Titik panas yang terdeteksi BMKG berpotensi menimbulkan kebakaran hutan

BMKG Deteksi Terdapat 7.540 Titik Panas di Asia Tenggara dan Papua Nugini

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Berdasarkan hasil pemantauan selama seminggu terakhir (2–9 Agustus 2019) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengidentifikasi sedikitnya terdapat 7.540 titik panas di seluruh wilayah Asia Tenggara dan Papua Nugini.

Untuk itu BMKG meminta masyarakat utk tetap terus mewaspadai sebaran titik panas guna mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Prabowo di Jakarta, mengungkapkan, informasi titik panas tersebut diperoleh dari hasil analisis BMKG berdasarkan citra Satelit Terra Aqua MODIS (NOAA) dan Satelit Himawari-8 (JMA).

Peningkatan jumlah titik panas ini, diakibatkan kondisi atmosfer dan cuaca yang relatif kering sehingga mengakibatkan tanaman menjadi mudah terbakar. Kondisi cuaca tersebut perlu diperhatikan, agar tidak memperparah kalau terjadi kebakaran.

Berdasarkan hasil monitoring BMKG, menunjukkan adanya indikasi trend peningkatan jumlah titik panas di berbagai wilayah ASEAN.

Terpantau mulai tanggal 3 Agustus 2019 sebanyak 1.025 titik meningkat menjadi 1.139 titik pada tanggal 4 Agustus 2019. Jumlah titik panas masih mengalami peningkatan hingga tanggal 7 Agustus 2019 sebanyak 1.585 titik.

Penurunan titik panas terjadi pada tanggal 8 Agustus 2019 sebanyak 1.178 titik. Sementara, peningkatan jumlah titik panas kembali terjadi pada tanggal 9 Agustus 2019 sebanyak 2.002 titik.

Konsentrasi dari titik panas tersebut diantaranya berada di wilayah Indonesia (Riau, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat), juga terdeteksi di Malaysia (Serawak), Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, Filipina, Singapura, Timor Leste, dan Papua Nugini.

Pada musim kemarau, pola angin dominan berasal dari arah Tenggara, perlu diantisipasi adanya sebaran (trajektori) asap lintas batas (transboundary haze).

Terkait dengan isu asap lintas batas pada awal Agustus 2019, BMKG menyatakan bahwa sebaran asap yang terjadi di Indonesia khususnya wilayah Sumatera (Riau dan Jambi) tidak mengalami perluasan yang cukup signifikan hingga mencapai wilayah pantai Malaysia.

Hal ini dibuktikan dengan pengamatan satelit Himawari-8 yang menunjukkan sebaran asap di Sumatera tidak meluas hingga wilayah Malaysia.

Bahkan pantauan citra satelit Himawari-8 mengidentifikasi adanya titik panas di wilayah Semenanjung Malaysia pada tanggal 1 Agustus 2019 dengan kondisi angin stasioner yang berpotensi mengakibatkan udara keruh di sekitar wilayah tersebut.

Untuk mengantisipasi kondisi tersebut telah disiapkan informasi peringatan dini berupa monitoring potensi cuaca dan prediksi cuaca berupa informasi Fire Danger Rating System (FDRS) hingga 7 hari ke depan untuk wilayah ASEAN.

Informasi sistem tersebut berupa peta prakiraan tingkat kemudahan terjadinya kebakaran berdasarkan unsur cuaca di wilayah Asia Tenggara.

Dalam seminggu kedepan (10 – 16 Agustus 2019) wilayah Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Filipina, Thailand, Malaysia, Vietnam, serta sebagian kecil Laos dan Myanmar diprediksi masuk kategori cuaca “Sangat Mudah” terjadi kebakaran.

Prabowo menerangkan, saat ini sebagian besar wilayah Indonesia dan beberapa wilayah di ASEAN sedang mengalami musim kemarau (monsun Australia) dimana pola angin secara umum berasal dari arah Tenggara yang bersifat kering.

Selain itu, kondisi musim saat ini juga dipengaruhi oleh kondisi anomali suhu permukaan laut yang negatif di khususnya di perairan Indonesia selatan ekuator, El Nino dengan intensitas lemah yg berlangsung dari akhir 2018 yang saat ini bertendensi menuju kondisi netral, serta Indian Ocean Dipole Mode positif.

Kondisi-kondisi atmosfer dan laut yang demikian berdampak pada musim kemarau tahun ini terasa lebih kering dari kemarau tahun 2018, dan kondisi lahan khususnya gambut potensial menjadi mudah terbakar.

“Kondisi kering yang diikuti dengan munculnya hotspot dapat berkembang potensial menjadi kebakaran hutan dan lahan yang pada akhirnya dapat memunculkan asap dan menurunkan kualitas udara. Untuk itu diperlukan kewaspadaan dan langkah pencegahan serta antisipasi untuk meminimalisir dampak,” imbuhnya.

BMKG terus berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), BNPB, Pemerintah Daerah (BPBD), serta instansi terkait.

Kepada masyarakat luas dihimbau untuk terus meningkatkan kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap munculnya kekeringan lahan, potensi kebakaran lahan dan hutan, potensi munculnya polusi udara dan asap, dan potensi kekurangan air bersih. (hpr)