Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, S.H., M.H., Dosen Bidang Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. (Ist)

Ekuilibrium Kebijakan Keuangan Negara Dalam Keadaan Darurat Akibat Penyebaran Covid-19

Loading

Oleh: Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, S.H., M.H.*

JAKARTA (Independensi.com) – Dunia sejak awal 2020 dihadapkan pada keadaan darurat sebagai akibat meluasnya penyebaran virus Covig-19 yang oleh World Health Organization (WHO) pada 11 Maret 2020 ditetapkan sebagai pandemi global. Keadaan demikian memengaruhi tidak saja kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga langsung maupun tidak langsung terakibat terhadap perekonomian global, termasuk di dalamnya sektor keuangan, perdagangan, dan perbankan.

Meluasnya penyebaran virus Covid-19 sebagai pandemi global merupakan
kondisi yang tidak dapat diantisipasi manusia dan teknologi secara cepat sampai
ditemukannya vaksin antivirus tersebut. Untuk mencapai penemuan vaksin tersebut,
seluruh negara di dunia berada pada kondisi yang darurat disebabkan melambatnya
pertumbuhan ekonomi dan menurunnya kehidupan sosial kemasyarakatan.

Keadaan darurat negara atau staat van oorlog en beleg (SOB) dikenal sebagai
Akibat peperangan atau pertikaian, yang menyebabkan alat-alat negara tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam hukum administrasi negara, keadaan darurat
negara harus ditetapkan kepala pemerintahan, baik penetapan awal dan akhir waktu
darurat, sebagai kehendak pemerintahan kepada warga masyarakat dan seluruh pihak
atas situasi yang luar biasa. Penetapan keadaan darurat sebagai kepala pemerintahan
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum dan menjelaskan cara
pemerintahan bekerja dalam situasi negara darurat.

Keadaan darurat sebagai Akibat Covig-19 di Indonesia ditetapkan Presiden
melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Penetapan
kedaruratan oleh presiden diperlukan menurut hukum administrasi negara, karena tiga
alasan:

a. Agar penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik dilaksanakan
menurut situasi dan kondisi kedaruratan, sehingga beberapa wewenang, syarat
dan prosedur, serta subtansi atas pelaksanaan pemerintahan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi kedaruratan, untuk mencapai kemanfaatan umum yang lebih
besar dengan menetapkan protokol dan pedoman tindakan pemerintahan
khusus;
b. Agar warga masyarakat dapat segera melakukan upaya pembatasan dan
penyesuaian kehidupan sosial ekonomi dengan situasi kedaruratan, serta
memahami hak dan kewajibannya yang harus diikuti dalam keadaan darurat;
c. Agar hubungan hukum, baik hukum publik dan hukum perdata agar dijalankan
sesuai dengan mekanisme keadaan darurat, serta memberikan kesempatan
penyesuaian hukum yang sejalan dengan situasi keadaan darurat.4
Adanya penetapan keadaan darurat oleh presiden dianggap penting secara
hukum administrasi negara, guna menghindari kemungkinan salah kira (dwaling)
mengenai terjadi tidaknya keadaan darurat pasca-kondisi menyebarnya Covid-19
yang akan datang. Dengan demikian, seluruh tindakan kepemerintahan yang
dilakukan pada saat darurat merupakan tindakan yang sah, akuntabel, dan memenuhi
asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Salah satu sektor yang terdampak dengan adanya darurat akibat penyebaran
Covig-19 adalah sektor keuangan negara dan perekonomian makro nasional, yang
sangat bergantung pada asumsi makro yang dapat diperkirakan. Adanya keadaan
darurat akibat penyebaran Covid-19 menyebabkan beberapa asumsi makro yang
termuat dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus berubah
mengikuti kondisi perekonomian global. Antisipasinya adalah dengan menetapkan
kebijakan keuangan negara dan perekonomian negara yang sejalan dengan kondisi
tersebut, tetapi tetap dibatasi pada masa tertentu agar pemulihan keuangan negara dan perekonomian nasional dapat tetap terukur dan terjaga.

