Rombongan BNPT yang dipimpin Suhardi Alius bertemu dengan Perutusan Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (3/12/2019).

BNPT Masih Evaluasi Pemulangan FTF

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus mendalami kebijakan yang dilakukan dunia internasional terhadap foreign terrorist fighters (FTF) returnees perempuan dan anak-anak. Ada alasan yang dilematis seperti kebijakan Uni Eropa dan Australia yang hanya menerima returnees anak-anak. Di Jerman, setelah returnees anak-anak dipulangkan, pengadilan memutuskan untuk menjemput ibunya.

Hal tersebut dikatakan Kepala BNPT Suhardi Alius saat melakukan pertemuan dengan Andreano Erwin selaku Deputi Wakil Tetap I Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk PBB di Jenewa, Swiss, Selasa (3/12/2019).

“Itulah sebabnya pihak Jerman saat ini juga tengah melaksanakan pertemuan dengan para pakar terorisme dari Indonesia di Wiesbaden guna mengetahui lebih dekat dan mempelajari bagaimana cara Indonesia menjalankan empat tahapan deradikalisasi dimulai dari indentifikasi, rehabilitasi, edukasi sampai reintegrasi sosial,“ kata Suhardi.

Pertemuan ini bertujuan untuk mengetahui dan membahas tentang kebijakan dan program terkini yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia dalam penanggulangan terorisme, serta menindaklanjuti komitmen tinggi Indonesia mengenai perlindungan HAM dalam penanggulangan terorisme, termasuk melalui proses peradilan dan deradikalisasi.

Beberapa waktu lalu, Kepala BNPT juga bertemu dengan Chief of Mission International Organization for Migration (IOM) Indonesia, Louis Paul Hoffman, di Jakarta untuk mengetahui lebih jauh tentang proses pemulangan returnees antara lain asal Afrika yang didanai IOM.

Mantan Kabareskrim Polri ini juga mengatakan bahwa, BNPT sendiri sangat serius untuk ingin bekerjasama dengan IOM terutama dalam menangani returnees perempuan dan anak-anak. Karena IOM juga memiliki pemahaman yang sama dengan BNPT mengenai motivasi perempuan dan anak-anak yang berangkat ke medan konflik seperti Suriah dan Irak.

“Alasan lain karena di kita (Indonesia) punyai populasi Muslim terbesar di dunia, namun secara kuantitatif jumlah WNI yang berangkat ke medan konflik sekitar 500 orang termasuk perempuan dan anak-anak. Itu termasuk kecil dibandingkan negara lain. Artinya Indonesia mampu mendeteksi, mencegah dan mereduksi jumlah FTF yang akan berangkat ke medan konflik,” kata mantan Sekretaris Utama Lemhannas RI ini yang dalam kesempatan tersebut juga didampingi didampingi Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Hasto Atmojo Suroyo.

Alumni Akpol tahun 1985 ini juga mengatakan bahwa strategi penanggulangan terorisme melalui pendekatan lunak yang dilakukan Indonesia sudah diperkenalkannya aat tampil sebagai pembicara di berbagai konferensi internasional yang diselenggarakan oleh PBB, Uni Eropa, ASEAN serta berbagai pertemuan regional dan internasional lainnya.

“Bahkan bapak Presiden bersama pak Menko Polhukam dan bu Menlu juga menyampaikan hal yang sama saat menghadiri berbagai konferensi internasional mengenai isu-isu terorisme. Oleh karena itu, kami berharap peran dan dukungan yang besar dari PTRI untuk mensosialisasikan strategi penanggulangan terorisme ini kepada seluruh counterpart PTRI di Jenewa. Karena keberhasilan Indonesia dalam menangani terorisme terbukti menjadi salah satu alasan Indonesia diterima menjadi anggota Dewan HAM PBB,“ ujar mantan Wakapolda Metro Jaya ini.

Sementara itu Andreano Erwin mengatakan bahwa pihaknya saat ini sedang berkoordinasi dengan pejabat IOM, khususnya yang menangani Partnership Regional East Afrika Counter Terrorism (PREACT) untuk dapat mengatur pertemuan dengan delegasi BNPT. PREACT sendiri adalah program berbasis komunitas untuk mencegah ekstremisme kekerasan yang didanai US-AID, termasuk program demobilization, reintegration, and disarmament yang berkaitan dengan FTF.

“IOM saat ini sedang menjalankan program rehabilitatif untuk 1.000 orang returnees asal Kosovo yang merupakan keluarga yang tidak terjerat kasus kriminal. Kosovo adalah negara bekas Yugoslavia, tetapi negara ini belum diakui oleh pemerintah kita (Indonesia). Sementara prinsip kerja IOM sendiri akan selalu manghormati kedaulatan suatu negara,“ ujar Andreano Erwin menjelaskan.

Bahkan pihaknya secara intens terus berkomunikasi dengan seorang pejabat IOM pada working level bernama Jason Aplon yang nantinya dapat bertemu dengan pejabat terkait di BNPT. “Paling tidak untuk membangun network agar dapat mengetahui lebih rinci mengenai program PREACT. Dan kami juga berjanji akan bertemu langsung dengan pihak IOM guna menindaklanjuti hasil pertemuan ini,“ ujarnya mengakhiri.

Dalam pertemuan di Jenewa, Kepala BNPT juga didampingi Deputi II Bidang Penindakan dan Pembinaan Kemampuan, Budiono Sandi; Direktur Kerjasama Bilateral Kris Erlangga; dan Kasi Kerjasama Eropa BNPT Zaenal Ahzab. Sementara itu Andreano Erwin tampak didampingi Atase Pertahanan KBRI Paris, M Yusrif Guntur, dan beberapa staf PTRI yang menangani urusan Politik, HAM, dan IOM.