Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.(ist)

Kembali Ajukan Praperadilan, MAKI Soal Mangkraknya Kasus Lahan Cengkareng

Loading

JAKARTA (Independensi.com)
Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke empat kalinya mempraperadilankan Polda Metro Jaya terkait mangkraknya penanganan kasus dugaan korupsi pengadaan lahan  di Cengkareng, Jakarta Barat untuk dibangun rumah susun oleh Pemprov DKI Jakarta.

Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengatakan tujuan MAKI mengajukan praperadilan agar hakim memutuskan Polda Metro Jaya yang menangani kasus lahan Cengkareng telah menghentikan perkara secara diam-diam dengan tidak menetapkan tersangkanya.

“Serta memerintahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih penanganan perkara tersebut,” kata Boyamin seusai sidang perdana praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (22/2).

Oleh karena itu, tegasnya, selama kasus tersebut masih mangkrak MAKI akan terus mempraperadilankan Polda Metro Jaya dan juga Kejati DKI Jakarta, Kompolnas dan KPK. “Karena gugatan serupa sebelumnya ditolak hakim”

Dia menyebutkan mangkraknya penanganan kasus lahan Cengkareng karena diduga adanya keterlibatan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok kala itu.

“Karena Ahok memberikan disposisi penentuan lokasi dan persetujuan pencairan anggaran. Padahal seharusnya sebagai pimpinan daerah berhati-hati mengeluarkan persetujuan pencairan uang negara dalam jumlah yang sangat besar,” ujarnya.

Dikatakannya jika Ahok tidak menerbitkan disposisi, maka dana APBD itu tidak akan dicairkan. “MAKI pun meyakini jika gubernurnya bukan zaman Ahok maka perkara ini sudah selesai disidangkan,” ucap Boyamin.

Dia membandingkan kasus dugaan korupsi pengadaaan lahan untuk pembangunan jalan lingkar luar atau Gorontalo Outer Ring Road (GORR) yang disidik Kejati Gorontalo dalam waktu dua tahun sudah menetapkan empat pejabat setempat sebagai tersangka dan kini sudah disidangkan.

Dikatakannya dalam pengadaan lahan untuk pembangunan GORR sepanjang 22 kilometer tersebut di antaranya ada tanah negara. “Sehingga seharusnya tidak dilakukan pembayaran atas tanah negara tersebut.”

Seperti diketahui Dinas Perumahan dan Gedung Perkantoran Provinsi DKI Jakarta sekitar tahun 2015 membeli lahan seluas 46 hektare di Cengkareng, Jakarta Barat untuk dibangun rusun dengan harga Rp668 miliar.

Namun berdasarkan audit BPK dalam LHP keuangan Pemprov DKI tahun 2015 diketahui lahan yang dibeli tercatat sebagai aset milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

“Atau Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan dana untuk membeli tanahnya sendiri dari dana APBD, namun uang tersebut diberikan kepada pihak lain,” kata Boyamin.

Disebutkan Boyamin kasusnya semula ditangani Bareskrim Polri dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Agung pada 29 Juni 2016 tanpa disertai nama tersangkanya.

Belakangan, kata dia, kasus lahan Cengkareng dilimpah kepada Polda Metro Jaya. “Tapi sampai praperadilan ke empat, tidak terdapat tersangka. Baik dari penyidikan yang dilakukan Bareskrim Polri maupun penyidikan yang dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya.”

Sementara itu, tutur Boyamin, KPK tidak kunjung mengambil alih kasus tersebut sehingga ikut digugat. “Karena dengan berlarut-larutnya penanganan kasus lahan Cengkareng sudah seharusnya diambil alih oleh KPK,” ucapnya.(muj).