Panglima Besar Sudirman: Peliharalah TNI

Loading

IndependensI.com – Memasuki Kantor Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri di Jln Senen Raya No. 20, ada patung Panglima Besar Jenderal Sudirman dan di dinding belakangnya tercantum tulisan: Peliharalah TNI, peliharalah angkatan perang kita, jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga.

Katanya adalah Amanat Panglima Besar Sudirman sebelum wafat, tidak banyak ditemukan alasan dalam kaitan apa beliau sampai mengamanatkan ungkapan itu.
Tetapi apabila ditelaah sedemikian rupa begitu besar makna dari amanat tersebut, tidak hanya kepada TNI tapi ke seluruh putra-putri bangsa agar memelihara TNI dan angkatan perang kita, sekaligus juga harus dimaknai agar TNI dan atau angkatan perang kita tidak menguasai partai politik. Sehingga amanat Panglima Besar Sudirman itu sebagai bagian dari etika TNI dalam berbangsa dan bernegara.

Amanat tersebut menurut kita sungguh relevan dalam situasi kehebohan belakangan ini yang menyoroti kebijakan dan ucapan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Yaitu instruksinya agar prajurit TNI menonton film pemberontakan G-30-S/PKI Tahun 1965 yang mendapat kritkan dari banyak pihak dengan berbagai alasan.

Kemudian ucapan Panglima TNI di hadapan purnawirawan TNI yang mengemukakan adanya institusi memesan 5.000 senjata sesuai data intelijen yang diperolehnya.
Ternyata menurut Menkopolhukam Wiranto hanya 500 dipesan BIN dari PT Pindad untuk latihan. Dan menurut Humas PT Pindad BIN memesan 517 senjata dan Polri akan memesan 5.000 pucuk.

Berbagai tanggapan muncul atas kebijakan dan ucapan Panglima TNI itu menuding bahwa Gatot Nurmantyo telah berpolitik dan dikaitkan sebagian orang dengan ambisinya pada Pilpres/Pilwapres tahun 2019.

Ada yang berpendapat bahwa Panglima TNI Gatot Nurmantyo telah melanggar UU karena membocorkan data intelijen; tidak sepantasnya mengungkapkan di public dan seharusnya melapor kepada Presiden sebagai Panglima Tertinggi.  Seorang Panglima TNI tidak sepantasnya berpolitik. Kalau mau maju di Pilpres 2019 lebih baik mundur untuk mempersiapkan diri.  Ada yang bilang lagi sudah seharusnya Presiden Joko widodo memangil Panglima TNI dan menanyakan mengapa diungkap ke public dan mengapa tidak melapor kepadanya. Tetapi Gatot Nurmantyo kelihatannya santai saja seolah tidak ada persoalan dia menunjukkan sikap percaya diri dan tidak ada yang dilanggar.

Kembali ke amanat Panglima Besar Sudirman di atas, apakah TNI dan Panglima TNI, diperkenankan berpolitik? Jawabnya tentu ya, berpolitik dalam rangka mempertahankan NKRI, Pancasila dan UUD Tahun 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika. Yang tidak diperkenankan adalah apabila memihak satu golongan apalagi menjadi bagian dari partai politik manapun juga.

Apakah instruksi agar prajurit TNI menonton film penghianatan G-30-S/PKI sebagai bagian dari politik Gatot Nurmantyo, tergantung dari segi mana kita memandangnya. Film penghianatan G-30-S/PKI sebagai film sejarah sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan macam-macam, apalagi sebagai suatu ketakutan akan bangkitnya kembali PKI atau faham komunis.

Sebab sejarah membuktikan negara-negara yang berfaham komunis telah bubar dan berubah haluan menjadi kapitalis. PKI untuk bangkit kembali sebagai partai di Indonesia, kelihatannya terlalu jauh, sebab partai yang tidak pernah dibubarkan dan yang berdasarkan Pancasila saja sulit persyaratannya.

Sebab dengan instruksi Panglima TNI ke jajarannya untuk menonton film tersebut, tidak ada larangan resmi dari pemerintah terhadap peredaran film itu, jadi tidak ada peraturan yang dilanggar. Tentang kurang akurat atau ada manipulasi fakta, menjadi tugas bersama untuk secara jujur mengungkap fakta sebenarnya.

Kalau Panglima Besar Sudirman mengatakan agar “jangan sampai TNI dikuasai oleh partai politik manapun juga” dapat diartikan secara contrario bahwa TNI juga tidak boleh menguasai partai politik manapun juga, sebagaimana di era Orde Baru di mana ABRI di bawah Presiden Soeharto menguasai kekuatan social politik yaitu Golongan Karya (Golkar) yang berperan sebagai partai politik selama 30-an tahun.

Sampai saat ini, Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI, tidak menunjukkan bukti atau gejala hendak menguasai partai politik, serta suatu yang mustahil di era demokratisasi sekarang ini.

Oleh karenanya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari sikap dan ucapan Panglima TNI Gatot Nurmantyo tersebut. Hanya saja, ada baiknya apabila Panglima TNI memberi kenyamanan kepada masyarakat tidak justru memperkeruh suasana.

Sebagai Panglima TNI, kita berharap bahwa Jenderal Gatot Nurmantyo adalah negarawan sejati, prajurit sejati yang berpegang teguh pada Sumpah Prajurit dan Sapta Margais yang berdiri di atas semua golongan dan kepentingan. (bch)