Djoko Sugiarto Tjandra dan Jaksa Pinangki Sirna Malasari

Dakwaan Pinangki Sumir?

Loading

Independensi.com – MULAI terungkap kasus terpidana hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Sugiatro Tjandra yang menggegerkan sejak Pinangki Sirna Malasari (PSM) jadi tersangka.  Karena sempat menyeret nama Jaksaan Agung dan mantan Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali.

Dengan dakwaan terhadap jaksa PSM tentang keterlibatan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dan mantan Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali maka semua mulai terjawab.

Dakwaan-dakwaan JPU yang dibacakan di PN Tipikor Jakarta Pusat, melegakan, ternyata petinggi penegak hukum bangsa ini hanya dicatut dalam proposal rencana karja (action plan) dan terbukti, menurut dakwaan itu batal.

Babak berikut akan semakin menarik, minggu depan eksepsi (bantahan) terdakwa mungkin lebih seru, apalagi ketika pemeriksaan saksi-saksi kunci, terutama keterangan terdakwa sendiri.

Menurut dakwaan itu, pekerjaan berat PSM memasukkan nama sejumlah pejabat dalam action plan atau proposal dalam mengurus fatwa untuk Djoko Tjandra ke Mahkamah Agung.

Proposal itu ada 10 kegiatan, waktu dan penanggungjawabnya.

Pertama, penandatanganan security deposit atau akta kuasa jual (13-23 Februari 2020) antara Djoko Tjandra dan Andi Irfan Jaya sebagai penanggung jawab. Dimaksudkan sebagai jaminan apabila security deposit yang dijanjikan Joko Soegiarto Tjandra tidak terealisasi.

Kedua, pengiriman surat dari pengacara Anita Kolopaking kepada Jaksa Agung sebagai permohonan fatwa untuk diteruskan ke Ketua MA, (24-25 Februari 2020) penanggung jawab Andi Irfan serta advokat Anita Kolopaking.

Dengan fatwa itu hukuman Djoko Tjandra tidak dieksekusi dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali dan ia dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara.

Ketiga, direncanakan Jaksa Agung mengirimkan surat Pengacara permohonan fatwa kepada Ketua MA (rencananya 26 Februari-1 Maret 2020.

Keempat, pembayaran tahap I atas kekurangan consultant fee sebesar 250.000 dollar AS dari Djoko Tjandra kepada Pinangki dari (1-5 Maret 2020), sebagai pembayaran lanjutan setelah menerima uang muka sebesar 500.000 dollar AS atau 50 persen dari total imbalan yang dijanjikan.

Kelima, pembayaran biaya media konsultan dari Djoko Tjandra kepada Andi Irfan Jaya sebesar 500.000 dollar AS, mengkondisikan media (1-5 Maret 2020).

Keenam, direncanakan Ketua MA menjawab surat Jagung, tentang permohonan fatwa, penanggung jawab Anita Kolopaking dan DK.

Ketujuh, Jagung menerbitkan instruksi merujuk surat Ketua MA agar jajaran Kejagung melaksanakan fatwa MA untuk tidak mengeksekusi Djoko Tjandra (16-26 Maret 2020), tanggung jawab Pinangki serta IF.

Rencana kerja kedelapan, Djoko Tjandra membayarkan security deposit senilai 10 juta dollar AS apabila poin nomor 2, 3, 6, dan 7 berhasil dilaksanakan.

Kesembilan, Djoko Tjandra kembali ke Indonesia tanpa perlu menjalani hukuman di kasus Bank Bali selama dua tahun, rencananya terlaksana pada April-Mei 2020.

Kegiatan terakhir adalah pelunasan biaya kepada Pinangki sebesar 250.000 dollar Amerika Serikat dari total 1 juta dollar AS yang dijanjikan Djoko Tjandra.

Akan tetapi, meski Djoko Tjandra sudah memberikan uang muka melalui perantara kepada Pinangki, tidak ada satu butir pun dalam action plan yang terlaksana.

Menurut dakwaan JPU tersebut, Djoko Tjandra kemudian membatalkan kerja sama mereka pada Desember 2019 dengan cara menulis tangan “NO” pada kolom catatan dari action plan. “Kecuali pada action yang ke-7 dengan tulisan tangan ‘Bayar Nomor 4, 5’, yaitu apabila action ke-4 dan 5 berhasil dilaksanakan,” tuturnya.

“Serta action ke-9 dengan tulisan tangan ‘Bayar 10 M’ yaitu bonus kepada Terdakwa apabila action ke-9 berhasil dilaksanakan,” tutur JPU sebagaimana dimuat Kompas.com.

Keterlibatan Jaksa Agung St Burhanuddin dan mantan Ketua MA Hatta Ali telah dibersihkan oleh dakwaan JPU terhadap Pinangki.

Tidak dapat dibayangkan, apabila seorang Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung dapat dipermainkan Terdakwa dengan kelompoknya untuk berkomplot melanggar hukum.

Masih ibarat bisul baru memerah dan membengkak, pecahnya dan pengobatan serta pemulihannya makan waktu lama, sebab terlibat Advokat, Kepolisian dan Jaksa serta terbawa-bawa nama Ketua MA saat itu.

Menjadi pertanyaan, betapa berpengaruhnya Pinangki Sirna Malasari membuat action plan sehebat itu dengan melibatkan Jaksa Agung dan Ketua MA melakukan tindakan di luar kewenangannya?

Walaupun ada jawaban “NO”, artinya proposal itu tidak terlaksana, menjadi pertanyaan, apakah ada kaitan proposal ini dengan keluar-masuknya Djoko Tjandera ke Indonesia, serta masalah KTP, pasport baru serta bebasnya dari pantauan Imigrasi, dapatnya surat jalan dan bebas covid-19 akan kita dengar dalam perkara lain, apakah ada kaitan dengan action plan ini? Dakwaan Pinangki ini seakan masih menggantung, apalagi ada singkatan nama.

Dalam setiap pertunjukan selalu tampil orang “hebat” seperti Pinangki, Anita Kolopaking serta Andi Irfan Jaya, tetapi di belakang setiap pertunjukan itu selalu ada sutradara, itulah yang menyebabkan dakwaan tersebut seolah sumir, menyasar “pelakon” semata.

Namun kita menunggu babak selanjutnya, dakwaan yang terasa sumir itu akan seru apabila Dr. Pinangki dan Dr. Anita Kolopaking serta politisi Andi Irfan me-“nyanyi merdu”.

Wujudnya tergantung nurani Majelis Hakim, seberapa jauh menghayati tugas, fungsi dan tanggungjawab serta sumpah jabatannya dalam menegakkan hukum dan mewujudkan keadilan. Kita tunggu.(Bch)