JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung melalui tim jaksa penyidik pidana khusus memeriksa satu saksi kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan keuangan dan usaha Perusahaan Umum Perikanan Indonesia (Perum Perindo), Senin (13/9).
Saksi yang diperiksa di Gedung Pidsus, Kejaksaan Agung, Jakarta kali ini yakni AK selaku Kepala Satuan Pengawas Internal (KPI) dari Perum Perindo. Saksi AK dicecar soal peran SPI dalam melakukan audit internal terhadap proses perdagangan ikan oleh Perum Perindo.
“Saksi AK selaku Kepala SPI Perum Perindo diperiksa terkait apakah ada audit dari satuan pengawas internal terkait dengan proses bisnis perdagangan ikan,” ungkap Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak biasa disapa Leo, Senin (13/9).
Leo menyebutkan pemeriksaan terhadap saksi untuk menemukan fakta hukum tentang adanya dugaan korupsi yang terjadi di Perum Perindo. “Pemeriksaan terkait apa yang saksi dengar, alami dan lihat sendiri,” tuturnya.
Sebelumnya dalam kasus yang sama pada Rabu (8/9) pekan lalu tim jaksa penyidik memeriksa empat orang saksi terkait transaksi jual beli ikan. Salah satunya yakni FST selaku Direktur Utama Perum Perindo.
Sedang tiga saksi lainnya yaitu FPSG selaku Direktur PT. SIG Asia, RU Direktur Utama PT. Global Prima Santosa dan EI selaku Direktur PT Etmieco Makmur Abadi.
Kasus dugaan korupsi yang kini disidik Kejagung berawal ketika Perum Perindo pada tahun 2017 menerbitkan MTN (Medium Tern Notes) untuk mendapatkan dana dengan cara menjual prospek dalam penangkapan ikan.
Dari hasil MTN tersebut Perum Perindo kemudian mendapatkan dana sebesar Rp200 miliar yang cair pada Agustus 2017 sebesar Rp100 miliar dan Desember 2017 sebesar Rp100 miliar
Dananya kemudian sebagian besar digunakan sebagai modal kerja perdagangan yang membuat peningkatan pendapatan perusahaan di tahun 2016 sebesar Rp223 miliar. Kemudian menjadi sebesar Rp603 miliar di tahun 2017 dan mencapai sebesar Rp1 triliun di tahun 2018.
Namun, kata Leo, karena pencapaian pendapatan dilakukan melibatkan semua unit usaha untuk melakukan perdagangan sehingga menimbulkan permasalahan kontrol transaksi perdagangan menjadi lemah.
“Dimana masih terjadi transaksi walau mitra terindikasi macet,” ungkapnya seraya menyebutkan akibat kontrol lemah dan pemilihan mitra kerja tidak hati- hati menjadikan perputaran modal kerjanya melambat. “Akhirnya sebagian besar menjadi piutang macet sebesar Rp181 miliar,” ucap Leo.(muj)