Kasus di Karawang, Jaksa Agung Akui Terpaksa Lakukan Langkah Esktrem

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Jaksa Agung Burhanuddin mengakui melakukan langkah ekstrem dalam kasus di Kejaksaan Negeri Karawang. Masalahnya jaksa yang menangani  Valencya alias Nengsi Lim tidak profesional dan tidak peka.

“Mulai tindakan eksaminasi, mencopot Aspidum, menarik penanganan perkara dan menuntut bebas terpaksa saya lakukan,” kata Jaksa Agung melalui Kapuspenkum Kejaksan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam keterangan tertulisnya, Senin (28/11).

Dia menyebutkan kasus Valencya juga menjadi contoh penegakan hukum yang tidak menyerap rasa keadilan di masyarakat. “Karena tuntutan dari jaksa nampak sekali mengabaikan rasa keadilan dan kemanfaatan, sehingga menimbulkan kegaduhan.”

Padahal dia sudah menuangkan dalam point 2 perintah hariannya pada peringatan HBA ke 61 agar para jaksa menggunakan hati nurani dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewenangannya.

Adapun arti penting dan tujuan penggunaan hati nurani, tutur dia, adalah penegakan hukum yang dilakukan bukan hanya memenuhi nilai kepastian untuk mencapai keadilan

“Namun juga kemanfaatan dari penerapan hukum itu sendiri untuk mencapai keadilan yang hakiki,” ujarnya seraya mencontohkan 
Restorative Justice lahir karena dirinya ingin kehadiran jaksa di tengah masyarakat tidak hanya memberikan kepastian dan keadilan, tapi juga kemanfaatan hukum.

“Karena hukum ada untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Sehingga jika penegakan hukum tidak memberi kemanfaatan bagi masyarakat, maka hukum telah kehilangan rohnya,” kata dia.

Dia pun mengingatkan atribut kewenangan yang ada pada Jaksa adalah pendelegasian kewenangan darinya. “Yang sewaktu-waktu bisa saya cabut ketika kalian saya nilai tidak cakap dalam mengemban tugas dan kewenangan,” ujarnya.

Dikatakannya juga semangat dan ruh Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum memberikan kepercayaan penuh kepada Kajari sebagai pengendali perkara. Sedangkan Kajati sebagati quality control dan Kejaksaan Agung sebagai evaluator.

“Artinya adalah seharusnya penanganan perkara lebih mampu menyerap rasa keadilan di lingkungan masyarakat setempat. Karena
pengendalian perkara berada di tangan para Jaksa yang ada di lingkungan tersebut,” tuturnya.

Bercermin kasus di Karawang, Jaksa Agung meminta Kajati dan Kajari dapat mengevaluasi dan memonitor pemahaman dan kepatuhan para Aspidum dan Aspidsus serta Kasi Pidum dan Kasi Pidsus terhadap Pedoman tersebut.

Dibagian lain Jaksa Agung menegaskan akan melakukan evaluasi terhadap para jaksa yang seringkali menunda pembacaan tuntutan dengan berdalih rencana penuntutan belum turun dari pimpinan.

“Karena sejatinya tidak ada alasan penundaan sidang selain karena hal teknis, seperti tidak dapat hadirnya saksi atau ahli mengikuti persidangan,” katanya.

Dia pun menekakankan kepada Kepala satuan kerja untuk mencermatinya, karena penundaan tersebut dapat mengindikasikan adanya potensi perbuatan tercela.

“Saya pun tidak segan-segan untuk mengevaluasi jika masih ada jaksa menunda  pembacaan tuntutan tanpa ada alasan yang sah,” ucap mantan JAM Datun ini. (muj)