Jaksa Agung ST Burhanuddin dan jajarannya saat menerima audiensi dan silahturahmi Ketua Badan Akuntabilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah (BAP DPD) RI Bambang H Sutrisno beserta jajarannya secara virtual, Senin (25/1).

Jaksa Agung: Kejaksaan Letakan Hukum Pidana Sebagai Ultimum Remedium

Loading

JAKARTA (Independensi.com)
Jaksa Agung ST Burhanuddin menegaskan kebijakan Kejaksaan RI tentang arah pendekatan dalam pemberantasan korupsi adalah mengoptimalkan upaya persuasif dan preventif.

“Dengan meletakan hukum pidana sebagai ultimum remedium atau sarana terakhir,” kata Jaksa Agung saat menerima audiensi dan silahturahmi Ketua Badan Akuntabilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah (BAP DPD) RI Bambang H Sutrisno beserta jajarannya secara virtual, Senin (25/1).

Oleh karena itu, tutur Jaksa Agung, terhadap adanya laporan pengaduan masyarakat, pihaknya selaku aparat penegak hukum selalu berkoordinasi dengan aparatur pengawasan internal pemerintah (APIP) dan pengawas eksternal.

Dia menyebutkan langkah tersebut sejalan pasal 385 ayat (3) Undang-U Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015.

Dikatakannya juga berkenaan implementasi Undang-Undang tersebut telah dilaksanakan perjanjian kerjasama antara Kemendagri, Kejaksaan dan Kepolisian tentang Koordinasi APIP Nomor : 119-49 Tahun 2018, Nomor B-369/F/Fjp/02/2018, Nomor: B-9/II/2018.

“Kejaksan melalui JAM Pidsus juga telah menerbitkan petunjuk teknis penanganan korupsi di tahap penyelidikan sebagaimana Surat Nomor. B765/F/Fd.1/04/2018 tanggal 20 April 2018,” ungkap Jaksa Agung.

Dikatakannya Kejagung sendiri sepanjang Tahun 2020, telah menerima laporan pengaduan masyarakat sebanyak 523 laporan yang diteruskan ke Kejati seluruh Indonesia.

“Sedangkan 28 laporan ditangani Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung,” ucapnya seraya mengakui adanya sejumlah kendala dihadapi dalam mengimplementasikan UU tentang Pemda tersebut.

Antara lain, tutur dia, minimnya koordinasi APIP dan APH dalam pertukaran informasi dan data. “Tidak pernah secara bersama-sama dalam tahap penyelidikan membahas laporan pengaduan. Termasuk pelanggaran adminstrasi atau pidana.”

Selain itu, kata Jaksa Agung, masih ditemukan adanya ego sektoral antara APIP dan APH yang dilandasi pemahaman atau persepsi individual atas implementasi ketentuan perundang-undangan.

“Juga tidak adanya batasan waktu koordinasi terkait verifikasi dan pengumpulan informasi oleh APIP kepada APH,” ucapnya didampingi Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi, para Jaksa Agung Muda dan Kepala Badan Diklat Kejaksaan RI.

Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Ketua Badan Akuntabilitas Publik Dewan Perwakilan Daerah (BAP DPD) Bambang H Sutrisno yang berada dilayar monitor saat audiensi dan silahturahmi bersama jajaran masing-masing secara virtual.(ist)

Jaksa Agung juga mengungkapkan belum adanya pertemuan berkala antara APIP dan APH dan tidak adanya Standar Operasional Prosedur atau SOP terkait penerimaan laporan pengaduan dari masyarakat.

Namun dia berharap dengan adanya langkah-langkah yang telah dilakukan, sinergi, koordinasi dan kolaborasi antara APH, APIP dan Pengawas Eksternal dapat menciptakan preventif action.

“Sejalan dengan paradigma pemerintah dalam mengukur kinerja pemberantasan korupsi,” ucap Jaksa Agung yang menyadari keberhasilan APH tidak hanya diukur dari berapa kasus diselesaikan atau berapa orang yang dipenjarakan.

“Tapi juga diukur dengan berapa kerugian negara yang bisa diselamatkan,” katanya seraya menyebutkan untuk itu perlu upaya menjalin komunikasi guna membangun persepsi yang sama antara APH dan APIP.

Selain itu, ucap Jaksa Agung, harus mengesampingkan ego sektoral di antara kedua belah pihak dan mengupayakan sistem koordinasi yang transparan dan akuntabel.(muj)