Pelukis mural terkenal di dunia itu datang ke Indonesia atas rekomendasi anggota Garajas yang menjadi kurator di Museum Senirupa New York. "Kalau yang demo ke KPK seniman, kita ikut adem dan ayem," kata salah seorang Polisi yang foto bersama Soni BAD Jesse Rodrigues.

43 Tahun Sanggar Garajas dan Team7

Loading

JAKARTA (IndepedensI.com) – Sanggar Garajas adalah salah satu sanggar lukis yang ada di Jakarta yang masih tetap eksis sampai sekarang. Dan, usia 43 tahun, adalah usia yang lumayan panjang – untuk sebuah sanggar yang dikelola secara swasembada – mengingat saat berdiri pada 4 Juli 1974 jumlah anggotanya masih bisa dihitung dengan jari.

Diakui atau tidak, kehadiran Sanggar Garajas, yang kelahirannya “dibidani” oleh Dimas Praz – seorang pelukis muda yang pada saat itu bekerja di majalah Femina – dan beberapa orang temannya, memang tak ubahnya seperti “magnet” yang berhasil menarik anak-anak remaja di Jakarta pada umumnya dan khususnya di Jakarta Selatan untuk bergabung.

Sesuai namanya, Garajas, yang artinya Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, sanggar ini memang beralamat di Jalan Bulungan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Youth Center tersebut dibangun pada era DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1973. Tempat kegiatan para remaja ini dibangun pada saat di DKI Jakarta sedang marak-maraknya geng. Selain ada di Jakarta Selatan, youth center juga ada di Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat.

Sebelum demo melukis mural dimulai, seluruh hadirin menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Mungkin karena lokasi Gelanggang Remaja Jakarta Selatan berada di kota “satelit” Kebayoran Baru yang berdekatan dengan sekolah-sekolah lanjutan tingkat atas seperti SMA 6, SMA IX dan SMA XI (sebelum dilebur menjadi SMA 70 seperti sekarang), sehingga ketika Ratu Elizabeth II berkunjung ke Indonesia dan salah satu agendanya adalah melihat langsung kegiatan remaja di DKI Jakarta, pewaris tahta kerajaan Inggris tersebut diantar langsung oleh Bang Ali ke Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.

Berbagai kegiatan olahrada dan seni yang dipertunjukkan oleh para remaja dari seluruh DKI Jakarta, digelar di ruangan dalam gedung dan halaman Gelanggang Remaja Jakarta Selatan. Ratu Elizabeth II sangat terkesan menyaksikan kegiatan yang dilakukan oleh para remaja di Ibukota tersebut. Bahkan di salah satu sudut halaman GRJS, Sang Ratu lumayan lama menyaksikan “performance art” yang diperagakan secara spontanitas oleh gabungan para remaja yang aktif bergiat dengan teater di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan.

Puncak dari kunjungan Ratu Elizabeth II adalah saat pewaris tahta Kerajaan Inggris tersebut berada di GOR Bulungan menyaksikan pentas seni dan … ketika menerima sket lukisan wajahnya yang dilukis pada saat itu juga oleh Dimas Praz, yang kala itu tampil dengan mengenakan pakaian adat Madura.

Sonic BAD Jesse Rodrigues saat tampil bersama Garajas dan GAK (Gerakan Anti Korupsi) membuat mural di Gedung KPK.

Esoknya foto sang Ratu yang sedang menerima lukisan dari pendiri Sanggar Garajas tersebut menghiasi halaman surat kabar ternama di ibukota yang beredar luas ke pelosok negeri.Kalau peristiwa tersebut terjadi di era milenial seperti sekarang dapat dipastikan foto tersebut akan menjadi “Viral” di media sosial.

“Keberuntungan” yang pada akhirnya membuat nama Sanggar Garajas terkenal karena terexpose sangat luar biasa tersebut, belum berhenti sampai di situ. Sebab, beberapa pekan setelah kunjungan Queen Elizabeth II, TVRI – satu-satunya media audio visual saat itu – melalui program (kalau penulis tidak keliru) Panggung Gembira , menampilkan kembali anak-anak remaja dari Sanggar Garajas untuk melakukan “demo” melukis dalam acara tersebut.

