Masyarakat Perlu Psiko Edukasi Lawan Hoax

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Penyebaran informasi bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) sudah berada dalam tingkat sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya bisa memprovokasi dan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat, hoax juga berdampak sangat buruk baik psikologis, sosial, maupun fisik. Karena itu, psiko edukasi dan kampanye sebar cinta dan damai di medsos, seperti ajakan #HateFreeDay, harus terus digaungkan untuk menciptakan suasana aman, damai, dan nyaman, terutama jelang Pemilu Raya 2019.

“Psiko edukasi bisa dilakukan dalam banyak hal yakni bisa melalui iklan layanan masyarakat, menggunakan brosur yang disebarkan atau diviralkan melalui medsos dan sebagainya. Jadi hal-hal yang negatif itu juga harus kita counter dengan hal-hal yang positif. Kita juga harus lebih menonjolkan berita-berita baik sehingga masyarakat sadar masih banyak hal-hal baik daripada hal-hal buruk yang sudah mereka baca,” ujar psikolog anak dan keluarga, Maharani Ardi Putri, MSi, Psi di Jakarta, Jumat (18/1/2019).

Menurutnya, hoax dan ujaran kebencian di medsos menjadi masalah besar bagi bangsa ini. Selain dapat memprovokasi dan menimbulkan perpecahan masyarakat, hoax dan ujaran kebencian juga dapat menimbulkan dampak psikologis, sosial dan dampak fisik di lingkungan masyarakat.

“Dampak psikologis mungkin menjadi yang pertama yang terasa. Misalnya ketika kita membaca berita hoax dan ternyata itu tidak benar tapi kita sudah timbul perasaan mungkin kecewa, takut, dan bisa jadi kita juga merasa benci terhadap orang yang dibicarakan dalam hoax itu. Itu adalah dampak dampak psikologis bagi orang yang membaca,” ujar wanita yang biasa disapa Putri Langka ini.

Lalu untuk orang yang dibicarakan dalam berita hoax itu menurutnya, dampaknya bisa jadi mereka merasa malu, marah, beberapa mungkin bisa jadi traumatis ketika harus membaca berita-berita mengenai dirinya tersebut.

“Jadi dampak psikologisnya bisa jadi pada orang yang dituju atau juga pada orang yang membaca berita hoax tersebut,” kata perempuan yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Pancasila ini.

Setelah dampak psikologis, lanjutnya, hoax bisa berdampak sosial. Artinya ketika hoax itu mulai menjadi viral, apalagi ditimpali ujaran-ujaran kebencian, maka secara sosial perilaku yang bersangkutan pun ikut menjadi berubah.

“Yang tadinya mungkin orang tidak sadar terhadap masalah-masalah tersebut kemudian menjadi sadar dan bahkan sikapnya sangat ekstrem. Nah hal tersebut akan membawa dampak sosial,” kata Putri

Tak hanya itu,  menurutnya, penyebaran hoax dan ujaran kebencian juga memiliki dampak secara fisik, yaitu ketika orang menjadi merasa sedih dan depresi karena membaca informasi tersbut. Kemudian juga bisa menjadi sakit karena adanya hoax ataupun ujaran kebencian tersebut.

Akibatnya orang tersebut menjadi takut untuk keluar rumah atau takut melakukan sesuatu karena berita-berita hoax yang dia baca. “Nah dampaknya sebetulnya bisa banyak, karena itu kita harus mewaspadai masalah hoax dan ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial ini,” kata alumnus Pascasarjana Universitas Indonesia ini

Diakuinya, perkembangan teknologi yang pesat membuat sulit untuk mencegah seseorang tidak memiliki akun medsos. Untuk itu keluarga berperan sangat penting dalam mengajarkan bagaimana bermedia sosial yang bijak terutama terhadap anak.

“Bagaimanapun meski usianya sudah diperbolehkan memiliki akum medsos, tetapi anak dengan pengalaman yang masih sangat minim dan cara berpikir yang masih dangkal perlu diarahkan untuk menggunakan medsos. Mereka perlu diperkenalkan dengan hal-hal yang memang berpotensi menimbulkan masalah ketika itu diupload di medsos,” ujar wanita yang juga menjabat sebagai Kepala Biro Humas dan Ventura Universitas Pancasila

Selain itu, menurutnya, orang tua juga perlu mengajarkan kepada anak  mengenai konten apa saja yang bisa di upload yang tidak membahayakan diri mereka sendiri. “Jadi saya rasa hampir semua pendidikan bermula dari pendidikan keluarga, termasuk pendidikan dalam menggunakan internet yang bijak. Intinya bukan mencegah seseorang memiliki medsos, tetapi dengan mengajarkan bagaimana menggunakan medsos secara tepat,” kata perempuan kelahiran Surabaya, 14 April 1980 ini.

Dikatakannya, agar lingkungan pekerjaan dan keluarga bisa hidup rukun dan damai tanpa hoax dan ujaran kebencian, perlu adanya psiko edukasi atau pendidikan medsos juga bagaimana berinternet secara bijak. Ini penting agar masyarakat menjadi lebih paham dan lebih sadar terhadap dampak dari hoax dan ujaran kebencian di medsos.

“Ini harus dilakukan dalam setiap lapisan umur. Kenapa? Karena cara menangkap pesan-pesan atau pendidikan mengenai medsos ini tentunya akan berbeda-beda, harus disesuaikan dengan kapasitasnya, dengan bahasa yang kita gunakan, sehingga masyarakat menjadi lebih paham,” katanya mengakhiri.