JAKARTA (IndependensI.com) – Cuaca ekstrem menyebabkan kerugian sekitar US$129 miliar (Rp1.743 triliun) sepanjang 2016. Kerugian bakal terus meningkat seiring terjadinya kekeringan, badai, dan banjir akibat perubahan iklim.
Terjadi kenaikan 46 persen bencana akibat cuaca dari 2010 hingga 2016, dengan 797 kejadian ekstrem yang tercatat tahun lalu. Data tersebut dipublikasikan jurnal medis The Lancet.
“Akibatnya ada kerugian ekonomi sebesar US$129 miliar” – angka yang kira-kira sebesar anggaran Finlandia.
Nilai kerugian itu dihitung dari kerusakan aset fisik, belem memperhitungkan kerugian dari korban tewas, korban luka, atau penyakit yang disebabkan kejadian ekstrem.
Kenaikan jumlah bencana akibat cuaca yang terjadi tahun lalu tidak semuanya terjadi karena perubahan iklim. Tapi bukti yang ditemukan “dapat dilihat sebagai perubahan iklim yang mengakibatkan berubahnya frekuensi dan tingkat kejadian tersebut”.
Para ahli cuaca menyalahkan pemanasan global sebagai penyebab semakin sering terjadinya cuaca ekstrem. Mereka mengingatkan para pemimpin dunia bahwa fenomena ini harus dipantau secara konsisten.
Laporan yang ditulis di The Lancet menekankan bahwa negara-negara miskin paling menderita akibat cuaca ekstrem. Laporan ini merupakan kompilasi dari penelitian para ahli di 24 lembaga pendidikan dan lembaga internasional termasuk Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Kerugian akibat cuaca ekstrem tiga kali lebih besar pada 2016 dibanding pada 2010. Jika dibandingkan dengan proporsi Produk Domestik Bruto (PDB), angkanya lebih besar di negara miskin dibanding di negara kaya.
Di negara kaya, hampir separuh kerugian ditanggung asuransi. Bandingkan dengan kurang dari satu persen di negara miskin.
Para peneliti memperhitungkan bahwa kenaikan suhu udara global menyebabkan berkurangnya sekitar 5,3 persen produktivitas kerja di luar ruang sejak 2000.
Dalam periode yang sama, jumlah orang yang rentan terpapar gelombang panas meningkat sekitar 125 juta. Gangguan cuaca ini dapat menyebabkan dehidrasi dan gagal jantung.
Konsentrasi Karbon Dioksida di Atmosfer Capai Rekor Tertinggi
Suhu udara global yang meningkat diikuti dengan naiknya populasi nyamuk terutama di permukiman padat penduduk. Akibatnya, penyebaran virus dengue (penyebab demam berdarah) juga meningkat.
“Perubahan iklim diperkirakan berdampak pada produksi tanaman pangan. Kenaikan temperatur satu derajat Celcius dapat menyebabkan enam persen penurunan panen gandum global dan 10 persen penurunan panen padi,” kata pernyataaan di The Lancet, yang mengingatkan ancaman kelaparan sudah di depan mata.