Yang menarik, selain menampilkan berbagai aktifitas seni dan budaya yang digumuli oleh para remaja ibukota pada saat itu, TVRI juga berani melakukan “pendobrakan” dalam hal yang ada hubungannya dengan pemandu acara.

Satu-satunya media audio visual yang ada di Tanah Air, yang sangat konservatif dalam hal yang ada hubungannya dengan presenter, dalam program tersebut berani “melawan arus” dengan menampilkan penyiar-penyiar muda dari Radio Prambors yang pada saat itu terkenal dengan kritik dan banyolannya.

Siapa mereka? Mereka adalah Dono, Kasino dan Nanu.(Saat itu Indrojoyo Kusumo Negoro yang di kemudian hari dikenal dengan “Indro Warkop” belum bergabung).

Setelah exposes tersebut – perlahan tapi pasti – anak-anak muda dari daerah yang memiliki bakat melukis, ketika mereka merantau ke Jakarta, yang mereka sambangi terlebih dahulu adalah Gelanggang Remaja Jakarta Selatan, untuk bergabung menjadi anggota Sanggar Garajas.

Sonic BAD Jesse Rodrigues menyerahkan lukisan hasil karyanya ke KPK yang diterima oleh salah seorang staf KPK.

Anak-anak muda dari daerah itu, selain ada yang benar-benar baru merantau ke Jakarta, juga tidak sedikit yang telah lumayan lama tinggal di ibukota. Umumnya mereka sudah bekerja di biro-biro iklan yang tumbuh bak cendawan di musim hujan pada era tahun 1970-an. Karena mereka pun membutuhkan tempat untuk berkumpul dan bersosialisasi maka bergabunglah mereka dengan Sanggar Garajas.

Dan, mereka yang sudah bekerja di biro-biro iklan tersebut, rata-rata berlatarbelakang Sekolah Senirupa Republik Indonesia (SSRI), sehingga mereka bisa membagikan ilmunya kepada anggota Sanggar Garajas lainnya yang pada saat itu masih berstatus pelajar SD, SMP dan SMA khususnya yang ada di Jakarta Selatan.

Karena banyak anggota Sanggar Garajas yang telah memiliki kemampuan di atas rata-rata dalam seni lukis maka setiap PKJ TIM menggelar Pameran Lukis antar Gelanggang se-DKI Jakarta, Sanggar Garajas selalu keluar sebagai juara umum.

Uniknya, di Garajas dalam perjalanannya di kemudian hari, selain dikenal sebagai gudangnya pelukis muda berbakat, juga dikenal sebagai gudangnya penulis dan photografer muda yang “menguasai” media-media cetak yang terbit di Jakarta yang sirkulasinya tersebar secara nasional.

Selain unik sekaligus juga menarik utamanya dalam menjalin persaudaraan (yang awet hingga sekarang meski sudah beranak cucu) antar sesama komunitas seni Bulungan/Garajas.

Kenapa? Karena, para penulis dan fotografer muda itu pun — tanpa ada yang menyuruh atau menggerakkan — apabila rekan-rekan mereka dari Sanggar Garajas berpameran di pusat-pusat kebudayaan yang ada di Jakarta, sejak persiapan hingga pameran terselenggara, mereka memberitakannya di surat-surat kabar yang selama ini memuat tulisan mereka.

Yang bisa menulis, membuat berita, sedangkan yang bisa memotret, hasil jepretannya dipakai untuk melengkapi berita tersebut. Setelah dimuat, masing-masing mendapat honorarium atas karya mereka.

Dan, untuk masalah ini tidak pernah menimbulkan keributan yang membuat persahabatan antar mereka menjadi renggang, karena bagian keuangan surat kabar yang memuat karya mereka telah menetapkan honorarium untuk tulisan sekian dan untuk foto sekian rupiah.

Ketua Sanggar Garajas, Ir. Lukman SH, saat menyampaikan sambutan dalam rangka demo lukis mural bertajuk “Adab Kotor Koruptor”.

Semuanya – kalau kita boleh menggunakan istilah yang sedang nge-trend sekarang – berlangsung secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Selain menulis berita dan artikel budaya termasuk membuat resensi pertunjukan teater yang mereka tonton di Taman Ismail Marzuki, mereka juga menulis puisi dan cerita pendek.

