Kampung itu Bernama Jakarta…

Loading

Puluhan seniman berkarya seni rupa di Balai Budaya Jakarta. Para seniman urban di Jakarta, merespon dengan pilihan dan cara mereka sendiri melukis, mematung tentang lanskap dan eksistensi ibukota Indonesia ini.

Independensi.com – Di tengah hiruk dan kontroversi tentang wacana penggantian nama jalan, para perupa Jakarta merayakan kota Jakarta dengan berbagai fragmen, sisi ingatan hingga pengolahan imajinasi mereka masing-masing.

Kita jadi teringat lagi pada fenomena toponimi – asal-usul nama jalan dan tempat – yang ramai dibicarakan. Pameran ini menyorot setiap lekuk kota hingga ingatan personal para perupa pada titik dan fragmen tertentu dari lanskap Jakarta, mengingatkan kita bahwa di balik kosmopolitan Jakarta, manusia-manudia di dalamnya termasuk seniman punya cara dan sistem sendiri terhadap sebuah kota.

Kota teramat dekat bagi tiap personalnya, jadi seakan kampung dalam imaji dan pikiran para perupa. Kota adalah ingatan semasa kecil, arsiran tertentu di benak personal tiap seniman.

Kota, dapat tetap menjadi kenangan, sebut saja beberapa di antaranya, tentang obyek angkutan bajaj pada karya Kembang Sepatu, sebuah kelenteng di lukisan Handayamurti bertajuk Klenteng Palmerah, obyek tugu Pancoran oleh Ajul Jiung, Dermaga Jakarta karya Nasya Patrini, Pasar Baroe karya Afriani, Jakarta Pagi karya Nunuk Darmono, Delman Monad karya Wahyu Oesman, pengendara dan obyek sepeda motornya Ireng Halimun dan karya pelukis lainnya.

Ke semua karya dalam pameran bertajuk “Jakarta – Pameran Seni Rupa Jakarta”, berlangsung sejak 2 hingga 9 Februari mendatang adalah fragmen-fragmen visual, partisi penglihatan tiap senimannya. Bila digabungkan, maka lengkaplah semua panorama.

Anda sebagai wisatawan di Jakarta jadi tak perlu berkeliling ke ibukota Indonesia karena visual anda terpuaskan saat menikmati setiap obyek yang ada di pameran ini.

Kampung Warga Urban

Hanya, menjadi pertanyaan kita sekarang, mengapakah Jakarta masih terasa sederhana di dalam subyektivitas para perupa di pameran ini?

Fragmen yang nampak jadi seolah masih berupa kenangan visual. Seolah mereka masih turis asing yang diminta melukis kota Jakarta.

Padahal, mereka adalah kaum urban yang telah bertahun-tahun meninggalkan kota asalnya dan telah menerima Jakarta sebagai kampung kedua mereka. Artinya, mereka tak hanya hapal pintu dan jendela kampungnya itu tapi sudah lengkap dengan kenangan, rasa senang, trauma, frustasi bahkan bahagia.

Jakarta bagi mereka seharusnya bukan lagi situs fisik namun juga peradaban yang lebih abstraktif dan bermakna kompleks. Sehingga, apa pun alasannya – bahkan melukis on the spot – mereka seharusnya bukan lagi berpretensi sebagai turis tapi juga pemilik peradaban kotanya.

Beberapa perupa mampu memindahkan ephoria tematik itu jauh ke wilayah personalnya yang kontemplatif sembari tetap memperlihatkan kekuatan khas yang telah dibangunnya sejak lama. Tetapi banyak perupa, yang tampaknya terlupa, untuk mempertahankan kekuatannya.

Sehingga, menyitir pendapat Syahnagra Ismail, pelukis yang juga kerap mengutarakan pandangannya tentang seni rupa, “Jakarta memerlukan tempat yang bukan saja gedungnya, tetapi tata kelola yang diciptakan oleh para seniman, bukan sekedar proyek yang memuaskan segelintir orang. Oleh karena itu peran seniman harus dilibatkan total dalam membangun suasana seni dan kebudayaan, baik acara mau pun gagasan besarnya”. Suasana seni dan kebudayaan juga gagasan besar inilah yang diperlukan bahkan dalam bentuk karya sekali pun.

Yang menarik lagi adalah, sebagian besar di antara mereka justru meninggalkan kekuatannya sebagai perupa yang khas, unik dan berkarakter. Waktu yang singkat, tema kota, lokasi untuk melukis, seharusnya bukan alasan untuk memenjara kreativitas dan pengalaman personal dan mendalam terhadap kampungnya sendiri.

Apa pun, kota lebih dari peradaban fisik, tapi juga tumpukan biografi keresahan, mimpi dan keinginan. Kota adalah bagian dari peradaban hidup manusianya, sebagaimana syair sebuah lagu, siapa suru datang Jakarta, siapa suru datang Jakarta, sandiri susah sandiri rasa, e do e sayang… (sihar ramses simatupang)