Tim Piala Davis Indonesia. (Humas PP Pelti)

Menunggu Perbaikan Prestasi Tenis Indonesia

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Awal bulan ini, tepatnya pada 3-4 Februari 2018, digelar babak pertama Piala Davis Grup II Zona Asia/Oseania antara tuan rumah Indonesia melawan tim Piala Davis Filipina di Stadion Tenis Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Untuk kali pertama, Pengurus Pusat Persatuan Lawn Tenis Indonesia (PP Pelti) mempercayakan sepenuhnya kepada para petenis muda untuk beraga di ajang tenis bergengsi antar negara ini. Seharusnya, bermain di depan publik sendiri dan berlaga di stadion kebanggaan insan tenis Tanah Air, bisa mengangkat semangat sekaligus prestasi. Namun sayang, Indonesia harus menelan kekalahan telak 1-4 atas Filipina.

Tim yang dipimpin mantan petenis nasional Febi Widhiyanto tak mampu berbuat banyak untuk menghadapi tekanan dan tehnik permainan lawan. Skuat berkekuatan petenis muda seperti Anthony Susanto (20), Rifqi Fitriadi (18), Althaf Dhaifullah (17) dan Justin Barki (17), berharap besar pada David Agung Susanto (26) yang paling senior sekaligus berpengalaman bermain di Piala Davis. Hanya saja, tim yang diambil dari hasil Seleksi Nasional pada awal tahun itu tidak maksimal saat turun berlaga. Pasalnya, tak ada turnamen yang bisa digunakan sebagai sarana latih-tanding. Alhasil, mereka hanya melakukan simulasi sesama petenis dengan menggunakan format Piala Davis.

Memainkan para petenis muda yang tentunya minim pengalaman berlaga di ajang sekelas Piala Davis, boleh diberikan apresiasi. Hal ini bukan menganggap enteng lawan dan membuang kesempatan yang ada, tetapi lebih kepada sebuah proses dari pembinaan dan prestasi para petenis itu sendiri. “Perlu proses bagi petenis-petenis muda ini untuk unjuk prestasi. Sekitar 2-3 tahun kedepan baru telihat hasilnya. Caranya dengan mengikutsertakan mereka pada turnamen-turnamen baik lokal maupun internasional,” ujar Wakil Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi (Wakabid Binpres) PP Pelti, Deddy Prasetyo kepada IndependensI.com beberapa waktu lalu.

Deddy sendiri mengaku kecewa atas hasil buruk yang didapat tim Piala Davis Indonesia. Hanya saja, pria yang juga pelatih Deddy Tennis Club (Detec) ini menegaskan, kekalahan hendaknya dijadikan pengalaman dan bisa mengambil hikmah dari situasi tersebut. Dari catatan yang ada, tim Piala Davis Indonesia prestasinya selalu terhambat untuk beranjak dari Grup II Zona Asia/Oseania sejak tahun 2014 lalu. Untuk itulah, di bawah komando Ketua Umum PP Pelti yang baru, Rildo Ananda Anwar, ingin melakukan perbaikan prestasi secara signfikan.

Menyoal bermain di turnamen mancanegara, Deddy menegaskan para petenis Piala Davis tidak memiliki peringkat yang mumpuni untuk bisa bermain di turnamen sekelas Future sekalipun. “Minimal punya peringkat 700-an, itu pun sudah masuk daftar tunggu. Paling aman berada di peringkat 600-an dunia sehingga bisa bermain di babak kualifikasi,” imbuhnya. Peringkat nomor tunggal, David Agung dan Justin Barki berada di angka 1.300-an ATP. Sedangkan di nomor ganda keduanya berada di bawah angka 1.000, bahkan Justin bertengger di posisi 463 ATP.

Keuntungan bermain di turnamen internasional selain mendapatkan peringkat dan mengasah tehnik serta fisik saat menghadapi petenis mancanegara, juga meningkatkan competitive instinct bagi para petenis. Dengan adanya competitive instinct tadi, petenis akan lebih mudah untuk meningkatkan rasa percaya diri, perbaikan mental bertanding, fair play dan tidak mudah patah semangat. “Competitive instinct sangat diperlukan ketika pemain berada di lapangan. Dia harus tahu apa yang harus dilakukan untuk mengalahkan lawannya. Ini terbentuk dengan sendirinya bila sering bermain dengan petenis yang levelnya lebih tinggi,” ujar Deddy.

Melihat keterbatasan materi pemain dalam tim Piala Davis Indonesia, Deddy sudah berkoordinasi dengan asosiasi tenis Indonesia untuk melakukan korespondensi dengan pihak panitia pelaksana turnamen internasional untuk diberikan wildcard agar bisa bermain di kualifikasi. Selain itu, tim juga akan diturunkan pada turnamen lokal untuk memberikan sarana-latih tanding yang memadai ketimbang melakukan simulasi antar pemain. Indonesia akan menjalani laga babak playoff Piala Davis Grup II Zona Asia/Oseania melawan tuan rumah Sri Lanka pada bulan April mendatang. Sedianya, pertandingan itu untuk menentukan siapa yang turun kasta ke Grup III. Indonesia yang menjadi tuan rumah sempat menang telak 5-0 atas Sri Lanka pada 2016 lalu.

Petenis Senior

Berkenaan dengan hal tersebut, tim Piala Davis Indonesia akan memanggil petenis senior yang punya pengalaman sekaligus prestasi mancanegara, Christopher “Christo” Rungkat. Kehadiran Christo diharapkan mampu mendongkrak semangat dan performa serta prestasi dari tim. “Sudah ada kesepakatan kalau nanti di pertandingan kedua Christo akan bermain. Bukan berarti tidak regenerasi karena memakai petenis senior. Bagi saya, petenis senior yang menangan dan berpotensi layak untuk dipilih,” ujar Deddy lagi. Kondisi ini pula yang diharapkan PP Pelti menjadi bagian dari percepatan proses regenerasi dan pencapaian prestasi tenis Indonesia.

Memang untuk meraih kesuksesan dalam bidang apapun pasti diperlukan proses dan tidak bisa diperoleh secara instan. Proses tersebut membutuhkan waktu, tenaga, kerja keras, kesabaran hingga pendanaan demi mencapai tujuan yang ditargetkan. Dalam pembinaan dan prestasi olahraga di Tanah Air, adanya proses itu tadi kerap dilupakan. Memunculkan kembali prestasi tenis Indonesia dalam situasi dan kondisi seperti sekarang, sungguh merupakan pekerjaan yang sangat berat. Tugas PP Pelti dan para stake holder olahraga tenis seperti sponsor serta pihak terkait, perlu bersinergi secara maksimal.

Masyarakat memang tidak mau tahu adanya proses di atas. Masyarakat pada umumnya hanya tahu “menang-kalah” tanpa mau peduli adanya proses dari pembinaan. Namun demikian, para pengurus organisasi olahraga, khususnya PP Pelti hendaknya tetap fokus pada perencanaan yang dicanangkan. Prestasi tenis itu datang dari petenis-petenis berkualitas yang teruji secara optimal di turnamen baik lokal maupun internasional. Bersabarlah, karena semua perlu proses. Sedangkan untuk meredam penilaian negatif atas prestasi yang tak kunjung membaik, serahkan saja pada media massa untuk memberitakan secara komprehensif, kontinyu dan terverifikasi tentunya. (Ray Soemantoro)