KUNINGAN (Independensi.com)- Girang Pangaping Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda Wiwitan Tati Djuwita menegaskan masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur yang selama ini turut menjaga keindonesiaan masih merasakan diskriminasi dan ketidakadilan.
Perlakuan diskriminasi itu, ujar Tati, tampak dalam penetapan sita eksekusi kasus Tanah Adat Mayasih pada Rabu (18/5/2022). Rencana eksekusi ini berdasarkan surat Pengadilan Negeri Kuningan W.11.U16/825/HK.02/4/2022 perihal pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita eksekusi nomor 1/Pdt.Eks. /2022/ PN Kng Jo. Nomor 7/Pdt.G/2009/Pn.Kng.
Menanggapi hal itu, masyarakat AKUR Sunda Wiwitan, Kelompok Lintas Iman Cirebon, GMNI, Unisba, Sekretariat Nasional Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) serta beberapa tokoh keagamaan membuat Gelar Budaya Kebangkitan Nasional di sekitar lahan adat Mayasih, Kelurahan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Rabu (18/5/2022). Selain menyanyikan lagu nasional dan adat, gelaran ini juga menampilkan atraksi gamelan Mogang angklung buncis, angklung takol dan doa lintas iman.
” Gelar Budaya ini merupkaan bentuk perlawanan kultural berbasis konstitusi yang ditampilkan masyarakat. Melawan tanpa kekerasan dan memvibrasikan gelombang harmoni bagi semesta,” ungkap Tati.
Dukungan terhadap Masyarakat AKUR Sunda Wiwitan juga datang dari Resi Tunggul Pamenang, Ki Damar Shasangka dan ratusan cantrik di sekitar 30 daerah, Ida Shri Begawan Penembahan Jawi Ubud, tim Sanggar JampiSae Kediri, bajrayana kasogatan dan berbagai pihak lainnya. Ratusan cantrik juga menggelar ritual dan doa untuk masyarakat AKUR Sunda Wiwitan.
“Gelar budaya ini tak hanya menjadi ekspresi penolakan terhadap rencana sita eksekusi lahan adat. Namun juga menjadikan momentum Kebangkitan Nasional sudah saatnya dimaknai kembali dengan memberikan ruang bagi hukum adat dalam setiap proses hukum yang diakui UUD 1945,” ujar Tati.
Tati menyatakan, selama ini masyarakat adat menilai otoritas negara mengabaikan hukum adat dalam penyelesaian masalah. Hukum adat tak menjadi pertimbangan dalam menentukan keadilan dalam hukum nasional.
Tanah Adat, tegas Tati, seharusnya milik komunal. Dan itu dibuktikan dengan keberadaan beberapa dokumen penting yang dikeluarkan oleh Sesepuh terdahulu seperti Pangeran Madrais Sadewa Alibasa dan Pangeran Tedjabuwana dengan Memberikan Hak Pengelolaan Aset tersebut kepada tokoh tokoh masyarakat, diantaranya Surat Pernyataan yang dikeluarkan Pangeran Tedjabuwana pada tahun 1964 dan tahun 1975.
“Pernyataan tersebut memberikan mandat pengelolaan aset-aset leluhur kepada tokoh tokoh masyarakat. Tokoh itu mendirikan Yayasan dan menyerahkan pengelolaan aset bersama
tersebut kepada Yayasan Pendidikan Tri Mulya. Untuk merawat dan menjaga peninggalan aset komunal itu maka yayasan mengajukan perlindungan kepada negara terhadap kawasan
Gedung Paseban Tri Panca Tunggal sebagai Cagar Budaya Nasional,” papar Tati.
Namun, pada tanggal 22 April 2022 Pengadilan Negeri Kuningan mengeluarkan surat perintah
pelaksanaan pencocokan (Constatering) dan sita eksekusi pada tanggal 18 Mei 2022. Ini, ujar Tati yang sangat merugikan masyarakat Adat Karuhun Sunda Wiwitan.
Tanah Adat Mayasih, ujar Tati, diduga telah dimanipulasi oleh pihak-pihak yang bekerja sama dengan pemohon eksekusi yang membelokkan sejarah dan ingin merampas tanah-tanah adat, serta membunuh hak-hak Komunal/kebersamaan ruang hidup dan kebudayaan masyarakat adat.
“Penolakan sita eksekusi lahan ini tidak dimaksudkan sebagai bentuk ketidataatan pada hukum yang berlaku, namun kami memandang dalam proses pengadilan yang berjalan banyak kejanggalan sehingga membuat keputusan yang tidak berkeadilan bagi AKUR Sunda Wiwitan, dan mencederai nilai-nilai kebangsaan.,” tegas Tati.
Tati menegaskan Pengadilan telah keliru memahami objectum litis nya, karena memahami objectum litis-nya sebagai sengketa waris. Padahal jelas bahwa objectum litis-nya bukanlah sengketa waris, melainkan sengketa atas Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang
terjadi pada masyarakat hukum adat.
“Kami menyerukan agar negara konsisten memberi ruang bagi masyarakat adat untuk menyelesaikan permasalahannya melalui ketentuan hukum adat, tetapi tidak terbatas pada penjatuhan sanksi adat kepada pelaku pelanggaran hukum adat yang dijamin juga dalam konstitusi,” tegas Tati
“Sebagai elemen pembentuk bangsa yang taat pada konsensus kebangsaan (Pancasila,Bhinneka Tunggal Ika, Konstitusi, dan NKRI) kami telah menempuh berbagai cara meneguhkan eksistensi masyarakat adat dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masyarakat AKUR menolak secara tegas dan tidak memberikan ruang dalam eksekusi tanah adat Mayasih,” tambahnya.(Hiski Darmayana )