Di kemudian hari seiring dengan perjalanan waktu ada di antara mereka yang dikenal sebagai penyair dan novelis.

Sementara para anggota Sanggar Garajas sendiri sangat aktif mengirimkan sketsa karya mereka ke koran-koran yang menyediakan halaman khusus untuk remaja. Sehingga bukan rahasia umum lagi kalau lembaran khusus untuk remaja yang disediakan oleh koran-koran ibukota seperti Sinar Harapan, Pelita, Simponi, Sinar Pagi, Suara Karya, Berita Yudha/Yudha Minggu, Buana Minggu dan lain-lain – setiap Rabu atau Jumat, dan sesekali Sabtu (halaman khusus Seni & Budaya – hampir empat puluh prosen berisi karya dari anak-anak muda kreatif dari Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Garajas) Bulungan.

Demikian juga ketika terbit majalah khusus kumpulan cerita pendek yang sedang menjadi trend pada saat itu, yang mengisi majalah khusus kumpulan cerpen tersebut – dari cover, vignet hingga ilustrasi cerpennya – hampir semuanya merupakan hasil karya anak-anak Garajas Bulungan, termasuk novelet yang menjadi sisipan di dalam kumpulan cerpen tersebut.

Lucunya, berkat rekomendasi dari person Garajas yang berprofesi sebagai photogafer dan masuk ke dalam jajaran redaktur majalah khusus kumpulan cerpen tersebut, anak-anak Garajas yang menyandang predikat sebagai penulis, sering mendapat kemudahan untuk memperoleh honorarium terlebih dahulu sebelum cerpen karya mereka dimuat.

Apa jaminannya? Tidak ada kecuali karya mereka harus layak muat. Dan, faktanya, karya mereka memang layak untuk dimuat di majalah khusus kumpulan cerpen Anita dan atau Ringan – dua majalah khusus kumpulan cerita pendek yang sangat prestisius pada saat itu.

Andaikata pun karya mereka tidak layak muat, mereka tidak perlu menunggu kabarnya terlalu lama, karena person Garajas yang dikenal sebagai photografer dan menjadi salah seorang redaktur di majalah khusus kumpulan cerpen tersebut, akan mengembalikannya secara langsung kepada sang “cerpenis” saat mereka berkumpul pada hari Rabu, Sabtu dan Minggu di Bulungan.

Pengembalian karya itu pun tidak menimbulkan “dialog interactive” yang justru akan menimbulkan kesan “sok nyinyir”, karena dalam “bawah sadar” sang “cerpenis” ada sinyal yang mengatakan bahwa penolakan itu terjadi disebabkan karya dia memang tidak layak muat alias tidak bermutu.

Oleh karena itu di antara anak-anak Garajas yang piawai menulis cerita pendek, senantiasa berlomba membuat cerpen yang layak muat. Bahkan, diam-diam, diakui atau tidak, ada satu dua orang yang membuat tiga judul cerpen sekaligus dengan nama pengarang yang berbeda-beda (biasanya menggunakan nama adik dan/atau nama keponakan) dimuat sekaligus dalam edisi yang sama.

Tak hanya penulis cerpen yang menggunakan nama samaran – dari nama adik sampai keponakan – yang membuat ilustrasinya pun ada yang menggunakan nama istri dan/atau anak gadisnya.

Honor artikel/berita, ilustrasi cerpen, sketsa, vignet, puisi, cerita pendek dan novelet, bagi mereka yang sejak kecil tinggal dan sekolah atau kuliah di Jakarta, mereka pergunakan untuk menambah uang saku yang diberikan oleh orangtua mereka masing-masing.

Sementara bagi anggota komunitas yang berasal dari daerah, honorarium yang diterimanya dari media cetak tersebut dipergunakan untuk biaya operasional mereka sehari-hari, patungan membayar kontrakkan di samping ada juga yang mengirimkan sebagian dari honorarium tersebut untuk membantu orangtua mereka di kampung halaman mereka nun jauh di sana.

Seiring dengan perjalan waktu, mereka yang produktif dalam berkarya di masa mudanya, tidak sedikit di antaranya yang akhirnya bekerja di media massa – baik di surat kabar maupun majalah – sesuai dengan keahlian mereka masing-masing: ada yang menjadi wartawan, ilustrator, penata artistik (lay out), kartunis, fotografer, script writer di biro iklan di samping ada juga yang tetap pelukis dan kritikus seni rupa.

