati Nurani para Jaksa sebagai pengendali perkara pidana dalam melihat realitas hukum,” ujarnya.

Jaksa Agung menyebutkan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif merupakan suatu bentuk diskresi penuntutan  oleh penuntut umum yang sekaligus merupakan pengejawantahan asas dominus litis yang hanya dimiliki oleh Jaksa.

Dikatakannya Perja tersebut merupakan regulasi pertama di Indonesia yang dapat menjangkau usia dewasa untuk diterapkan Konsep Keadilan Restoratif. “Konsep tersebut sebelumnya hanya untuk pelaku Anak sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujar Burhanuddin.

Dia mengungkapkan berdasarkan data selama satu tahun telah terdapat sebanyak 304 ratus perkara yang berhasil dihentikan berdasarkan keadilan restoratif berdasarkan Per-JA tentang Keadilan Restoratif.

Adapun tindak pidana yang paling banyak diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif adalah tindak pidana penganiayaan, pencurian, dan lalu lintas.

Jaksa Agung pun mengharapkan Per-JA tentang Keadilan Restoratif dapat menjadi pedoman atau role model dalam penyusunan revisi KUHAP yang saat ini belum mencerminkan pendekatan keadilan restoratif di dalamnya.(muj)