JAKARTA (IndependensI.com) – Kasus remaja mabuk rebusan pembalut wanita bikin geger. Menyoroti hal ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut kasus semacam ini bukan hal baru.
“Sesuai data yang masuk di KPAI, kasus ini bukanlah kasus baru,” kata komisioner KPAI bidang kesehatan dan napza, Sitti Hikmawatty, dalam keterangannya, Kamis (8/11/2018).
Sitti mengungkap perilaku remaja yang mencari alternatif zat untuk nge-fly, tenang, ataupun gembira berawal dari coba-coba. Dari satu bahan, para remaja ini bisa meramu bahan lain demi bisa nge-fly.
“Jadi kalau kita mengenal beberapa golongan psikotropika di luar narkoba, maka beberapa zat ‘temuan’ para remaja ini termasuk kelompok eksperimen psikotropika. Jumlahnya belum bisa diprediksikan karena ini berkaitan erat dengan jumlah anak serta kreativitas mereka ‘meramu’ bahan-bahan yang mudah di dapat di pasaran. Minum air rebusan pembalut juga didapat dari coba-coba, selain fenomena lain, seperti ngelemdan lain-lain,” paparnya.
Ada faktor lain pemicu para remaja mencoba-coba hal seperti ini. Sitti menuturkan dorongan ekonomi hingga hasil pencarian internet membuat remaja ini makin ‘kreatif’ meramu racikan baru. Sayangnya, kreativitas itu berujung bahaya.
“Anak-anak ini banyak yang cerdas, karena dengan berbekal internet mereka bisa membuat beberapa varian baru, dari racikan coba-coba. Dan di sinilah tingkat resiko/bahaya menjadi meningkat karena mereka hanya concern pada satu zat tertentu dalam sebuah bahan, namun zat lainnya cenderung diabaikan sehingga reaksi sampingan yang terjadi bisa berakibat fatal,” ungkap Sitti.
“Karena tidak mampu membeli karena tidak punya biaya, sementara sudah kecanduan, maka mereka berupaya mencari tahu dengan bantuan informasi internet tadi, meracik sendiri ramuan-ramuan yang diharapkan akan memberikan hasil seperti kebutuhan mereka,” sambungnya.
KPAI berkoordinasi dengan banyak pihak untuk menangani fenomena ini. Meski demikian, Sitti mengingatkan keluarga memegang peran penting untuk mencegah fenomena heboh semacam ‘mabuk rebusan pembalut’ ini.
“Deteksi dini atas perubahan perilaku anak-anak di sekitar kita, jika tidak ada alasan yang wajar, perlu menjadi bahan bagi para orang tua agar menjadi lebih waspada,” tutup Sitti.