Tim jaksa penyidik pada tindak pidana khusus Kejati DKI Jakarta saat menggeledah salah satu ruangan di Kantor Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta.(ist)

Kasus Mafia Tanah, Jaksa Geledah Kantor Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta melalui Tim jaksa penyidik pada Tindak pidana khusus pada hari ini melakukan penggeledahan di Kantor Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Provinsi DKI Jakarta.

Penggeledahan tersebut sebagai tindak lanjut peningkatan status kasus mafia tanah terkait dugaan korupsi dalam pembebasan lahan untuk ruang terbuka hijau di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan.

“Selain untuk merespon perintah langsung Bapak Jaksa Agung dalam pemberantasan terhadap mafia tanah maupun mafia pelabuhan,” kata Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Abdul Qohar Affandi kepada Independensi.com, Kamis (20/1).

Abdul Qohar menyebutkan dalam penggeledahan tim jaksa penyidik telah menyita sejumlah barang yang berhubungan dengan dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi di Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta.

“Barang-barang yang disita tersebut nantinya akan dijadikan sebagai barang-bukti,” ucapnya seraya menyebutkan kasus pembebasan lahan oleh Dinas Kehutanan DKI Jakarta sebelum menjadi Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI di Cipayung telah ditingkatkan kepada tahap penyidikan sejak Rabu (19/1) kemarin.

Selanjutnya, tutur dia, untuk menyidik kasus tersebut Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta juga telah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprintdik) Nomor: Print-01/M.1/Fd.1/01/2022 tanggal 19 Januari 2022.

Adapun kasus yang disidik Kejati DKI Jakarta berawal ketika pada tahun 2018 Dinas Kehutanan Provinsi DKI Jakarta yang memiliki anggaran sebesar Rp326 miliar melakukan kegiatan pembebasan lahan di wilayah Administrasi Jakarta Timur.

Lahan yang dibebaskan tersebut untuk taman hutan, makam dan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Namun dalam pelaksanaannya diduga ada kemahalan harga yang dibayar sehingga diduga merugikan negara sebesar Rp26 miliar.

“Karena dalam menentukan harga pasar tidak berdasarkan harga dari aset identik atau sejenis yang ditawarkan untuk dijual. Sebagaimana diatur dalam metode perbandingan data pasa berdasarkan Standar Penilai Indonesia 106 (SPI 106),” kata Abdul Qohar.(muj)