Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas

Yaqut Cholil Qoumas dan Prediksi Gus Dur 2005

Loading

JAKARTA (Independensi.com)  – Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas (45 tahun) sebagai motor penggerak pemberangus paham radikalisme dan intolerans pemerintahan Presiden Joko Widodo (20 Oktober 2014 – 20 Oktober 2024).

Itulah sebabnya Yaqut dipilih menjadi Menteri Agama menggantikan Jenderal Purn Fachrul Razi dalam reshuffle kabinet di Jakarta, Selasa, 22 Desember 2020. Yaqut resmi dilantik bersama 6 menteri lainnya di Jakarta, Rabu, 23 Desember 2020.

Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama, mengingatkan kita akan prediksi Presiden KH Abdurachman Wahid (Gus Dur) tahun 2005, bahwa paling lambat 10 tahun lagi, yaitu tahun 2015, anak muda Nahdatul Ulama (NU), akan bangkit.

Kebangkitan anak muda NU melalui Gerakan Pemuda (GP) Ansor sebagai sayap organisasi massa NU, akan mengalahkan kelompok radikal dan intolerans yang selalu menjual agama Islam. Gus Yaqut Cholil Qoumas, Ketua Pengurus Pusat (PP) GP Ansor, 2015 – 2020.

Banyak kalangan menilai, Fachrul Razi diganti karena tidak mampu menterjemahkan keinginan Presiden Joko Widodo di dalam memberangus paham radikalisme dan intolerans yang identik dengan Mohammad Rizieq Shihab (MRS), pentolan Front Pembela Islam (FPI).

Ketika MRS kembali ke Indonesia, Selasa, 10 Nopember 2020, setelah 3,5 tahun melarikan diri ke Arab Saudi sejak 26 April 2017, untuk menghindari proses hukum terhadap 14 laporan masyarakat di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya), Polda Jawa Barat dan Polda Bali (2017 – 2020), Fachrul Razi nyaris tidak kelihatan gebrakannya.

Ketika Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya, Mayor Jenderal TNI Dudung Abdurachman dan Kepala Polisi Metropolitan Jakarta Raya, Inspektur Jenderal Polisi Dr Muhammad Fadil Imran, menggelar konferensi pers di Jakarta, Jumat, 20 Nopember 2020, menegaskan, tidak ada tempat bagi kaum radikal dan intoleran di Jakarta, Fachrul Razi, terkesan menghilang.

Padahal peran Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, dibutuhkan sikap resminya, karena kaum radikalis dan intoleran selalu membawa Agama Islam untuk mencapai tujuannya, mengganti ideologi Pancasila ke dalam paham kekhilafahan.

FPI dan TNI AD

Akan tetapi kalau dilihat dari politisasi agama kaum radikal dan intoleran, maka faktor historislah yang mengharuskan Fachrul Razi diganti sebagai Menteri Agama. Bukan karena tidakmampuan Fachrul Razi melawan radikalisme dan intolerans.

Karena ada hal-hal mendasar yang sudah dilakukan Fachrul Razi sejak tahun 2019. Pertama, mengambil-alih monopoli sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi di bawah Kementerian Agama Republik Indonesia.

Kedua, mengharuskan para penceramah agama, mengantongi sertifikasi kelayakan dari Kementerian Agama Republik Indonesia, agar tempat ibadat, terutama masjid tidak digunakan sebagai ajang hate speech, anti pemerintah dan alat merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah. Ketiga, melakukan penertiban terhadap paham-paham radikal di lingkungan Kementerian Agama Republik Indonesia.

Sayangnya, ketika tiga hal ini dilakukan Fachrul Razi, muncul resistensi meluas dari komplotan MRS dan FPI yang kemudian didukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan oknum elit yang berseberangan dengan Pemerintahan Presiden Joko Widodo, seperti Din Syamsudin (mantan pengurus MUI), Jenderal Purn Gatot Nurmantyo (mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia), Amien Rais (mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia).

