Kriminallisasi Peladang, Bentuk Pengkhianatan Pancasila

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Senin, 9 Maret 2020, enam peladang Dayak korban kriminalisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena membuka ladang dengan sistem bakar, menghadapi vonis di Pengadilan Negeri Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia.

Terlepas apapun vonis diputuskan hakim, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (DPP MHADN), Askiman, Wakil Bupati Sintang, mengeluarkan wacana, tanggal putusan terhadap enam peladang Dayak di Pengadilan Negeri Sintang, Senin, 9 Maret 2020, sebagai Hari Berladang Dayak Internasional.

Nantinya, paling tidak di lingkungan Dayak International Organization Organization (DIO) di mana program kerjanya di Indonesia, diimplementasikan MHADN, maka tiap tanggal 9 Maret tiap tahun, ditetapkan sebagai Hari Berladang Dayak Internasional, sebagaimana Protokol Tumbang Anoi 2019, menetapkan, tiap tanggal 24 Juli tiap tahun sebagai Hari Kebangkitan Dayak Internasional.

Ditetapkannya Hari Kebangkitan Dayak Internasional setiap tanggal 24 Juli tiap tahun, hasil Seminar Internasional dan Ekspedisi Napak Tilas Damai Tumbang Anoi 1894 tahun 2019 di Cagar Budaya Rumah Betang Damang Batu, Desa Tumbang Anoi, Kecamatan Damang Batu, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah, Indonesia, 22 – 24 Juli 2019.

Kalender Dayak 2021

Karena pada 22 Mei – 24 Juli 1894, ribuan tokoh Dayak yang disebut Damang di Kalimantan Tengah, Temenggung di Kalimantan Barat, Pemanca di Sarawak dan Anak Negeri di Sabah (Malaysia), menggelar Pertemuan Damai, mencakup 9 point yang dijabarkan di dalam 96 pasal hukum adat, di antaranya menghentikan budaya perbudakan dan praktik mengayau (potong kepala manusia) antar sesama Suku Dayak.

Sehubungan penetapan Hari Berladang Dayak Internasional, maka Sekretaris Jenderal MHADN, Salfius Seko dan Ketua Bidang Peradilan Adat dan Hukum Adat MHADN, Tobias Ranggie, menyusun konsep tata cara Perayaan Hari Berladang Dayak Internasional, sebagai rujukan bagi komunitas Suku Dayak di masing-masing tempat untuk menggelar perayaan tiap tahun.

Tanggal 9 Maret sebagai Hari Berladang Dayak Internasional dan tanggal 24 Juli sebagai Hari Kebangkitan Dayak Internasional, dimasukkan di dalam Kalender Dayak Internasional Tahun 2021 yang proses penggarapannya sudah dimulai awal Maret 2020 dan di-launching di Sintang, Ibu Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, Nopember 2020.

Hari Berladang Dayak Internasional tiap tanggal 9 Maret dan Hari Kebangkitan Dayak Internasional tiap tanggal 24 Juli tiap tahun, kemudian dimasukkan ke dalam buku: “Sejarah Dayak” yang di-launching tahun 2022, dalam rangka memeriahkan Hari Bahasa Ibu Internasional selama satu dekade dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 2022 – 2032.

Anthropologi budaya

Praktik kriminalisasi petani peladang Dayak, bukan saja terjadi di Provinsi Kalimantan Barat, tetapi merata di sejumlah provinsi di Kalimantan.

Bahkan di Provinsi Kalimantan Tengah, hakim di sejumlah Pengadilan Negeri, sudah menjatuhkan vonis bersalah antara 5 – 18 bulan penjara kepada petani peladang Dayak, karena terbukti membuka lahan dengan sistem bakar.

Di sejumlah wilayah juga, termasuk di Provinsi Kalimantan Barat, para peladang Suku Dayak tengah menjalani proses hukum di sejumlah Pengadilan Negeri.

Namun lantaran reaksi keras dari kalangan Suku Dayak muncul di Kabupaten Sintang, maka tidak heran, praktik kriminalisasi 6 peladang di Pengadilan Negeri Sintang, Provinsi Kalimantan Barat, menyita perhatian banyak pihak.

Sejumlah saksi ahli meringankan dari pihak terdakwa, telah dimintai keterangannya oleh majelis hakim, untuk mengetahui secara detil dari aspek ilmiah anthropologi budaya, bahwa praktik berladang dengan sistem bakar bagian tidak terpisahkan dari sistem religi Suku Dayak yang berurat berakat dari legenda suci Dayak, mitos suci Dayak, adat istiadat Dayak dan hukum adat Dayak.

Sandrayati Moniaga, anggota Komisioner Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), turut pula memberikan keterangan meringankan bagi 6 peladang Dayak yang tengah menghadapi kriminalisasi di Pengadilan Negeri Sintang.

Pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, terus melakukan pendekatan kepada segenap lapisan masyarakat Dayak dari berbagai organisasi, agar kalaupun turun ke jalan di sekitar Pengadilan Negeri Sintang, Senin, 9 Maret 2020, supaya menghindari berbagai tindakan anarkistis.

Praktik kriminalisasi terhadap 6 peladang Dayak di Pengadilan Negeri Sintang, membuktikan sangat buruknya pemahaman anthropologi budaya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan mengabaikan kebenaran materiil, tidak berlandaskan hatinurani, sehingga menimbulkan kegaduhan di kalangan Suku Dayak di Kalimantan.

