Tidak Cukup Menjadi Terbaik

Loading

Oleh : Yo Sugianto

Tidaklah mengejutkan dari pengumuman PSSI soal Sekretaris Jenderal (Sekjen)-nya yang baru, Ratu Tisha Destria yang menorehkan sejarah baru sebagai Sekjen pertama perempuan di PSSI. Ia menggantikan Ade Wellington yang mengundurkan diri per 10 April 2017 lalu, tanpa penjelasan penyebabnya baik dari PSSI maupun Ade sendiri.

Bahkan ketika PSSI membuka lowongan terbuka bagi masyarakat untuk menjadi Sekjen, dan mengikuti serangkaian testing, nama Tisha sudah disebut sebagai calon kuat. Satu-satunya calon kuat, meski dari deretan pelamar ada yang sudah berpengalaman di organisasi olaharaga atau berkecimpung di sepakbola. Sebut saja Ainul Ridha dan Alief Syachviar yang sejak lama bersinggungan dengan organisasi PSSI sebagai pengamat dan wartawan.

Kuatnya penyebutan nama itu perlu dilihat dengan kacamata positif saja, karena figur perempuan yang sedikit berkiprah di dunia sepakbola. Tidak dilihat sebagai suatu penggiringan opini untuk meng-gol-kan yang bersangkutan karena adanya kepentingan tertentu di baliknya.

Yo Sugianto

Sebelumnya, saat santer beredar isyu Sekjen Ade Wellington akan dievaluasi, muncul tiga nama yang menjadi kandidat kuat penggantinya, yakni Syauqi Suratno yang merupakan mantan CEO Badan Amatir PSSI, COO PT Liga Indonesia Tigorshalom Boboy, dan Ratu Tisha Desria yang saat ini menjabat sebagai Direktur Kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB).

Santer terdengar banyak anggota PSSI dan kalangan luar yang menginginkan Syauqi Suratno sebagai pengganti Ade Wellington Namun ternyata PSSI memilih membuka lowongan pendaftaran calon Sekjen, dan hanya Tisha yang mengajukan curiculum vitae..

Pilihan PSSI perlu dihargai, karena tentu sudah memperhitungkan berbagai aspek. Namun tantangan sebagai Sekjen tidak ringan, terutama dalam melayani pers karena posisi Sekjen merupakan corong organisasi. Punya waktu 24 jam pun tidak cukup jika sulit dihubungi pers.

Bagi Tisha sendiri, banyak hal yang perlu ia perbuat untuk menjalankan tugasnya sebagai Sekjen. Bekal kuliah S-2 FIFA Master (yang spesifik mempelajari sport humanity dan sport management di tiga negara: London, Italia dan Swiss) tidaklah cukup, karena kini berhadapan dengan berbagai lembaga seperti FIFA, AFC dan lainnya, serta anggota PSSI sendiri.

Namun, dalam kesehariannya ia akan berinteraksi dengan para wartawan PSSI Pers yang akan bertemu atau menghubunginya sebagai corong organisasi. “Kerja Sekjen PSSI itu 24 jam,” begitu anggapan wartawan, yang tentu didasari dengan pentingnya peran seorang Sekjen sebagai corong organisasi.

Sebelumnya, mundurnya Ade Wellington tak lepas dari kinerjanya, terutama soal berkomunikasi dengan pers. Pengurus Pusat Seksi Persatuan Wartawan Olahraga (SIWO) PWI Pusat melalui Sekretaris Jenderal, Firmansyah Gindo di awal Desember 2016 bahkan meminta Ketua Umum PSSI, Edy Rahmaydi untuk segera mengganti Sekjen Ade Wellington. Pernyataan pengurus SIWO itu muncul setelah menerima keluhan dari beberapa wartawan yang kesulitan menghubungi Ade Wellington untuk melakukan wawancara via telepon.

Berkaca pada mundurnya Ade Wellington, Sekjen baru PSSI harus benar-benar memperhatikan soal pentingnya kelancaran komunikasi dengan pers. Tak bisa lagi ogah melayani permintaan pers untuk menanyakan sesuatu, baik itu komentar, konfirmasi atau hal lain terkait kegiatan organisasi.

Apalagi pengalaman sebagai Direktur Kompetisi dan Operasional PT Gelora Trisula Semesta (GTS)yang menjadi penyelenggara Torabika Soccer Championship (TSC) 2016 lalu tentu memberi bekal cukup bagaimana menghadapi pers.

PSSI mungkin lupa untuk mengingatkan sang Sekjen, bahwa pers merupakan cermin dan makanan bagi organisasi itu. Hal itu pernah dikatakan oleh Joko Driyono saat menjabat sebagai Sekjen PSSI, dalam suatu diskusi di Jakarta, Januari 2014 : “PSSI memandang media sebagai dua hal. PSSI dapat bercermin, baik atau buruknya dari pemberitaan media.

Selain itu media juga seperti menu makanan yang menawarkan banyak rasa dan nutrisi untuk kami, jangan sampai itu menjadi bumerang tersendiri bagi kami.”
Pernyataan Joko Driyono yang menjabat Plt.Sekjen PSSI setelah mundurnya Ade Wellington itu tak berlebihan, karena tak terelakkan lagi adanya simbiosis mutualisme antara media –sebagai institusi bisnis– dan olahraga.

Jay Coakley dalam buku Sports in Society: Issues and Controversies (2003) mengatakan bahwa tanpa adanya olahraga, media mungkin tidak bisa seperti sekarang ini. Sebaliknya, tanpa adanya media, olahraga mungkin tidak lagi seperti ini. Memang harus diakui kehadiran berita-berita olahraga menjanjikan keuntungan bagi sebuah media

Saat ini tinggal dinantikan bagaimana Sekjen PSSI, Ratu Tisha Destria mengimplementasikan cara pandang itu. Cermin yang ada di media, tentunya bukan yang baik-baik saja, karena justeru jika itu yang ada, atau adem-ayem saja sepatutnya dipertanyakan. Apakah pers sudah menganggap kinerja PSSI bagus, ataukah mereka apatis sehingga mengambil sikap diam saja, cukup memuat press release tanpa sikap kritis?

Begitu juga dengan makanan yang tersaji dalam pemberitaan. Jika menunya dari PSSI sendiri, bagaimana disajikan di media massa, apakah berupa masakan yang hambar, banyak rasa atau mengandung nutrisi bagi kesehatan organisasi. Sekjen bisa memberi tambahan bumbu penyedapnya lewat komunikasi yang baik.

Tanpa mampu mengimplementasikan kedua hal itu, sia-sia saja tes yang sudah diadakan (tentunya dengan biaya yang tidak sedikit) atau kemampuan berbahasa asing yang dikuasainya.Tak cukup dengan hanya menjadi yang terbaik saja.

**Penulis adalah pemerhati sepakbola, saat ini bermukim di Jogjakarta.