Keadaan darurat negara secara hukum dianggap sebagai keadaan memaksa
negara untuk mengambil tindakan kepemerintahan yang perlu dilakukan guna
mencapai tujuan yang lebih besar dan lebih prioritas dalam melindungi kepentingan
umum (bestuurzorg).

Mengingat alas fakta yang dihadapi negara saat itu adalah keadaan memaksa atau di luar keadaan normal, tindakan kepemerintahan yang ditetapkan berlandaskan pada cara-cara yang luar biasa untuk tujuan melindungi kepentingan umum (algemeen belang).5 Oleh sebab itu, negara kemudian menetapkan secara khusus masa waktu, prosedur dan syarat, serta subtansi tertentu dalam melaksanakan situasi darurat dengan mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum pada situasi normal.

Upaya mengesampingkan beberapa ketentuan yang berlaku umum tersebut
bukan dimaksudkan untuk diberlakukan secara terus menerus, sehingga menjadi
peraturan regular. Akan tetapi, sebagai peraturan yang akan diberlakukan pada masa
yang ditentukan pada peraturan tersebut disertai dengan syarat dan prosedur, serta
subtansi pelaksanaannnya secara khusus.

Menurut hukum administrasi negara, pemberlakuan secara khusus peraturan dasar dalam keadaan darurat menjadi sah sepanjang memenuhi alas fakta yang memadai dan negara memprioritaskan kemanfaatan umum akan diperoleh (doelmatigheid) akan dapat diperoleh dengan penerapan peraturan yang bersifat darurat tersebut.

Dengan demikian, keadaan darurat tetap harus dipahami dalam pandangan
yang sesuai dengan alas fakta yang terjadi pada saat keadaan darurat, dan tidak
menggunakan parameter dan indikator keadaan normal.

Hal inilah yang menyebabkan hukum administrasi negara sangat bersifat dinamis dalam memahami situasi dan kondisi yang ada apabila alas fakta yang memadai untuk menetapkan keputusan dan/atau peraturan tersebut telah memenuhi secara memadai dan menyakinkan (reasonable assurance).

Oleh sebab itu, yang utama dalam menguji keabsahan peraturan dan keputusan
administrasi pemerintahan dalam keadaan darurat adalah adanya asas prosesual atau
ekuilibrium antara kepentingan negara dan kepentingan umum yang harus dilindungi.

Asas prosesual memberikan gambaran atas fakta objektif kepentingan umum yang
harus dilindungi oleh pemerintahan, sehingga menjadi motivasi dalam pengambilan
keputusan atau peraturan. Ekuilibrium kepentingan negara dan kepentingan umum
akan menjaga kepercayaan diri pemerintahan dalam melindungi kepentingan umum
yang harus menjadi prioritas, sehingga pemerintahan menjadi tidak ragu-ragu, cepat,
dan tepat dalam mengambil tindakan kepemerintahan apapun yang diperlukan.

Akan tetapi, ekuilibrium ini akan mencapai kesempurnaan ketika pemerintahan juga menetapkan pedoman mitigasi dan protokol pelaksanan tindakan kepemerintahan dan menetapkan konsep pengawasasan intern dalam pelaksanaan tindakan kepemerintahan.

Kondisi ketidaksempurnaan akibat keadaan darurat tidak dapat menjadi alasan bagi pemerintahan negara untuk tidak optmimal menjalankan kewajibannya dalam melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia. Dengan demikian, kondisi ketidaksempurnaan tersebut diimbangi dengan penetapan kebijakan dan pengaturan yang relevan, andal, dan valid sejalan dengan alas fakta yang dihadapi pada situasi negara darurat.

Kebijakan Keuangan Negara (UU APBN) Darurat

Sama dengan seluruh sektor apapun, sektor keuangan negara dipastikan akan
sangat terdampak dengan keadaan negara darurat tersebut. Situasi demikian
hakikatnya terjadi karena kondisi ketidaksempurnaan akibat penyebaran Covig-19
yang memengaruhi langsung maupun tidak langsung asumsi dalam UU APBN
maupun dalam beberapa peraturan perundang-undangan berkaitan dengan keuangan
negara.