Bahkan ada juga yang menggeluti pekerjaan tetap sebagai guru gambar di sekolah-sekolah – baik negeri maupun swasta – dan menjadi pembuat poster film. Selain itu ada juga yang bekerja di Sekretariat Negara.

Mereka yang dikenal sebagai penulis, ketika terjun ke dunia jurnalistik, ada juga yang bekerja di majalah Mingguan Berita ternama yang terbit di Jakarta, dan majalah tersebut masih tetap eksis hingga hari ini.

Bahkan ada juga yang beruntung mendapat kesempatan belajar di Prancis dan namanya menjadi bahan perbincangan banyak orang karena dia berhasil mewawancarai Ayatullah Khomaeni, yang pada saat itu berada di tempat “pengasingan”-nya di Paris. Hasil wawancaranya dimuat di majalah Mingguan Berita tersebut.

Sekembalinya dari Prancis – oleh sebuah penerbitan ternama – penulis yang berhasil mewawancarai Ayatullah Khomaeni itu diberi kepercayaan untuk memimpin sebuah majalah yang mirip dengan majalah life style yang terbit di Paris.

Sejak itulah – diakui atau tidak – situasi dan kondisi berkesenian di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (Garajas), perlahan tapi pasti, mulai “redup” setelah mereka “hijrah” ke media massa sesuai dengan keahlian mereka masing-masing.

Di sisi lain pergantian Gubernur DKI Jakarta dari Ali Sadikin ke Gubernur lainnya juga membawa perubahan visi dan misi. Ini adalah sebuah tradisi yang hingga hari ini masih dilestarikan: ganti pejabat ganti pula kebijakannya.

Salah satunya, jika pada era tahun 1970-an seorang Kotjo Pramono (pimpinan Gelanggang Remaja Jakarta Selatan) dan segenap jajarannya sangat mengapresiasi setiap kegiatan seni budaya yang dilakukan oleh para remaja/pemuda, dan mereka tidak pernah meminta uang sewa atas penggunaan ruangan yang dipakai oleh para seniman-seniman muda sebagai tempat mereka berkumpul dan berlatih, pada tahun-tahun berikutnya – setelah Bang Ali tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI – setiap orang yang akan menggunakan ruangan di GRJS dikenakan uang sewa.

Sementara, diakui atau tidak, nuansa “militan” para aktifis seni di Garajas era Kotjo Pramono, sama sekali tak terdengar “gaung”-nya ketika GRJS dipimpin oleh penggantinya.

Betul bahwa kegiatan berkesenian utamanya lukis memang masih tetap ada.Namun, akibat tidak adanya expose yang gencar, seperti yang terjadi pada era 1970-an hingga 1980-an, kegiatan seni lukis yang dilakoni oleh para generasi penerus Garajas tersebut “nyaris” tak terdengar.

Hal tersebut bisa dimaklumi karena memasuki dekade tahun 1990-an mereka yang bergabung di Sanggar Garajas jumlahnya lebih banyak yang menggumuli seni lukis daripada sastra.Bahkan anggota Sanggar Garajas tahun 1990-an tidak ada seorang pun yang menggeluti teater.

Berbeda dengan para pendahulunya yang, beberapa orang di antaranya dapat dikategorikan “serba bisa”, tanpa ada yang menyuruh, mereka membantu mempublikasikan kegiatan rekan-rekanya yang akan menggelar pameran.

Jangankan pameran, ketika rekan-rekan pelukis melaksanakan kegiatan membuat sketsa di Kebun Raya Bogor dan/atau di Pelabuhan Sunda Kelapa pun menjadi “rebutan” sesama rekan yang bisa menulis untuk memberitakan event tersebut ke koran-koran yang sering memuat berita yang mereka buat.

Ke-”serba bisa”-an mereka mencapai puncaknya saat mereka mendirikan group teater — mengikuti jejak rekan-rekannya yang menggeluti dunia seni tulis menulis yang mendirikan Teater Panuluh (sinonim dari kata delapan puluh) dan Majalah Sastra Sirkuit.

