Gereja GITJ 16 Tahun Disegel

Loading

JEPARA (Independensi.com) – Jemaat Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Rt 02 Rw 06 Dermolo, Kecamatan Kembang, Kabupaten Jepara, terpaksa harus melakukan long march untuk bisa beribadah di hari perayaan Natal mereka, Selasa (25/12/2018). Gereja miliknya masih dilarang digunakan untuk beribadah. Jemaat harus berjalan sekitar 1 jam lebih untuk bisa beribadah ke gereja lain di daerah Beji Kecamatan Keling.

“Baru saja saya mendapat telpon dari pihak MUI dan FKUB Jepara memerintahkan supaya membatalkan long march, namun kami tidak mau. Kami tidak bermaksud untuk mendemo pemerintah, atau membuat keonaran dan kerusuhan. Tidak. Sikap kami damai,” jelas Pdt Theofillus Tumijan.

Jemaat Gereja berjumlah sekitar 45 orang terdiri dari orang tua, dan anak-anak. Mereka berduyun-duyun ke arah gereja yang jaraknya kurang lebih 7 kilometer dari gereja yang belum bisa digunakan. Natal yang seharusnya merupakan kegembiraan dan kebahagiaan menyambut hari lahir Yesus Kristus, ternyata masih menyisakan duka. Mereka masih saja terdiskriminasi, belum bisa mendapatkan hak sebagai warga negara.

“Long march ini tidak hanya untuk kami bisa beribadah tetapi juga menyampaikan suara karena adanya larangan penggunaan gereja milik kami. Masih ada ketidakadilan, padahal sama-sama sebagai warga negara Indonesia,” terang Tumijan sapaan akrabnya Selasa (25/12/2018).

Ia menambahkan, pihak jemaat akan terus berusaha dan berupaya untuk memperjuangkan gereja sampai bisa digunakan kembali. Karena gereja tersebut sudah cukup tua, lebih dari 16 tahun. Mereka siap menempuh jalur legal untuk mendapatkan kepastian.

Wali Kota Bogor Anggap GKI Yasmin ‘Kaffir Dzimmi’ ?

Dikutip dari Elsaonline.com, Hingga sekarang, kata Theofillus Tumijan, segala upaya mediasi dan berbagai pertemuan tidak membuahkan hasil. Masih belum menunjukan keadilan bagi semua warga negara.

“Awal mula pelarangan Gereja ini digunakan untuk beribadah karena adanya oknum yang melakukan penolakan terhadap penggunaan Gereja Dermolo. Sampai sekarang berlarut-larut tidak bisa beribadah sampai kemudian muncul surat pemberhentian Gereja,” kata Tumijan. (*)