Menurut hukum keuangan publik, keadaan darurat akibat penyebaran Covig19 menyebabkan penyesuaian atas formalitas perumusan UU APBN yang
menyebabkan perubahan UU APBN dilakukan dengan UU APBN
tambahan/perubahan (UU APBN T/P), sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (3) UU
Nomor 17 Tahun 2003.

Akan tetapi, dalam keadaan darurat, perubahan UU APBN yang menyebabkan perubahan pengeluaran negara dapat dilakukan tanpa menggunakan mekanisme pembahasan terlebih dahulu dan penetapan UU APBN T/P, tetapi dengan pengeluaran uang terlebih dahulu, yang dapat kemudian diusulkan dalam UU APBN T/P nanti atau sekalian disampaikan pada laporan realisasi anggaran pada saat penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Hal demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003.

Karakter hukum UU APBN yang merupakan undang-undang penetapan,
berbeda dengan undang-undang pengaturan pada umumnya. Sebagai undang-undang
yang memuat tindakan kepemerintahan dalam penerimaan, pengeluaran, dan
pembiayaan, UU APBN menetapkan cara pemerintah untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik, dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).

Dengan demikian, karena sifat hukumnya tersebut, UU APBN sebenarnya merupakan domain pemerintah dalam perumusan dan perencanaannya, yang kemudian membutuhkan hak budget DPR untuk menyetujui atau tidak. Dalam hal kondisi kedaruratan, persetujuan tidak ditempatkan di awal, melainkan sekalian di akhir pelaksanaan dengan maksud terjadinya perubahan konsep hak budget DPR yang sebelumnya menguji pengeluaran negara untuk kebutuhan di tahun berjalan, menjadi menguji pengeluaran negara untuk kemanfataan di tahun berjalan.

Keduanya sama-sama tetap menggunakan dan menjalankan hak budget DPR, dimana hak budget keadaan normal, alokasi yang tidak disetujui DPR karena belum menjadi kebutuhan DPR akan dicoret atau ditarik, sedangkan dalam keadaan darurat, alokasi yang tidak disetujui karena tidak sesuai kemanfaatannya harus dipertanggungjawabkan pemerintah dalam berbagai bentuk, yaitu meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan dan melaporkannya kepada DPR, meminta pemerintah melakukan koreksi dan pengembalian sesuai dengan rekomendasi pemeriksaan BPK, atau DPR dapat menggunakan hak yang dimilikinya dalam mengawasi penggunaan APBN keadaan darurat.

Dengan demikian, keliru apabila pada masa darurat, hak budget DPR
dikesampingkan dalam proses penganggaran, sehingga seakan-akan pemerintah
sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara berjalan sendiri. Hal ini
disebabkan perubahan mekanismenya saja, yang sebelumnya Hak Budget DPR
dilakukan di awal menjadi di akhir setelah diterbitkannya LKPP.

Di sisi lain, kekuatiran akan pemerintah bertindak sewenang-wenang dalam penggunaan anggaran dalam keadaan darurat harus dikesampingkan karena Presiden wajib menugaskan menteri yang menangani urusan pemerintahan bidang keuangan menyusun pedoman pengelolan keuangan dalam kondisi darurat yang mengatur syarat prosedur, dan subtansi pelaksanan penganggaran keuangan, serta juga Presiden dapat memerintahkan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) seperti Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat jenderal kementerian/lembaga, dan inspektorat provinsi/kabupaten/kota untuk melakukan
pengawasan dan pengendalian.

Dengan demikian, secara formal, mekanisme penyusunan APBN dan
persetujuan DPR sebagai pemegang hak budget tetap ada dan tidak ada ada norma
konstitusi yang dilanggar. Hal ini disebabkan pelaksanaan APBN tetap memenuhi dan
mendapatkan persetujuan DPR.