Praktik berladang dengan sistem bakar, merupakan kearifan lokal dan bagian dari rangkaian ritualisasi di dalam kehidupan masyarakat Suku Dayak. Dari membuka lahan hingga memanen, selalu didahului dan diakhiri aspek ritualisasi, melalui sistem ladang gilir balik atau rotasi.

Penerapan hukum terhadap 6 peladang Dayak di Kabupaten Sintang, terlalu parsial. Karena membuka lahan dengan sistem bakar diatur di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, tentang Lingkungan Hidup, dan Peraturan Bupati Sintang, Nomor 57 Tahun 2018, tentang Tata Cara Membuka Lahan.

Ironisnya, sampai sekarang Negara tidak mampu memberikan solusi teknologi kepada peladang Dayak tentang sistem pertanian tanpa bakar yang murah dan mudah diterapkan.

Dampaknya, melakukan kriminalisasi kepada para peladang Dayak, sama saja dengan membunuh mereka secara tidak langsung. Melarang orang Dayak membuka lahan dengan sistem bakar, berarti menghentikan sumber ketersediaan pangan mereka berupa beras untuk satu tahun mendatang.

Melarang orang Dayak membuka ladang dengan sistem bakar, sama saja dengan menghina dan melecehkan tahapan peradaban kebudayaan mereka. Inilah yang membuat orang Dayak marah, setiap kali para peladang Dayak menjadi korban kriminalisasi aparat penegak hukum di NKRI.

Jatidiri penegak hukum

Belajar dari kasus kriminalisasi 6 peladang Dayak di Kabupaten Sintang yang menimbulkan kegaduhan meluas, ada baiknya aparat penegak hukum, merenungkan pernyataan Jaksa Agung, ST Burhanudin.

Burhanudin, mengemukakan, “Penegakan hukum tidak melulu berdasarkan text book atau berpatokan pada buku dan teori. Jika menggunakan prinsip itu, ada banyak sekali masyarakat akan dipenjara. Padahal kasusnya kecil dan sederhana.”

“Kita harus lihat juga keadilan di masyarakat. Di sini, ada banyak Kepala Kejaksaan Tinggi dari tiap-riap provinsi, instruksi Saya, adalah agar kedepankan rasa keadilan masyarakat,” kata Burhanudin dalam seminar nasional “Penegakan Hukum Dalam Kerangka Penyelenggaraan Pemerintah Daerah dan Percepatan Pembangunan Daerah” di Gedung Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Jakarta, Senin, 24 Februari 2020.

Untuk merealisasikan instruksi Jaksa Agung, sebetulnya tidak sulit, asalkan para penegak hukum di Indonesia, memahami karakter dan jatidirinya sebagai bagian integral berbagai suku bangsa di Benua yang menganut trilogi kebudayaan masyarakat Asia, yaitu hormat dan patuh kepada leluhur, hormat dan patuh kepada orangtua, serta hormat dan patuh kepada negara.

Trilogi peradaban kebudayaan masyarakat di Benua Asia dimaksud, paling berjasa di dalam membentuk karakter dan jaditiri manusia dari berbagai suku bangsa di Benua Asia yang beradat, yaitu berdamai dan serasi dengan leluhur, berdamai dan serasi dengan alam semesta, berdamai dan serasi dengan sesama, serta berdamai dan serasi dengan negara.

Faktor pembentuk karakter dan jatidiri manusia di Benua Asia beradat dimaksud, lahir dari sistem religi atau berurat berakar dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari berbagai suku bangsa di Benua Asia, dengan menempatkan hutan sebagai sumber dan simbol peradaban.

Sistem religi dari berbagai suku bangsa di Benua Asia yang akrab dengan alam, selama ini, sebagai bukti kecerdasan bersikap, bertutur, bertindak dari sebagai suku bangsa yang bersangkutan.

Karena karakter dan jatidiri sebuah suku bangsa di mananpun di seluruh dunia, selalu bersumber dari sistem religinya dengan sumber doktrin dari legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan (Dayak, Batak, Jawa, Toraja, Papua, dan lain-lain).

Apabila dikemudian hari, masih terjadi praktik kriminalisasi terhadap peladang Dayak, itu, berarti, oknum aparat penegak hukum itu (Polisi Republik Indonesia, Penyidik Pagawai Negeri Sipil, Jaksa, Hakim), adalah profil manusia di Benua Asia yang sudah kehilangan karakter dan jatidirnya sebagai masyarakat di Benua Asia yang beradat.

Ideologi Pancasila

Presiden Indonesia, Soekarno (17 Agustus 1945 – 22 Juni 195), menegaskan, ideologi Pancasila disarikan dari kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia. Karena Suku Dayak bagian integrasl Bangsa Indonesia, maka Kebudayaan Suku Dayak, turut andil melahirkan ideologi Pancasila

Dengan demikian, praktik berladang dengan sistem bakar yang diliputi aspek ritualisasi Dayak, bagian yang tidak terpisahkan dari Kebudayaan Suku Dayak, sebagai wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila.

Dengan demikian, apabila masih ada aparat penegak hukum di Indonesia, melakukan praktik kriminalisasi terhadap para peladang Dayak, itu, adalah bentuk pengkhianatan, penghujatan, dan penghinaan terhadap ideologi Pancasila. (Aju)