JAKARTA (Independensi.com) – Kedelai adalah salah satu sumber pangan selain padi dan jagung yang digemari hampir semua lapisan usia. Komoditas pangan penghasil protein nabati ini setiap tahun kebutuhannya terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan kebutuhan bahan baku industri olahan seperti tahu, tempe, kecap, dan susu.
Mencermati hal tersebut, di tahun 2022 Kementerian Pertanian melakukan upaya menjamin ketersediaan kedelai utamanya untuk mencukupi kebutuhan konsumsi rumah tangga melalui fasilitasi pengembangan 52 ribu hektar kedelai yang tersebar di 16 daerah. Satu diantaranya adalah di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Grobogan, Sunanto, pihaknya menganggap kedelai sebagai kearifan lokal karena hasil seleksi terus menerus sehingga menjadikan Grobogan sebagai salah satu sentra kedelai nasional.
“Dari hasil seleksi terus menerus itu menghasilkan varietas Grobogan. Jadi, varietas Grobogan itu bukan dari hasil pemuliaan tapi dari seleksi pemurnian varietas. Dan ini berlangsung lama sehingga menghasilkan varietas unggul nasional,” kata Sunanto saat ditemuai di kantornya, Kamis (24/2).
Menurutnya kedelai varietas Grobogan memiliki beberapa keunggulan, yaitu bukan termasuk kedelai GMO, non transgenik. Kemudian potensi produksi tinggi, mencapai 3,2 ton per hektar. Bahkan menurut pengakuan Sunanto, di Grobogan pernah menghasilkan kedelai per hektar 3 ton.
“Keunggulan lainnya, kadar protein kedelai Grobogan tinggi, mencapai 43 persen. Selain itu, umur penanaman pendek, hanya 85 hari. Dan saat panen, daunnya sudah rontok sehingga memudahkan pemanenan sehingga polong kering,” ungkapnya.
Selama ini, sebagian besar hasil panen kedelai Grobogan digunakan sebagai benih, sisanya diserap oleh DIY dan Jawa Barat (Sumedang) yang selama ini menggunakan kedelai Grobogan sebagai sumber olahan pangan.
Keuntungan menanam kedelai menurut Sunanto tidak lebih rendah dibandingkan menanam padi atau jagung. Hasil analisis usaha yang dilakukan Dinas Pertanian Grobogan menunjukkan bahwa jika dihitung harian, pendapatan petani kedelai adalah Rp 152 ribu per hari dengan input usaha tani per hektar hanya Rp 5 juta sedangkan padi per hari kurang lebih Rp 143.500 dan jagung Rp 127 ribu per hari dengan input usaha tani masing-masing dirata-ratakan sebesar Rp 15 juta per hektar.
“Kita ketahui, jagung itu butuh 110 hari, kalau padi sekitar 115 hari dan kedelai hanya 85 hari. Sehingga kalau misalnya pendapatan dibagi waktu tanam, maka sebenarnya kedelai paling menguntungkan,” imbuhnya.
Namun Sunanto menegaskan bahwa kunci agar petani kembali bergairah menanam kedelai dan mendapatkan keuntungan adalah adanya jaminan kepastian harga.
Terpisah, Direktur Aneka Kacang dan Umbi Yuris Tiyanto menyampaikan 16 daerah pengembangan kedelai itu meliputi Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Timur, Riau, Jambi, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, Kalsel, Sulteng, Sultera, dan Sulbar.
Oleh karena itu, pihaknya mengajak peran off taker sebagai avalis pembiayaan. “Dengan menggandeng off taker, maka dimungkinkan untuk menjadi penjamin untuk pembiayaan KUR dan sekaligus pemasaran hasil petani kedelai,” ungkapnya.
“Kami terus mendorong petani untuk kembali menanam kedelai di sentra produksi kedelai yang sudah ada. Kami berharap produktivitas bisa meningkat,” tutupnya.(wst)