Ada pun nama grup teater yang didirikan oleh para pelukis muda tersebut namanya Teater Bersama. Grup ini pernah beberapa kali mengikuti Festival Teater Remaja se DKI Jakarta.

Betul bahwa grup teater yang anggotanya terdiri dari pelukis, penulis dan mahasiswa STP (Sekolah Tinggi Publisistik) tersebut saat ini tidak pernah terdengar lagi kiprahnya.

Tapi, salah seorang anggotanya yang pada saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa, dan di kemudian hari memilih karir sebagai pemain teater, sinetron dan film, mengabadikan kata “Bersama” di belakang namanya.

Upanya dan kesadaran untuk bangkit sekaligus merevitalisasi potensi yang dimiliki oleh pribadi lepas pribadi muncul kembali terutama setelah para senior Garajas tidak aktif lagi di tempat kerja mereka masing-masing.

Perlu digarisbawahi bahwa kata “tidak aktif” bukan berarti tidak produktif. Terbukti tidak sedikit di antara mereka yang dikenal sebagai pelukis tetap berkarya. Dan, salah seorang dari mereka yang saat ini menetap di Amerika Serikat bahkan menjadi kurator di Museum Senirupa New York!

Begitu juga mereka yang pada masa mudanya dikenal sebagai penulis. Selain ada yang berprofesi sebagai konsultan sekaligus pemred in house magazine dan penulis buku, ada juga yang sering mendapat undangan menjadi pembicara dalam diskusi seni-budaya. Bahkan ada yang menjadi sutradara film.

Oleh karena itu – setelah mereka tidak lagi dikejar-kejar deadline – muncullah kesadaran untuk membangun kembali ikatan silaturrahmi di antara mereka. Hal ini muncul saat Renny Djajoesman, yang dikenal piawai membaca puisi dan prosa, pemain teater dan di kemudian hari publik di negeri ini lebih mengenalnya sebagai ladies rockers, mengundang komunitas seni Bulungan angkatan 1990 ke rumahnya pada 2 April 2017 lalu.

Dan, akhirnya himpunan para kreator yang sudah tidak pernah lagi ke kantor tersebut – setelah melalui pertemuan beberapa kali —  membentuk tim yang anggotanya terdiri dari tujuh orang, yang kemudian dikenal dengan nama Team7.

Pembentukkan team ini bukan karena latah atau terpengaruh orang lain akan tetapi memang benar-benar dibutuhkan untuk merentangkan “sayap” Garajas agar lebih lebar dan panjang.

Gebrakan Team7 pertama adalah menyelenggarakan pameran dan lelang lukisan yang berlangsung di Masterpiece Gallery pada 10 Juni lalu. Hasilnya sangat positif. Terbukti pada 22 dan 23 Juli ini, untuk kedua kalinya, perhelatan yang sama akan digelar kembali. Juga di tempat yang sama.

Himpunan para kreator tersebut – selepas dari pertemuan pada 2 April 2017 yang kemudian melahirkan Team7 – membuat mereka (yang rata-rata kini usianya telah berkepala 5 dan 6) tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan ini, apalagi dengan kehadiran para perupa muda yang sangat kreatif dan produktif yang, ternyata memiliki spirit yang sama seperti yang pernah dilakoni mereka pada era 1970-an.

Dan, sejarah pun terulang. Bayangkan saja. Di era sekarang di mana segala sesuatu diukur dengan nilai nominal, tiba-tiba ketika salah seorang senior Garajas akan menerbitkan kumpulan puisi yang senantiasa di-share melalui WAG dua-tiga hari sekali, para pelukis siap membuatkan illustrasi atau sket-nya untuk setiap judul puisi yang dimuat dalam buku kumpulan puisi yang bakal diterbitkan tersebut tanpa minta imbalan uang serupiah pun. Ke-”siap”-an mereka tidak cuma sebatas “omong doang” tapi langsung diwujudkan dalam bentuk karya yang mereka posting melalui WAG Garajas 43. (Toto Prawoto)

One comment

  1. Dari pertama membaca artikel ini kayaknya aku kenal banget sama gaya bahasa penulisnya. ….opoooooo. Linear, segar dan jelas menceritakan dinamika aktivitas para seniman yang merapat dalam komunitas seniman Garajas Bulungan Jakarta-Selatan. Ngandel tenan. apik.

Comments are closed.