Sementara itu, dari segi materiil, UU APBN merupakan undang-undang
penetapan yang memuat penerimaan, pengeluaran, dan pembiayaan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 (UUD NRI 1945). Sebagai undang-undang penetapan, UU APBN memiliki
materi muatan penetapan atas rencana keuangan pemerintahan dalam satu tahun yang kemudian dilaksanakan dalam suatu peraturan presiden.

Arifin P. Soeria Atmadja dalam tulisannya berjudul “Rechtkarakter Undangundang APBN di Indonesia” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan menyatakan
UU APBN hanya berlaku bagi pemerintah yang menjalankan UU APBN dan
mempertanggungjawabkannya kembali kepada DPR. UU APBN tidak memerlukan
peraturan pemerintah agar dapat dijalankan, tetapi langsung menggunakan keputusan
presiden (saat itu sebelum menjadi peraturan presiden).

Dengan demikian, dalam hal keadaan darurat, penyesuaian anggaran
dilakukan langsung dengan peraturan presiden bukan sesuatu pelanggaran, karena isi
peraturan presiden adalah penyesuaian dari pelaksanaan UU APBN yang sebelumnya
telah disetujui DPR, tetapi kemudian dilakukan penyesuaian menurut kondisi darurat
berdasarkan Pasal 27 ayat (4) UU Nomor 17 Tahun 2003.

Hal ini nantinya tetap akan dirumuskan pertanggungjawabannya kepada DPR dalam suatu LKPP yang diperiksa BPK, dan diserahkan ke DPR untuk kemudian dilakukan persetujuan dalam suatu undang-undang pertanggungjawaban keuangan negara (UU PAN) atau DPR dapat melakukan fungsi pengawasannya.

Dengan demikian, secara hukum keuangan publik, tidak ada kerugian
konstitusional maupun penyimpangan dalam penetapan kebijakan dalam penetapan
UU APBN yang dilakukan secara darurat. Apalagi jika membaca Perpu Nomor 1
Tahun 2020, tepat pemerintah tidak mengusulkan perubahan alokasi UU APBN 2020
dalam perpu tersebut, tetapi dalam peraturan presiden.

Hal ini disebabkan exit strategy dalam keadaan darurat perubahan undang-undang, bagi undang-undang pada umumnya dan undang-undang APBN berbeda. Perubahan undang-undang pada umumnya yang mengatur materi muatan pengaturan dan penetapan adalah perpu, sedangkan bagi UU APBN adalah dengan penetapan perubahan dalam laporan realisasi anggaran yang sebelumya ditetapkan dalam peraturan presiden. Sementara itu, dalam hal DPR tidak menyetujui suatu rancangan undang-undang (RUU), pada RUU pada umumnya, maka RUU tersebut tidak dapat diajukan pada masa persidangan. Sementara itu, untuk RUU APBN, jika ditolak DPR, pemerintah menggunakan UU APBN tahun lalu.

Perihal Biaya Ekonomi dalam Keadaan Darurat

Perdebatan yang paling menimbulkan polemik dalam hukum, khususnya
hukum keuangan publik adalah mengenai ketentuan Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1
Tahun 2020, yang berbunyi:
“Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota
KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk
kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk
kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan
stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional,
merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan
perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.”

Dalam perspektif hukum keuangan publik, kerugian negara adalah
“kekurangan uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti sebagai akibat
perbuatan melawan hukum atau kelalaian,” berdasarkan Pasal 1 angka 22 Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Suatu kerugian negara terjadi dalam hal hak dan kewajiban tidak dipenuhi negara, hak dalam hal ini terdapat uang, surat berharga, dan barang yang nyata dan pasti tidak diterima negara padahal menjadi hak negara menurut peraturan perundang-undangan, atau kewajiban negara artinya negara seharusnya melaksanakan kewajiban keuangan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan menjadi kewenangan pemerintah.

