Kepala BNPT Komjen Pol Drs Suhardi Alius, MH (tengah) berbicara dalam pertemuan GCTF di Nusa Dua, Bali, Senin (7/5/2018). (Foto: Dokumentasi BNPT)

BNPT Matangkan Konsep Penanganan FTF

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus melakukan sinergi dalam melakukan program penanggulangan terorisme. Tidak hanya di dalam negeri dengan 36 kementerian dan lembaga, tetapi juga dengan badan-badan dunia yang bertanggungjawab menangani terorisme.

Salah satunya dengan bergabung dengan 30 negara di seluruh dunia di bawah wadah Global Counter Terrorisme Forum (GCTF), yang tugasnya membahas berbagai fenomena dan penanganan terorisme secara global.

Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat aktif di forum ini. Itu dibuktikan dengan dipercayanya Indonesia menjadi co-host “the Second Regional Workshop on Initiative on Addressing the Challenge of Returning Families of Foreign Terrorist Fighters (FTF)” di Nusa Dua Bali, 7-8 Mei 2018.

Di forum ini, Indonesia akan banyak memberikan pengalaman dalam melakukan penanganan FTF dengan soft approach, seperti yang telah dilakukan BNPT selama ini.

“Workshop GTCF ini akan membahas berbagai isu terorisme, dan fokusnya tentang returness dan keluarga FTF. Indonesia kebetulan punya pengalaman masalah itu sehingga kita akan sharing dengan mereka. Intinya, penanganan terorisme tidak selamanya menggunakan hard approach, tapi soft approach seperti yang telah kita lakukan,” ujar Kepala BNPT Komjen Pol Drs Suhardi Alius, MH dalam surat elektronik yang diterima IndependensI.com, Senin (7/6/2018).

Komjen Suhardi mengungkapkan, saat ini sudah lebih 600 returness FTF dan keluarganya yang kembali dari Suriah. Ini menjadi ancaman tersendiri karena mereka sudah ‘radikal’ sehingga kalau tidak dimonitor dan diperhatikan bisa menjadi ancaman. Apalagi tidak hanya fighter-nya saja, tapi ada keluarganya yaitu istri dan anak sehingga harus ada penanganan khusus.

BNPT sudah beberapa kali memulangkan keluarga FTF dari Turki ke Indonesia. Mereka tetap ditangani secara intensif bersama stakeholder lain seperti Kementerian Sosial dan Kepolisian agar tidak merasa dimarjinalkan. Artinya, mereka harus disentuh dan terus dilakukan upaya untuk mereduksi tingkat radikal mereka sehingga nantinya bisa kembali di tengah masyarakat dan bisa berreintegrasi secara sosial.

“Itulah yang kita bahas di forum ini. Dan banyak negara peserta sangat tertarik belajar dengan cara-cara soft approach Indonesia dalam menangani keluarga FTF ini. Selain itu, kami juga bahas berbagai persoalan yang terjadi di negara-negara lain,” tutur mantan Kabareskrim Polri ini.

Menurut Suhardi, pertemuan ini merupakan lanjutan dari forum-forum sebelumnya. Bertindak sebagai tuan rumah (host) kegiatan ini adalah Amerika Serikat (AS) dan Belanda, sedangkan Indonesia, meski menjadi tempat pelaksanaan, hanya menjadi co-host. Delegasi AS dipimpin Mr. Irfan Saeed, Director for the Office of Countering Violent Extremism, Department of State, United State of America, sedangkan delegasi Belanda dipimpin Mr. Lars Tummers, Special Envoy on Counterterrorism, Ministry of Foreign Affairs, the Netherland

Sebelumnhya telah digelar forum GCTF di Abu Dhabi, Belanda, dan New York. Setelah di Bali, GCTF akan besidang lagi di badan PBB United Nations Office of Counter Terrorisme di New York dengan membahas berbagai macam isu  terkait kontra terorisme.  Kepala BNPT Suhardi Alius rencananya akan hadir di forum itu juga untuk memaparkan program soft approach.

Suhardi menambahkan, di Indonesia, sejauh ini banyak titik masuk FTF, terutama melalui bandara-bandara internasional seperti Soekarno Hatta, Juanda, Ngurah Rai, dan lain-lain. Karena itu, BNPT juga terus melakukan kerjasama dengan pihak terkait seperti Pemerintah Daerah, Kepolisian, Imigrasi, untuk mendeteksi mereka. Tidak hanya itu, BNPT juga telah bekerjasama dengan otoritas keamanan Turki untuk mengawasi daerah perbatasan dengan Suriah. Tujuannya, mereka bisa memberikan informasi lebih awal bila ada FTF asal Indonesia yang akan kembali.

“Dengan begitu kami bisa monitoring keberadaan mereka. Kalau informasi itu terlambat dan mereka sudah tersebar di sini, akan lebih sulit mendeteksi dan kemudian menangani mereka,” imbuh Suhardi Alius.

Di sinilah, ungkap Suhardi, pentingnya bantuan dari Pemda, Pemkab, Pemkot, Polda, dan Polres untuk memonitor FTF dan keluarganya yang telah kembali. Dengan demikian, penanganan mereka akan lebih efektif sehingga mereka yang telah salah jalan ini bisa kembali berinteraksi, bersosialisasi dengan lingkungan. Bahkan tidak hanya FTF, BNPT juga terus memonitor 600 lebih mantan napi terorisme. Mereka juga diberikan akses dan dipantau agar tidak dimarjinalkan

Bagi yang masih keras, imbuh Suhardi, BNPT akan  terus menyentuh dan memperbaiki ideologi mereka. Tapi kalau tetap keras dan melakukan tindakan menyimpang baru akan lakukan hard approach. Begitu juga keluarganya, terutama anak-anaknya. Mereka dilabeli anak mantan teroris, padahal itu ideologi orang tuanya.

“Sekarang saja terdapat lebih dari 600 orang mantan napiter. Coba kalau mereka masing-masing punya dua anak, maka ada sekitar 1.200 orang anak mantan teroris. Itu tersebar di Indonesia. Mereka harus diselamatkan jangan sampai frustasi. Anak-anak ini korban, gak ngerti dan hanya dibawa orang tuanya di sana. Mereka dicap sebagai anak teroris karena ideologi orang tuanya. Hal-hal seperti ini tidak mungkin dilakukan dengan hard approach, tetapi dengan soft approach dengan hati dan kemanusiaan,” terang mantan Sestama Lemhanas ini.

Contohnya, tegas Suhardi, anak Imam Samudera, yang pertama kali muncul berusia 6 tahun, karena tidak mendapat penanganan saat itu, 12 tahun kemudian, ia ikut berperang di Suriah dan Tewas. Bandingkan sekarang dengan anak Amrozi, terpidana mati kasus bom Bali, Mahendra. Pemuda yang sekarang 23 tahun itu, sejak berusia 10 tahun sudah minta belajar membuat bom ke pamannya, Ali Fauzi. Itu dilakukan untuk melakukan balas dendam atas eksekusi orang tuanya. Tapi sekarang ia sudah sadar dan ikut program-program pencegahan terorisme bersama BNPT.

“Bahkan pada 17 Agustus lalu, Mahendra menjadi pengibar bendera Merah Putih di kampungnya di Tenggulung, Lamongan. Artinya, segala sesuatu yang keras pun kalau kita sentuh mereka, kita beri perspektif yang baik, kita beri harapan, Alhamdulillah dilunakkan,” pungkas Suhardi Alius.

One comment

Comments are closed.