Ini membuat langkah Fachrul Razi, nyaris tidak ada yang membela. Pembelaan dari Nahdatul Ulama (NU), sebuah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, dinilai tidak signifikan karena diklaim tidak mewakili umat Islam secara keseluruhan.

Ini terjadi, karena Fachrul Razi berasal dari Keluarga Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI-AD). Pejabat militer TNI-AD pula, sejarahnya, turut mendirikan FPI. Jadi, kalau Fachrul Razi bersikap keras terhadap MRS dan FPI sebagai simbol radikalisme dan intolerans, sama saja dengan mengabaikan faktor sejarah.

FPI didirikan 17 Agustus 1998, tiga bulan setelah Presiden Soeharto, mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. FPI didirikan di Pesantren al-Umm di Ciputat, Tangerang Selatan, dipandu Misbahul Anam, aktivis dari Pelajar Islam Indonesia (PII), dihadiri Jusuf Kalla, para pemuka agama yang berafiliasi dengan haba’ib (ulama dari keturunan nabi Islam Muhammad), terutama MRS.

Tokoh senior TNI AD turut mendirikan FPI, yaitu Jenderal TNI Wiranto (Panglima TNI), Letnan Jenderal Syarwan Hamid (Kepala Staf Sosial Politik TNI), Mayor Jenderal TNI Kivlan Zen (Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), dan Mayor Jenderal TNI Muchdi PR (Komando Komando Pasukan Khusus TNI AD).

Ini membuat Fachrul Razi, menjadi tidak bisa berbuat banyak sebagai motor penggerak utama di dalam memberantas radikalisme dan intolerans yang dilakukan MRS dan FPI.

MRS dan FPI kemudian berhadap-hadapan dengan Presiden Abdurachman Wahid atau Gus Dur (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001). Pihak yang pertama kali menggunakan jasa MRS dan FPI adalah Jusuf Kalla (Wakil Presiden Indonesia, 2004 – 2009, 2014 – 2019) ketika dipecat Gus Dur sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan (29 Oktober 1999 – 24 Agustus 2000).

TNI, terutama TNI AD, kemudian pula berhadap-hadapan dengan Gus Dur, ketika dilakukan perombakan total di lingkungan internal, di antaranya mengeksekusi kebijakan politik menghapus dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), sebagai tindaklanjut pemisahan TNI dan Polri. Muncul kemarahan di kalangan elit internal, ketika Gus Dur, mantan Ketua Pengurus Besar Nahdatul Ulama, menghapus keterlibatan TNI di dalam politik praktis.

Dalam perkembangannya perseteruan semakin tajam. MRS dan FPI sebagai simbol radikalisme dan intolerans, berani secara terang-terangan menyerang NU. MRS dan FPI menuding para kiai NU berasal dari kiai-kiai yang murtad.

GP Ansor

Setelah Gus Dur, tidak lagi menjadi Presiden sejak 23 Juli 2001, perlawanan NU terhadap kelompok radikal dan intolerans melalui GP Ansor semakin terbuka. Gus Dur dan NU, selalu berada di barisan terdepan di dalam melawan kebrutalan MRS dan FPI terhadap kelompok minoritas, baik minoritas di kalangan Islam maupun di luar Islam.

Bahkan Gus Dur tahun 2005, dengan tegas memprediksi, paling lambat 10 tahun lagi anak muda NU, akan bangkit. Anak muda NU akan mampu mengalahkan kekuatan kaum radikal dan intolerans.

Sejak tahun 2015, sesuai ramalan Gus Dur, Gerakan Pemuda (GP) Ansor, sebagai sayap organisasi massa NU, secara terbuka melakukan perlawanan. Itu terjadi ketika Yaqut Cholil Qoumas, dipilih menjadi Ketua Pengurus Pusat GP Ansor, tahun 2015 hingga tahun 2020. Perlawanan secara terbuka dari GP Ansor, justru terjadi setelah Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009.

“Kita harus dukun seribu persen yang dilakukan TNI dan Polri, sudah tepat. Jangan melihatnya hanya semata-mata itu baliho, itu spanduk saja. Tapi harus dilihat lebih dalam apa yang sudah dilakukan MRS dan FPIselama ini,” kata Kiai Nuril Arifin (Gus Nuril), Senin, 23 Nopember 2020.