Biaya yang telah dialokasikan UU APBN dan/atau realisasi keuangan
pemerintah untuk keadaan darurat tidaklah dapat dikatagorikan sebagai kerugian
negara dengan alasan:
a. Biaya tersebut dialokasikan dalam UU APBN dan/atau laporan realisasi
anggaran sebagai dasar hukum pengeluaran uang sebagaimana diatur dalam
Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 jo. Pasal 27 ayat (4) UU Nomor
17 Tahun 2003;
b. Biaya tersebut dikeluarkan untuk memenuhi kewajiban pemerintah untuk
melindungi segenap tumpah rakyat Indonesia atau memenuhi asas
kemanfaatan umum (doelmatigheid), dan untuk menghindari situasi dan
keadaan yang lebih membahayakan keuangan negara dan perekonomian
nasional secara keseluruhan; c. biaya tersebut tetap diukur dalam satuan yang dikendalikan dan ditetapkan pedomannya oleh pemerintah dengan memperhatikan masukan dari lembaga terkait yang relevan untuk melakukan pengawasan intern;

Di samping itu, makna kerugian negara tidak tepat juga dimaknai sebagai
sesuatu yang berkaitan dengan hukum pidana, karena dengan adanya Pasal 20
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan dan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016, kerugian negara juga
mempunyai relevansi dengan persoalan hukum administrasi negara dalam hal
terjadinya kesalahan administrasi.

Namun, menyangkut norma dalam Pasal 27 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun
2020 hakikatnya dimaknai sebagai biaya sebagai sebab terjadinya keadaan darurat
yang memengaruhi stabiltas keuangan negara dan perekonomian nasional. Dalam
hukum keuangan publik, hal demikian merupakan biaya risiko yang harus dibebankan
ke dalam UU APBN untuk maksud mewujukan tujuan negara, yaitu melindungi
segenap tumpah darah Indonesia.

Dalam hal terjadinya kekuatiran adanya tindakan pidana dalam proses
pengambilan keputusan dalam keadaan darurat dalam bentuk suap, tipuan, dan/atau
paksaan yang menguntungkan secara melawan hukum, upaya mitigasinya adalah
dengan penguatan pengawasan intern pemerintah dan penyusunan pedoman
pelaksanaan kegiatan dalam keadaan darurat.

Dengan demikian, adanya pengendalian intern APIP dalam mencegah dan mendeteksi secara dini kemungkinan terjadinya penggunaan cara lain dalam pelaksanaan anggaran keadaan darurat secara cepat dan efisien, sehingga penanganan keadaan darurat segera dapat diatasi secara sempurna dan akuntabel.

Biaya dalam keadaan darurat merupakan konsekuensi logis dalam upaya
mewujudkan tindakan kepemerintahan yang cepat dan luar biasa diperlukan dalam
kondisi yang tidak sempurna. Kecepatan dan ketepatan pemerintahan dalam
penanganan keadaan darurat akibat Covig-19 tidak dapat menggunakan parameter dan indikator yang biasa karena tidak justru tidak prosesual atau tidak memenuhi
ekuilibrium kebijakan keuangan publik jika suatu alas fakta yang berbeda
menggunakan syarat prosedur yang normal atau kondisi yang sempurna, padahal alas
fakta jelas terdapat perbedaan dan situasi yang darurat.

Di samping itu, biaya tersebut juga akan sampai pada muaranya untuk
diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan juga hasilnya disampaikan kepada DPR untuk memperoleh persetujuan berkaitan dengan manfaatnya dalam
LKPP. Dengan demikian, proses dan sistem pembiayaan tersebut tetap akuntabel dan
memenuhi asas umum pemerintahan yang baik dalam suatu syarat prosedur yang
darurat.

Tuntutan Pidana, Gugatan Perdata dan Tata Usaha Negara dalam Pengambilan Keputusan Keadaan Darurat

Keadaan darurat dipastikan akan mengesampingkan syarat prosedur dan
subtansi pelaksanaan tindakan kepemerintahan sesuai dengan alas kondisi yang
normal, sehingga menggunakan syarat prosedur dan subtansi yang darurat. Dalam
kondisi tersebut, lazimnya tindakan kepemerintahan akan menggunakan pedoman
khusus dan standar operasional prosedur yang khusus yang tetap memperhatikan alas
fakta yang memadai dalam mengambil keputusan dan/atau kebijakan sektor keuangan
negara dan perekonomian negara.

