Sri Mulyani dan Pidato yang Heroik Itu…

Loading

Oleh Edy Mulyadi

“Tiap malam (saya memikirkan) bagaimana jalankan institusi tapi pikirkan juga kesejahteran masyarakat. Bagaimana saya bisa yakinkan masyarakat, uang pajak tidak dikorupsi dan (hanya) dimanfaatkan untuk kepentingan Indonesia. Itu adalah (penyebab) kenapa saya sulit tidur,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara ‘4th Congress of Indonesia Diaspora 2017’ di Jakarta, Sabtu (1/7), seperti dikutip media.

Saya sangat suka dengan pernyataan ini. Isinya bagus, bahkan begitu heroik. Lebih hebat lagi, ucapan ini disampaikan seorang Menteri Keuangan, pembantu Presiden negara yang bertanggung jawab atas keuangan negara.  Tiap malam sulit tidur karena memikirkan duit negara agar tidak digarong koruptor. Ck ck ck…

Pada bagian lain pidatonya, dia juga mengingatkan praktik korupsi merupakan hal serius yang harus ditumpas. Korupsi dapat menciptakan krisis ekonomi, seperti yang terjadi di Indonesia pada 1997/1998. Ini keren. Sungguh, benar-benar keren. Bangga betul rasanya punya Menkeu seperti ini.

Tapi, pidato adalah satu hal. Sedangkan perilaku adalah hal lain. Idealnya, ucapan dan tindakan harus seirama. Ini baru dahsyat.

Sayangnya, fakta justru menunjukkan sebaliknya. Betapa banyaknya ucapan yang tidak sesuai dengan tindakan. Betapa banyak orang yang pandai merangkai kata, namun jeblok dalam prilaku. Ini terjadi pada banyak kalangan, tanpa memandang status dan latar belakang, termasuk (baca: terutama) para pejabat publik.

Sekarang kita tilik, apakah kata-kata Sri Mulyani yang dahsyat itu sudah sesuai dengan tindakannya? Beberapa peristiwa di bawah ini, mungkin bisa menjawab pertanyaan amat penting tersebut.

Cuma omdo?

Mungkin jeng Sri bisa menjelaskan mengapa pada 2006, selaku Menkeu di era Presiden SBY, dia menyetujui Dirjen Pajak Darmin Nasution yang mengurangi pembayaran pajak Haliburton. Saat itu, perusahaan milik mantan Wakil Presiden AS, Dick Cheney tersebut menikmati pengurangan pajak senilai Rp21,7 miliar. Pada kasus ini, Darmin meneken pengurangan pajak Haliburton hanya dalam tempo 12 hari kerja. Padahal, Dirjen Pajak sebelumnya Hadi Purnomo selama empat tahun berturut-turut konsisten menolak menyetujui.

Tidakkah langkah Ani, begitu dia biasa disapa, menyadari bahwa tindakannya itu berakibat berkurangnya penerimaan negara dari pajak? Apa karena perusahaan yang terkait adalah milik mantan petinggi Amerika, negara tempat para majikan asingnya berasal?

Silakan Ani juga menjelaskan tindakannya yang pernah meminta pembebasan skandal pajak Paulus Tumewu (bos PT Ramayana Lestari Sentosa). Paulus dituduh mengecilkan omset Ramayana Lestari dan tidak mengisi surat pemberitahuan pajak (SPT) dengan benar. Akibatnya, negara dirugikan sekitar Rp399 miliar. Kasus pajaknya telah dinyatakan P-21 alias lengkap oleh Bareskrim Mabes Polri dan siap dilimpahkan ke Kejaksaan pada akhir 2005.

Tapi, atas permintaan Sri Mulyani, Jaksa Agung mementahkan kembali kasus ini. Padahal dalam kasus pidana pajak itu Paulus Tumewu sempat ditahan di Bareskrim selama 90 hari. Namun dengan dalih telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP), Paulus hanya dikenai kewajiban membayar Rp7,99 miliar. Anehnya, hingga artikel ini ditulis, Ani tidak pernah bisa menunjukan SKP yang diterbitkannya itu.

Dalam logika awam, seorang pengemplang pajak adalah koruptor. Apalagi jumlahnya nyaris Rp400 miliar. Ini jelas jumlah yang tidak main-main. Jangan lupa, kasusnya terjadi pada 2005. Jika dihitung dengan inflasi yang hampir 12 tahun, sekarang nilainya mungkin sekitar Rp3 triliun. Jelas, tindakan Paulus Tumewu itu amat jahat, sangat merugikan rakyat dan negara.  Tapi kok saat itu justru mendapat perlindungan dari Sri Mulyani, ya?

Berikutnya, kasus yang ini memang bukan kisah fulus negara yang digarong koruptor. Ia ‘cuma’ pemborosan negara yang keterlaluan. Ceritanya, saat selaku Menkeu dia melakukan reformasi perpajakan. Tidak tanggung-tanggung, dana yang digelontorkan mencapai US$500 juta. Sayangnya, duit itu bersumber dari pinjaman Bank Dunia.

Reformasi perpajakan yang dijanjikannya ternyata majal alias tidak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Bahkan, pada era itu juga mencuat skandal Gayus Tambunan, pegawai Pajak golongan III yang punya simpanan ratusan miliar rupiah. Publik juga yakin, kasus Gayus hanyalah fenomena gunung es dari apa yang sejatinya terjadi di lingkungan perpajakan. Ujung-ujungnya, rakyat dan negara tetap harus membayar duit pinjaman tersebut.

Oya, publik juga belum lupa skandal Bank Century yang merugikan negara Rp6,7 triliun. Sebagai Menkeu, Ani juga menjadi Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Nah posisinya inilah yang punya peran penting dalam skandal Bank Century. Di pengadilan, namanya jelas-jelas disebut turut terlibat.

Skandal dengan kerugian tiga kali lipat dari korupsi e-KTP itu cuma berhasil menjebloskan mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya 15 tahun ke penjara. Sedangkan Sri dan Boediono (saat itu Gubernur BI) yang berperan sentral, bisa melenggang lolos dari jerat hukum, hingga sekarang.

Apakah ketika skandal Bank Century terjadi, Ani masih bisa nyenyak tidur sehingga dia mengabaikan sejumlah data dan fakta penting, bahwa Bank Century sama sekali tidak menimbulkan dampak sistemik? Data itu, antara lain, menyebutkan dana pihak ketiga di Bank Century hanya 0,68% dari total dana di perbankan. Begitu juga dengan kredit yang disalurkannya cuma 0,42% dari total kredit perbankan. Bahkan asetnya tidak sampai 1%, tepatnya hanya 0,72% dari aset perbankan.

Angka-angka tersebut tentu bukan karangan belaka. Sebagai Menkeu sekaligus Ketua KSSK, Ani dapat dengan mudah memperolehnya. Tapi pertanyaannya, kok dia tetap menggelontorkan Rp6,7 triliun duit negara untuk Bank Century? Tidakkah perbuatan ini bisa dikategorikan membantu koruptor merampok uang negara? Apa karena waktu itu dia belum mampu merangkai kata-kata indah dan heorik tentang duit negara yang harus dijaga sampai sulit tidur agar tidak dicuri koruptor? Jangan-jangan pidatonya cuma omdo, alias omong doang.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip surat Ash Shaf ayat 2-3, yang artinya begini: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu katakan sesuat yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan yang tidak kamu lakukan.”

Nah, loh… (*)

 

Jakarta, 4 Juli 2017

Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)