Pemerintah Tolak Pernikahan Beda Agama, SETARA : Negara Tak Berwenang Membatasi!

Loading

JAKARTA (Independensi)- SETARA Institute menanggapi sikap Pemerintah yang menolak melegalkan pernikahan beda agama. Hal itu disampaikan wakil pemerintah dalam sidang judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege.

Sikap pemerintah ini diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.

Menanggapi hal itu, Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Badan Pengurus SETARA Institute menegaskan perkawinan adalah kehendak bebas antar dua individu yang dikontrak-legalkan. Karenanya, mereka berdua lah yang bertanggungjawab terhadap segala konsekuensinya, bukan individu atau keluarga.

“Oleh sebab itu negara tidak berwenang untuk menetapkan atau menentukan suatu perkawinan atas dasar atau persyaratan apapun. Kewajiban negara adalah memberikan pelayanan terhadap warganya,” tegas Bonar dalam keterangan tertulisnya kepada Independensi, Senin (4/7/2022).

Bonar menegaskan, negara tidak berwenang memberikan pembatasan apapun. Dalam perkawinan menjadi kewajiban negara untuk melakukan administrasi atau pencatatan sipil.

Dia menambahkan, pembatasan dalam hak asasi manusia tidaklah sebagaimana yang dikemukakan oleh wakil pemerintah. Pembatasan bukanlah kemudian menghilangkan hak individu, tapi demi untuk melindungi dan memenuhi hak individu tersebut.

” Di Indonesia pembatasan hak asasi manusia secara keliru diartikan bisa dibatasi oleh agama. Tapi dalam realisasinya tidak dijabarkan agama apa dan yang mana. Lagipula tidak semua agama tegas menolak perkawinan beda agama,” papar Bonar.

Bonar menegaskan, kita harus berani mengkritisi penolakan perkawinan beda agama. Pelarangan perkawinan beda agama, lanjut Bonar, sesungguhnya dilandasi kepicikan agama tertentu yang melihat agama dan kepercayaan lain lebih rendah dan menyimpang.

Bonar menegaskan pandangan agama abad pertengahan ini sudah seharusnya ditinggalkan.

” MK harus berani memutuskan adalah hak setiap individu untuk memilih apakah perkawinannya berdasar agama atau non agama. Kewajiban negara hanyalah mencatat bukan membatasi,” tegas Bonar.

Bonar melanjutkan, seseorang menjadi Indonesia atau WNI bukan karena agamanya, tapi karena lahir di Indonesia atau pilihan sendiri setelah memenuhi beberapa persyaratan, tapi itupun juga tidak berdasarkan agama tertentu.

“Karenanya menjadi janggal ketika dua WNI yg menikah, agama kemudian menjadi persyaratan dan pembatas,” ujarnya.

Seperti diketahui, Pemerintah memandang perkawinan beda agama dan kepercayaan tidak diperbolehkan atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan. Menurut Pemerintah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan undang‐undang dengan maksud semata‐mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai‐nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

“Sehingga tidaklah mungkin di negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 atas dasar hak asasi manusia dan kebebasan setiap orang dapat sebebas‐bebasnya melakukan perkawinan beda agama dan kepercayaan karena bisa jadi pelaksanaan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan justru akan melanggar hak konstitusional orang lain yang seharusnya dihormati (respected), dilindungi (protected) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945,” beber pemerintah. (Hiski Darmayana)