Merawat Kebhinnekaan di ‘Tiongkok Kecil’ Bernama Lasem

Loading

IndependensI.com – Kota Lasem secara administratif berada di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Lasem merupakan kota kecil di pesisir utara Jawa yang memiliki sejarah panjang dalam menjaga dan mengelola keragaman budaya dan etnis.

Daerah Lasem juga pernah berjaya pada masa lalu yakni ketika Kerajaan Majapahit berkuasa. Setidaknya terdapat 241 rumah kuno di kawasan pecinan Lasem yang menjadi salah satu keunggulan kota kecil tersebut.

Selain itu, sejarah panjang dalam mengelola keragaman budaya dan etnis serta perdagangan candu adalah sederet daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang ingin berkunjung ke Kota Lasem. Ada pula makanan khas dan segala keramahan warga setempat.

“Belahlah dada orang-orang China Lasem, pasti banyak mengalir darah Jawa. Ini waktunya kita membawa Lasem menjadi kota yang lebih baik.” Demikian kutipan dari ucapan Zaim Ahmad Ma’shoem di majalah National Geographic yang sengaja ditempel di dinding salah satu sudut penginapan di Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Zaim Ahmad yang lebih populer dengan panggilan Gus Zaim itu adalah tokoh yang populer sebagai pelopor konsep kerukunan beragama dan pluralisme di kota kecil di jalur Pantura Jawa itu.

Disebutkan bahwa Gus Zaim adalah putra K.H. Ahmad Syakir dan cucu dari K.H. Mashoem Ahmad. Sang kakek adalah pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama bersama K.H. Wahab Hasbullan dan K.H. Hasyim Asyari.

Sebagai pengasuh Pondok Pesantren Kauman, Gus Zaim tanpa kenal lelah berusaha untuk merawat keberagaman antara warga Lasem yang terdiri atas warga keturunan China, India, Arab dan Jawa sebagai pribumi.

Gus Zaim sendiri merasa enggan untuk menggunakan kata pribumi atau nonpribumi karena hal itu akan membuat warga terjebak dalam pengkotakan berdasarkan etnis.

“Sampai kapan kita harus bicara tentang China, India atau Jawa? Kita semua orang Indonesia. Saya sendiri juga keturunan China,” katanya.

Sampai sekarang, toleransi dan keberagaman terlihat masih sangat terawat dan terjaga di Lasem dan menjadi warisan sejarah dalam perjalanan panjang kota kecil yang berhawa panas itu.

Seperti suasana yang terlihat pada saat Idul Fitri 1439 Hijriah yang jatuh pada 15 Juni 2018, akulturasi budaya China, Arab dan Jawa terasa begitu kental.

Di restoran sebuah penginapan dengan arsitektur dan ornamen China, para tamu yang sebagian adalah warga keturunan, terlihat menikmati hidangan diiringi lantunan takbir.

“Allaahu akbar, Allaahu akbar, Allaahu akbar. Laa ilaa haillallahu Allaahu akbar. Allaahu akbar walillaahil hamd” (Allah maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, Tiada Tuhan selain Allah, Allah maha besar. Allah maha besar dan segala puji bagi Allah).

Di loteng bangunan tua itu, tergantung puluhan lampion berwarna merah dengan aksara China, sementara di pintu masuk terdapat hiasan ketupat lebaran dan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439 H.

Di meja, sudah tersedia hidangan khas Lebaran, yaitu opor ayam, nasi goreng hati ampela, kerupuk kulit, serta sambel goreng krecek. Juga tersedia makanan barat seperti roti, sayur salad dan panekuk pisang.

Suasana harmonis dan penuh toleransi juga terasa di Desa Karangturi, dimana Pesantren Kauman berada. Pintu gerbang pesantren itu dihiasi dengan aksara China.

Hal yang cukup unik adalah pos siskamlimg diapit oleh hadits berbahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Cina, yaitu kutipan Hadits Bukhari yang dalam Bahasa Indonesia berarti “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” Inilah cara Gus Zaim mengajarkan dan mengingatkan betapa pentingnya kehidupan bertetangga, dan keinginan para santri untuk membuat lingkungan sekitar merasa nyaman dengan keberadaan mereka di lingkungan Pecinan tersebut.

Sampai sekarang, kebhinnekaan di Lasem masih terjaga dengan baik dan dapat dilihat dari suasana Kelenteng Cu An Kiong yang berada di tengah-tengah Kampung Soditan yang ramai dikunjungi wisatawan dari sejumlah kota.

Kelenteng yang diperkirakan dibangun pada 1450 itu berada di tengah perkampungan santri, diapit delapan pondok pesantren.

Tiongkok Kecil Menyusuri Lasem, terutama Desa Karangturi, membuat pengunjung seolah tidak berada di Tanah Jawa, melainkan Tiongkok, terutama bila berada di kompleks penginapan yang dikenal dengan Rumah Merah.

Disebut Rumah Merah karena tembok di pintu utama dengan tinggi sekitar tiga meter itu menggunakan cat merah mencolok mata, sebagaimana umumnya rumah tradisional etnis Tionghoa.

Tidak mengherankan jika Lasem kemudian mendapat julukan sebagai Tiongkok Kecil, disamping julukan lain, seperti Kota Santri dan Kota Batik.

Penginapan Rumah Merah yang sekarang bernama Tiongkok Kecil Heritage itu merupakan bangunan berarsitektur China kuno yang tetap mempertahankan bentuk aslinya dan menjadi representasi perjalanan sejarah Lasem itu sendiri.

Sembilan kamar yang ada di penginapan dengan luas bangunan 265m persegi itu diberi nama kota-kota besar di China, seperti Beijing, Hangzhou dan Taipei.

Lasem, sebuah kecamatan yang hanya berpenduduk sekitar 45.000 jiwa itu memang penuh dengan perjalanan sejarah, dan tidak bisa dipisahkan dengan kedatangan keturunan Tionghoa.

Menurut sejarah, Lasem merupakan salah satu tempat berkembangnya para imigran dari Tiongkok terbesar di Pulau Jawa abad ke-14 sampai 15, selain Semarang dan Surabaya.

Kedatangan armada besar Laksamana Cheng Ho ke Jawa sebagai duta politik Kaisar China masa Dinasti Ming untuk membina hubungan bilateral dengan Majapahit, terutama dalam bidang kebudayaan dan perdagangan, membuat banyak orang China yang tinggal dan menetap di daerah pesisir utara Pulau Jawa, termasuk Lasem.

Namun posisinya yang jauh dari kota besar dan hanya sebagai daerah perlintasan antara Semarang dan Surabaya di pantai utara, membuat Lasem sekarang agak terabaikan, meski banyak peninggalan sejarah dan berjuta misteri yang bisa ditelusuri. Hanya mereka yang punya minat khusus yang datang berkunjung.

Melihat kurangnya perhatian terhadap Lasem yang mempunyai potensi luar biasa, sekelompok anak muda yang peduli terhadap kelestarian budaya, membentuk komunitas yang disebut “Kesengsem Lasem” pada 2015.

Kelompok anak muda yang bukan warga Lasem itu gelisah melihat jejak sejarah Lasem di ambang kepunahan dan membuat gerakan pelestarian cagar budaya melalui pendekatan pariwisata yang dapat diterima semua kalangan. (atman ahdiat)