Pekanbaru (Independensi.com) –Bhakti Salim alias Bhakti selaku Diirektur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP) yang tergabung dalam PT Fikasa Group, mengakui dana yang dikumpulkan perusahaannya dari nasabah, di alihkan dalam pembangunan (renovasi) Hotel Westin dan Hotel Renaissance di Ubud – Bali.
Hal itu dikatakan Bhakti Salim menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rendy Penalosa SH,MH dan Jumieko Andra SH,MH dalam Sidang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang digelar Selasa (13/6) d Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru.
Dalam sidang yang digelar secara virtual itu, Empat (4) bos PT Fikasa itu diantaranya, Bhakti Salim alias Bhakti selaku Direktur Utama PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan PT Tiara Global Propertindo (TGP), Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP mengikuti sidang dari Rutan Sialang Bungkuk – Pekanbaru
Sementara Elly Salim selaku Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP serta Maryani mengikuti sidang dari Lapas Perempuan – Gobah – Pekanbaru.
Semua perusahaan itu di bawah naungan PT Fikasa Group.
Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim Ahmad Fadil SH dengan hakim Anggota Dr Salomo Ginting SH MH dan Yuli Artha Pujoyotama SH MH ini, Bhakti Salim sempat beberapa kali membantah bahwa Maryani bukan bagian dari struktur perusahaannya, tapi teman di Pekanbaru.
Tapi setelah JPU mencecar pertanyaan lebih mendalam lagi, baru Bhakti Salim berkata jujur dan mengakui bahwa Maryani lah yang merekrut 10 (sepuluh) nasabah yang menempatkan dananya di PT Fikasa Group dan mengakui bahwa Maryani merupakan Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup) di Pekanbaru.
Bahkan Bhakti Salim mengakui bahwa Maryani lah yang berhasil menggaet nasabah Archenius Napitupulu, Pormian Simanungkalit, Oki Yunus Gea, Meli Novianti, Pandapotan Lumban Toruan, Darto Jhonson Siagian, Timbul Pardede, Sumardi Siagian dan Natalia Napitupulu.
Ke-sepuluh korban investasi bodong itu mengalami total kerugian sebesar Rp 84,9 miliar. Bhakti mengakui, jika setiap dana yang disimpan di perusahaannya, maka akan diberikan promissory note (surat hutang).
Bahkan, nasabah juga diberikan keuntungan dengan bunga 9 sampai 12 persen.
Apabila surat hutang itu telah jatuh tempo bunganya, maka kita bayarkan bunganya. Kalau jatuh tempo pembayaran hutangnya, maka kita bayarkan hutangnya dari perusahaan ,” kata Bhakti.
Jaksa kemudian menanyakan apakah dana yang dikumpulkan dari investor itu dialihkan untuk pembelian atau renovasi Hotel Western dan Hotel Renaissance di Bali. “Betul Pak ,” ujar Bhakti.
Pada kesempatan itu, Bhakti juga mengakui tidak sanggup lagi membayar bunga keuntungan atau mengembalikan uang pokok para nasabahnya.
Alasannya, bisnis mangkrak akibat pandemi Covid-19.
Sebagaimana diketahui, perbuatan itu berawal ketika PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang properti serta perhotelan, sedang membutuhkan tambahan modal untuk membiayai operasional perusahaan.
Pada saat itu terdakwa Agung Salim mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal.
Diputuskan untuk menerbitkan Promisorry Note atas nama perusahaan yang ada dalam Fikasa Grup, yaitu PT WBN dan PT TGP. Kemudian terdakwa Agung menyuruh terdakwa Maryani menjadi Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup) di Pekanbaru
Pada beberapa Promissory Note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN melainkan ke rekening PT Inti Putra Fikasa pada ketiga bank.
Setelah itu, para nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa perjanjian promissory note dan certificate yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan dan tanggal jatuh tempo.
Tidak hanya itu, seharusnya dana digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP.
Namun justru digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group.
Diantaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan dengan badan hukum berbeda tanpa ada persetujuan nasabah.
Hasil keuntungan dari usaha tersebut masuk ke perusahaan group Fikasa, juga ke rekening pribadi terdakwa sejak Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020.
Sementara para nasabah yang sudah menanamkan modal tidak mendapatkan keuntungan.
Kepada para terdakwa dijanjikan akan membayarnya pada 25 Maret 2020.
Akan tetapi hingga kasus ini bergulir di persidangan, uang sebesar Rp84,9 miliar tersebut belum dikembalikan ke 10 nasabah.
JPU menjerat para terdakwa dengan Pasal 3 dan 4 Undang-undang RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana. (Maurit Simanungkalit)