“Kalau berani mbok ya sekarang muncul. Tampil dong di depan, hadapi langsung TNI dan Polri. Jangan hanya bisanya menghina saat khotbah atau orasi. Tunjukkan kebesaran jiwanya. Katanya seorang pelindung dan pengayom umat. Jangan pendukungnya yang dikorbankan,” tantang Nuril Arifin, salahs atau kiai dari NU.

Sikap keras Gus Nuril, menanggapi hate speech, ancaman terhadap Negara, TNI dan Polri dilakukan MRS dan FPI, 10 – 20 Nopember 2020. Gus Nuril menanggapi protes FPI terhadap penurunan baliho provokatif MRS yang dilakukan TNI dan Polri di lingkungan Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.

Sikap lebih garang muncul dari Gus Yaqut sebagai simbol GP Ansor. Gus Yaqut, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), 2014 – 2024, dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sempat mengklaim tidak kurang dari 5 juta warga GP Ansor siap melibas tuntas aksi radikalisme dan intolerans di Indonesia.

Dalam konteks itulah, Yaqut Cholil Qoumas dipilih menjadi Menteri Agama Republik Indonesia melalui reshuffle kabinet Presiden Joko Widodo, Selasa, 22 Desember 2020. Karena paling tidak, 5 juta warga GP Ansor di seluruh Indonesia, siap pasang badan di dalam upaya Menteri Agama Republik Indonesia, Yaqut Cholill Qoumas, memberantas tuntas radikalisme dan intolerans.

Kebenaran sepihak

Dalam berbagai diskusi, Yaqut Cholil Qoumas, mengatakan, Bangsa Indonesia sekarang, sebagai penduduk Islam terbesar, menghadapi klaim kebenaran (Islam) sepihak.

Sebagian kecil umat Islam -yang biasa disebut “salafi” atau “wahabi” yang sudah bermetamorfosa dalam Partai Keadilan Sejahtara (PKS), menganggap gagasan dan praktik keberislaman merekalah yang benar, sementara di luar kelompok mereka adalah salah, sesat, kafir, musyrik, dan lain-lain.

Klaim kebenaran tersebut mulai marak di tengah-tengah muslim perkotaan. Salah satu cara yang ditempuh kelompok ini adalah mempromosikan konsep hijrah.

Narasinya kira-kira berbunyi seperti ini: sebelum ‘hijrah’ mereka adalah orang-orang yang salah dalam berislam, namun setelah ‘hijrah’, orang Islam selain dirinya adalah salah. Mereka sangat mudah menyalahkan dan mengkafirkan orang lain yang berbeda pandangan.

Bibit intoleransi di Indonesia salah satunya lahir dari ajaran salafi/wahabi, yang bertentangan dengan sikap bangsa Indonesia yang serba saling menolong, gotong royong, dan teposeliro terhadap orang lain.

Menurut Yaqut Cholil Qoumas, kebencian dan permusuhan terhadap segala hal yang berada di luar diri dan kelompok Islam transnasional ini semakin besar ketika mendapatkan landasan teologis dari nash-nash ajaran Islam yang mereka pahami secara serampangan.

Dari situ muncullah cita-cita politik sektariat dengan mengusung identitas Islam di mana setiap sistem politik yang tidak sesuai dengan pemahaman mereka disebut thoghut, kafir dan anti Islam.

Padahal, persoalan bentuk negara dan kepemimpinan dalam Islam, misalnya, sudah lama selesai dibahas oleh para ulama ahlussunnah waljamaah yang otoritatif.

Masalah ketiga adalah kalangan mayoritas yang cenderung diam (silent majority). Meski kelompok yang menginginkan Pancasila sebagai ideologi negara ditanggalkan jumlahnya tak signifikan, namun karena silent majority yang hanya memilih ‘diam’ dan tidak bergerak ‘melawan’ dan bersikap tak acuh, pengaruh propaganda khilafah pun meluas.

