JAKARTA (Independensi.com) – Pengamat politik dan sosial di Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia, Tobias Ranggie, mengatakan, kebangkitan non-Melayu sebagai ancaman serius keutuhan Federasi Malaysia yang dibentuk 31 Agustus 1957.
“Penguasaan perekonomian sektor riil di Malaysia, sekarang, di tangan etnis minoritas, yaitu Tonghoa dan India. Di Sabah dan Sarawak yang dipaksa bergabung dengan Federasi Malaysia, 31 Agustus 1963, tuntutan persamaan hak kalangan penduduk asli, yaitu Dayak, sudah sangat mengancam keutuhan Malaysa,” ujar Tobias Ranggie, Kamis, 19 Desember 2019.
Menurut Tobias, isu tuntutan referendum di Sabah dan Sarawak, sebagai contoh betapa rawannya masa depan Federasi Malaysia.
Dikatakan, Federasi Malaysia harus mengkaji kembali kebijakan hak istimewa Bumiputera, yaitu etnis Melayu yang selalu dikaitkan dengan eksitensi Agama Islam sebagai agama resmi di Federasi Malaysia.
Malaysia, ujar Tobias, harus dibangun sesuai jatidirinya, bukan mengharuskan masyarakatnya familiar dengan budaya luar.
“Di Sabah dan Sarawak, tuntutan kalangan Dayak untuk kembali ke jatidiri semakin kencang dan keras sejak tahun 2005, sebagaimana Deklarasi Hak-hak Penduduk Pribumi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007,” ungkap Tobias.
Apalagi pengingkaran Kuala Lumpur terhadap bagi hasil esploitasi sumberdaya alam sejak tahun 1961 di Sabah dan Sarawak, jadi alasan untuk meminta bantuan PBB memfasilitasi referendum di Pulau Borneo, itu, untuk menjadi dua negara berdiri sendiri. (Aju)