PEKANBARU (Independensi.com) –Kasus investasi bodong dalam perkara nomor 1169/Pid.Sus/2021/PN.Pbr dengan terdakwa Maryani, dan perkara nomor 1170/Pid.Sus/2021/PN.Pbr atas nama terdakwa Agung Salim, Bhakti Salim, Christian Salim dan Elly Salim, murni kasus pidana.
Kalau ada pihak yang menyatakan kasus tersebut diseret-seret dari kasus perdata ke-pidana, hal itu hanyalah stereotipe, menggiring opini dengan harapan semoga putusan hakim onslag (lepas dari tuntutan hukum).
Hal seperti itu pernah terjadi dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait kasus Indosterling.
Dan kasus itulah yang dicoba di-analogikan Yunus Husein saat memberi kesaksian pada persidangan beberapa waktu lalu.
Namun Ketua Majelis Dr Dahlan SH,MH saat itu langsung memotong penjelasan Yunus Husein dan menegaskan, bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia independensi, tidak menganut yurisprudensi.
Sehingga, kalaupun terdakwa Maryani ataupun terdakwa Bhakti Salim menyampaikan tidak mengerti kasus yang menjerat mereka hingga 8-9 bulan ditahan, itu hanyalah penggiringan opini saja.
Hal itu disampaikan Prof Dr Jongker Sihombing SH, SE,MH menjawab pertaanyaan Independensi.com melalui whatsaap, menanggapi pledoi Maryani dan Bhakti Salim dalam sidang yang digelar secara virtual Jumat (10/3) sore dipimpin Dr Dahlan SH,MH dibantu Istiono SH,MH dan Tommy Manik SH.
Lebih lanjut Prof Dr Jongker Sihombing menegaskan, kasus dugaan inverstasi bodong mengakibatkan warga Pekanbaru korban Rp 84,9 miliar, adalah akibat promissory note atau surat sanggup yang dijual terdakwa kepada masyarakat luas, mencapai ribuan orang.
Investor yang membeli adalah masyarakat awam yang tingkat literasi keuangan tidak memadai.
Jika namanya surat hutang (promissori note) atau sejenisnya, alternatifnya adalah, apakah hal itu merupakan instrumen pasar uang ?
Menurut doktor hukum dari Universitas Pajajaran ini menyatakan, jelas tidak. Karena tidak sesuai dengan ketentuan PBI ataupun POJK.
Alternatif kedua, apakah promissory note tersebut merupakan yang diperdagangkan di pasar modal berupa efek ?
Juga tidak terpenuhi, karena diterbitkan tidak sesuai atau tidak melalui proses penawaran umum sesuai dengan Undang-Undang Pasar Modal, tidak melalui due diligensi, tidak menerbitkan prospektus, dan tidak memasukkan pernyataan pendaftaran ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Lebih lanjut Jongker mempertanyakan, apakah promissory note yang diperdagangkan Maryani ataupun Agung Salim, Bhakti Salim, Christian Salim dan Elly Salim melalui PT WBN dan PT TGP dibawah naungan Fikasa Group telah memenuhi kriteria surat hutang yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) ?
Prof Dr Jongker ahli hukum pidana perbankan tersebut menyatakan bahwa, promissory note yang mereka jual tidak memenuhi syarat sebagaimana tertuang dalam KUHD.
Sebab, syarat ketiga dari 7 syarat yang diatur dalam pasal 174 KUHD menyatakan “harus ada pernyataan sanggup membayar tanpa syarat”.
Jongker menegaskan, pernyataan sanggup bayar tanpa syarat itu harus tercantum didalam warkat Promissory Note (PN) atau surat sanggup tersebut.
Sedangkan dalam fakta persidangan, dalam promissory note yang mereka perdagangkan melalui PT WBN atau PT TGP dibawah naungan gorup Fikasa, tidak ada tercantum surat sanggup bayar tanpa syarat.
Dengan demikian, apakah hal itu dapat di golongkan sebagai private placement, ujar Jongker dengan nada tanya.
Namun apa yang dipertanyakan ahli hukum perbankan itu, dalam penjelasannya juga dinyatakan tidak bisa digolongkan sebagai private placement.
Karena jika private placement, maka promissory note harus dijual kepada 2-3 orang investor strategis, yang telah mempunyai hubungan saling mengenal dan mengetahui identitas.
Dengan demikian, perbuatan terdakwa adalah menghimpun dana masyarakat dalam bentuk yang dipersamakan dengan deposito (pasal 1.5 UU Perbankan) yang seharusnya mendapat ijin dari OJK (pasal 16 UU Perbankan).
Karena tanpa ijin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maka penerbitan promissory note (surat sanggup) tersebut, jelas melanggar pasal 46 Undang Undang Perbankan, yang termasuk perbuatan pidana.
“Kita mengharapkan pada majelis yang menyidangkan perkara ini, agar menjatuhkan pidana yang berat, agar perbuatan para terdakwa tidak ditiru orang lain di kemudian hari,” ujar Prof Jongker.
Sebagaimana diketahui, dalam sidang pledoi terdakwa Maryani dan Agung Salim Cs yang digelar secara virtual di Pengadilan Negeri Pekanbaru Jumat (10/3/2022) sore, penasehat hukum Maryani dari Tim Penasehat Hukum Yudi Krismen, secara bergantian membacakan pembelaan.
Dalam pledoinya, penasehat hukumnya mempertanyakan JPU yang menuntut Maryani 12 tahun penjara ditambah denda 15 miliar, karena menurutnya, Maryani bukan pengambil keputusan didalam organisasi PT WBN maupun PT TGP perusahaan dibawah naungan Fikasa Group.
Bahkan saat Maryani diberi kesempatan membacakan pledoinya sendiri, dibawah linangan air mata, Maryani menyampaikan bahwa dalam persoalan dugaan investasi yang disebut-sebut bodong, pihaknya tidak berdosa, sehingga tidak patut untuk dihukum.
Dari dulu hingga sekarang, keluarga kami tidak pernah berbuat tercela, sehingga mohon majelis hakim untuk membebaskan saya dari segala tuntutan, karena masih banyak tanggungan yang menjadi beban dalam pundak saya, ujar Maryani sambil menangis.
Begitu juga pada sidang kedua perkara nomor 1170/Pid.Sus/2021/PN.Pbr atas nama terdakwa Bhakti Salim, Agung Salim, Christian Salim dan Elly Salim, para terdakwa melalui pengacaranya juga beranggapan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut ke-empat terdakwa 14 tahun penjara ditambah denda 20 miliar subsider 11 bulan kurungan, adalah keliru.
Menurut pledoi yang dibacakan secara bergantian oleh tim penasehat hukumnya bahwa, masalah Bhakti Salim masuk dalam ranah perdata, bukan pidana.
Akan halnya Bhakti Salim yang membacakan pledoi sendiri dari ruang tahanan Sialang Bungkuk – Gobah menyampaikan, hingga saat ini mereka ditahan sudah 9 bulan, namun ke-empatnya tidak mengetahui dimana akar permasalahan yang dituduhkan kepadanya.
Sebab menurut Bhakti Salim, mereka tidak pernah berbuat salah sehingga tidak patut dihukum secara pidana, ujar Bhakti Salim lewat sidang secara virtual yang dipimpin Majelis Dr Dahlan SH, MH didampingi Estiono SH,MH dan Tommy Manik SH yang juga dihadiri Jaksa Penuntut Umum Lina Samosir SH,MH, Lastarida SH dan Rendi Panalosa SH,MH.
(Maurit Simanungkalit)