Mengesampingkan syarat prosedur dan subtansi hakikatnya dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu menyusun dasar hukum dalam suatu perpu dan peraturan
pelaksanaannya serta alas fakta yang memadai. Hal demikian kemudian dilaksanakan
dengan itikad baik bagi pejabat administrasi pemerintahan. Dalam hukum
administrasi negara, itikad baik lebih tepat menggunakan istilah asas-asas umum
pemerintahan yang baik.

Dalam hal ini pejabat administrasi pemerintahan menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan alas hukum dan alas fakta secara memadai, serta keputusan dan kebijakan ditetapkan dengan motivasi untuk melindungi kepentingan umum (bestuurzorg). Dengan kondisi demikian, tepat pelaksanaan tindakan kepemerintahan tersebut tidak menjadi objek keputusan tata usaha negara karena peraturan dasarnya telah berubah, tidak pada peraturan dalam keadaan negara normal. Dengan demikian, keputusan tersebut dikecualikan sebagai objek pengadilan tata usaha negara karena validitasnya didasarkan padas peraturan dasar tersendiri yang dibentuk dalam keadaan darurat.

Dalam hal masyarakat atau pihak lain mengajukan keberatan dalam keputusan
administrasi pemerintahan dalam masa darurat, dapat menggunakan instrument
administrasi pemerintahan itu sendiri, yang kemudian dapat dilakukan penyelesaian
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2016 tentang Pengenaan Sanksi
Administrasi bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan dan Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2016 Tentang Pengenaan Ganti Kerugian oleh Pejabat Bukan Bendahara. Dalam hal keberatan tersebut juga masih ada warga masyarakat dapat
mengajukan pengaduan ke DPR dalam rangka pengawasan, sehingga DPR dapat
menggunakan seluruh hak yang dimilikinya dalam rangka pengawasan eksternal
terhadap tindakan administrasi pemerintahan.

Mengenai peniadaan tuntutan pidana dan gugatan perdata hakikatnya tetap
dijaga sepanjang ada itikad baik. Dalam hal ini jika kesalahan dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan masih berada pada lingkup kesalahan administrasi,
penyelesaiannya adalah melalui ketentuan Pasal 20 UU Nomor 30 Tahun 2014 dan
peraturan pelaksanaannya. Konsep itikad baik tetap meletakkan pada aspek
pengambilan keputusan dan kebijakan tidak mengandung unsur suap,
paksaan/ancaman, dan tipuan guna menguntungkan secara melawan hukum. Akan
tetapi, jika pengambilan keputusan dan kebijakan disebabkan adanya kesalahan
administrasi, tuntutan pidana tidak dapat dilakukan.

Konsep itikad baik dalam konsep hukum administrasi negara menurut Safri
Nugraha dimaknai sebagai wujud asas umum pemerintahan yang baik di mana
pelaksanaan pemerintahan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi
yang mendorong sistem pemerintahan berjalan dengan sistem yang jelas dan terukur.
Dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, pengelolaan dan
pertanggungjawaban wewenang pemerintahan akan sejalan motivasinya yang layak.8
Demikian juga gugatan perdata tidak dapat dilakukan dengan alasan keadaan
kahar tidak dapat menjadi dasar warga masyarakat menuntut pemerintah untuk sama
dengan kondisi normal. Hal ini dikecualikan tindakan tersebut menimbulkan
kerugian dengan cara melawan hukum perdata.

Adanya norma mengesampingkan tuntutan pidana, gugatan perdata dan tata
usaha negara harus dimaknai secara lengkap adanya syarat itikad baik atau asas-asas
umum pemerintahan yang baik dalam hukum administrasi negara. Dengan demikian,
ada kejelasan mengenai konsep hukum perdata, hukum administrasi, dan hukum
pidana dalam konsep pelaksanaan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam
kondisi darurat agar pejabat administrasi pemerintahan tidak ragu, cepat, tepat, dan
akuntabel untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

*Penulis adalah Dosen Bidang Studi Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia.