Ilustrasi. Mau Dibawa Kemana IDI? (istimewa)

Mau Dibawa Kemana IDI?

Loading

Oleh: Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD *

JAKARTA (Independensi.com) – ADAKAH organisasi yang sempurna? Tidak. Adakah organisasi yang tidak berubah, tidak berusaha memperbaiki diri dan menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi ditempatnya berada? Juga tidak ada. Organisasi sebesar IDI pun harus dapat menilai diri, siap berubah, berkembang, dan memperbaiki diri menyesuaikan dengan kebutuhan negara, bangsa, dan para anggotanya serta masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya.

Lalu apakah yang dapat dijadikan pedoman untuk perubahan itu? Apakah IDI mengenali masalah yang sedang dihadapi? Seharusnya ada upaya audit internal menilai kemajuan organisasi, mengenali masalah yang ada dalam mencapai visi dan misinya. Jangan-jangan IDI sedang dalam masa krisis untuk mengenali dirinya dan kehilangan kiblat arah tujuan menuju visi dan misinya.

Pernahkah IDI menilai diri melakukan audit internal menjalankan siklus jaga mutu? Benarkah IDI mengenali permasalahan yang dihadapi, menerapkan upaya perbaikan, mengevaluasi hasil perbaikannya, dan memonitor tindak lanjutnya? Paling kurang, pedoman yang dapat dipakai adalah hasil audit internal itu, antara lain kritik yang dilakukan anggota pengurus dan audit eksternal dari anggota IDI di luar kepengurusan atau dari masyarakat umum yang peduli.

Coba tengok pandangan dari seorang anggota Dewan Pakar PB-IDI dalam presentasinya pada Webinar pra-Muktamar Banda Aceh yang diselenggarakan bulan Januari lalu. Beliau secara terbuka menyampaikan di hadapan forum PB-IDI, IDI Wilayah, IDI Cabang dan Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer/Spesialis/Seminat bahwa saat ini IDI dalam keadaan kritis dan yang dibutuhkan IDI saat ini adalah pemimpin yang mewakafkan dirinya untuk IDI, tidak memiliki kepentingan lain apapun (maksudnya tentu bukan mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok).

Tidak kurang juga Prof. F.A. Moeloek, mantan Menteri Kesehatan dan Ketua Umum PB-IDI periode 2003-2006, menyampaikan keprihatinannya melalui e-mail yang ditujukan pada Dr. Judilherry Justam beberapa waktu yang lalu. “Saya malu……….tata organisasi, organisasi profesi dibuat seperti partai politik……inilah kesalahan konsep fikir mereka yang duduk di PB sekarang yang keliru …..silahkan sampaikan statement saya ini kepada yang lain.”

Pendek kata semua kritik yang membangun harus kita sikapi secara bijaksana jauh dari sikap reaktif untuk kebaikan bersama. Naskah komikal ini berupa kritik yang ingin membangun atas dasar kepedulian yang perlu disikapisecara positf. Komik parodi ini merupakan refleksi wajah kita semua anggota IDI agar dapat melihat semua yang telah terjadi secara jelas mana yang benar dan mana yang keliru. Sajiannya yang komikal hanya untuk mempermudah pemahaman bagi pembaca yang tidak banyak waktu untuk memahami narasi rinci, panjang dan lebar.

Sekalipun semua data disajikan secara cermat dan faktual jauh dari pelintiran apalagi fitnah, sudah barang tentu pasti ada kekurangannya. Untuk itu para penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya. Jika ada individu tergambarkan dalam komik ini, sama sekali bukan untuk mendikreditkan yang bersangkutan, akan tetapi untuk mempermudah memahami masalah yang telah terjadi. Sekali lagi perlu ditekankan di sini bahwa parodi ini bukan bertujuan untuk mepermalukan siapa pun tetapi untuk menyadarkan kita semua agar dapat segera mengembalikan keluhuran IDI kita tercinta.

Sudah waktunya semua peristiwa yang menyangkut maslahat IDI dan jajarannya dibuka disajikan secara transparan agar setiap anggota IDI dapat memetik pelajaran darisemua yang telah terjadi. Ada pelajaran baik yang patut dikembangkan dan sebaliknya ada kenyataan pahit yang harus kita sikapi bersama secara positif.

Tujuan utama naskah komikal ini semata-mata untuk meningkatkan marwah IDI. Kita semua tentu ingin agar IDI kembali ke khitahnya sebagai organisasi terpandang yang penuh semangat membangun negara dan mensejahterakan anggotanya serta melayani masyarakat sebaik mungkin. Menarik kalau disimak beberapa endorsemen dari dokter-dokter kita yang pernah bekerja atau masih bekerja di luar negeri.

Jelas terlihat bahwa ada anomali pengelolaan organisasi IDI. Tidak ada negara lain yang mewajibkan dokter menjadi anggota organisasi setempat. Tidak ada juga yang mewajibkan dokter perlu meminta rekomendasi dari organisasi profesi untuk memperoleh izin praktek. Tidak ada juga organisasi profesi dokter punya wakil di Medical Council atapun Medical Board.

Tidak ada juga negara lain yang menempatkan kolegium (college) atau Perhimpunan Dokter Spesialis sebagai sub-ordinate dari organisasi profesi. Tidak ada juga organisasi profesi yang menyelenggarakan CPD/CME tanpa ada akreditasi dan atau pengawasan dari Medical Council atau Medical Board. Sampai kapan kondisi profesi kedokteran di negeri kita dibiarkan seperti itu?

Kemudian bagi mereka yang sering mengeluhkan bahwa pendidikan untuk menjadi SpKKLP terlalu lama sampai 8 atau 9 tahun, bisa membaca endorsemen dari dokter-dokter dari berbagai negara bahwa pendidikan untuk menjadi family physician/general practitioner huisart membutuhkan waktu antara 9-10 tahun, bahkan kalau di Amerika Serikat untuk menjadi Family Physician bisa makan waktu 11-12 tahun.

Tentu saja naskah ini berupa audit eksternal sebagai salah satu cara atau pemicu dan pemacu untuk mencapai tujuan luhur IDI itu dengan mengembalikan IDI ke khitahnya, berpartisipasi secara proporsional untuk meningkatkan kualitas pendidikan dokter, dan menjaga serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.

Naskah ini bukan ingin menuduh bahwa IDI telah terpuruk atau salah arah melainkan mencegah jangan sampai IDI menjauh dari visi dan misi luhurnya. Semoga dapat menjadi kenyataan sebagaimana yang diharapkan anggota Dewan Pakar PBIDI di atas bahwa IDI memerlukan transformasi yang mendasar untuk lahirnya IDI baru (IDI REBORN). (frs)

*Penulis Pengantar Buku Komika berjudul Mau Dibawa Kemana IDI? 

** Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME dan Dr. Pandu Riono, MPH, PhD adalah pemerhati kesehatan nasional