Ideologi politik Islam transnasional ini belakangan menjadi semakin populer. Ada yang dibawa oleh tooh-tokoh yang memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok politik Islam di luar negeri, ada pula yang masuk ke dalam keyakinan seseorang melalui apa yang disebut oleh Caroline Joan Picart sebagai self radikalization (radikalisasi diri).

Proses yang terakhir ini terjadi ketika seseorang mengonsumsi konten-konten yang mengandung ajaran radikal dengan kemauan sendiri tanpa ada ajakan dari orang yang dikenalnya.

Indonesia memang semakin terancam oleh sektarianisme yang disokong tafsir radikal atas nama agama, baik yang dinyatakan lewat sikap politik, kegiatan keagamaan, tindakan terorisme, ujaran kebencian, perilaku intoleran terhadap sesama warganegara, hingga intimidasi terhadap kelompok lain yang berbeda pendapat atau pilihan politik.

Dengan keyakinan dan pemahaman radikalnya, para pengusung Islam Politik ingin memaksakan pandangan dan keyakinannya kepada semua muslim di Indonesia. Jika tidak mungkin dilakukan, maka mereka merasa berkewajiban untuk mengambil alih kekuasaan dengan cara apapun, sehingga bisa menerapkan sistem pemerintahan yang mereka anggap paling benar menurut Islam.

Masih menurut klaim kelompok ini, umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia berhak menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia.

Namun, mayoritas umat Islam di Indonesia berpaham moderat dan tidak pernah setuju dengan cita-cita politik yang dijajakan oleh ideologi Islam politik.

Karena tidak sejalan dengan cita-cita mereka, tak heran jika kelompok Islam moderat menjadi sasaran ujaran kebencian dan berbagai macam tuduhan. Bentrokan-bentrokan kecil tidak jarang terjadi di antara kedua kubu.

Sebagian pengamat dan peneliti telah menunjukkan keberadaan pihak-pihak tertentu yang sengaja memancing kerusuhan untuk menciptakan ketidakstabilan politik, sehingga mereka bisa melancarkan agenda politiknya. Beberapa aksi politik kelompok-kelompok sektarian ini kerap sengaja digiring untuk menciptakan kondisi politik yang seolah-olah kacau dan tak terkendali dengan tujuanmelemahkan pemerintahan yang sah.

Sementara itu, masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam merasa terancam dengan sikap dan tindakan kelompok-kelompok intoleran yang mengusung ideologi Islam Politik ini.

Sebutan “kafir” atau “non-pribumi” yang ditujukan kepada kelompok minoritas agama dan etnis, serta kekerasan verbal maupun fisik bermotif kebencian telah menghantui masyarakat non-muslim Indonesia. Tak sekali dua kali mereka jadi korban.

Dari kasus-kasus yang ada tentu kita bisa ingat: ketika kerusuhan sudah terjadi dan meluas skalanya, baik muslim maupun non-muslim sama-sama bisa menjadi korban.

Dalam pengamatan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), kelompok-kelompok pengusung politik identitas yang membawa nama Islam ini sengaja menyebarkan konten-konten tertentu dengan bertujuan untuk menanamkan pemahaman radikal.

“Mereka bahkan tak segan menggunakan kebohongan dalam narasi-narasinya. Ini harus segera dihentikan, demi tetap tegaknya ideologi Pancasila, berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika,” kata Yaqut.

MRS menyerahkan diri di Polda Metro Jaya, Sabtu, 13 Desember 2020, karena kerumuman massa di tengah-tengah upaya Pemerintah Indonesia memberantas penularan Corona Virus Disease-19 (Covid-19), hate speech, kebencian/hasutan anti Pemerintahan Presiden Joko Widodo, TNI dan Polri, dijadikan momentum pemberantasan paham radikalisme dan intolerans.

Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, sebagai payung hukum pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena ingin mengganti ideologi Pancasila dengan khilafah, harus ditindaklanjuti dengan menempatkan Kementerian Agama Republik Indonesia sebagai barisan terdepan di dalam memberantas aksi radikalisme dan intolerans. (Aju)