Pancasila dan Piagam Jakarta Tak Perlu Diperdebatkan

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pancasila adalah ideologi final dan terbaik bangsa Indonesia. Terbukti, Pancasila dengan lima sila, mampu menyatukan berbagai keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apalagi, Pancasila satu jiwa dengan Piagam Jakarta dan Piagam Madinah, yang tujuannya sama yaitu menyatukan berbagai perbedaan.

“Piagam Jakarta, bentuk lain dari Pancasila, karena sila pertama yang terdiri dari kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu, kemudian disederhanakan diringkas menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa” kata Wakil Sekretaris MUI Pusat, KH Moqsith Ghazali di Jakarta, Kamis (23/8/2018).

KH Moqsith Ghazali

Ia menjelaskan, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 1959, berkata “Kami berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjadi jiwa dalam konstitusi menjadi satu kesatuan yang menjiwai UUD 45, dengan demikian tidak perlu ada istilah dikhianati tetapi ditampung ke dalam jiwa yang lebih substantif ke dalam UUD 45.

Dan didalam pembukaan UUD 45, telah disebutkan bahwa dasar negara adalah Pancasila. Menurut Muqsit, dalam Pancasila sendiri telah jelas disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena kalau eksplisit disebutkan sebagai kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, itu tidak mudah untuk dipraktekkan didalam konteks warga negara Indonesia  yang sangat prural.

“Indonesia bukanlah Brunei Darussalam, bukan Malaysia, bukan seperti di negara Afrika Utara yang jumlah penduduknya yang kecil, seperti Maroko dan Tunisia. Mereka relatif homogen seperti Arab Saudi, makanya Arab Saudi tidak mungkin punya Pancasila, tidak mungkin punya UUD 45,” jelas Moqsith.

Ia menguraikan bahwa bangsa Indonesia ditakdirkan oleh Allah SWT sudah ada lebih dulu sebelum Islam menjadi agama mayoritas. Sebelum islam masuk, di Indonesia sudah pernah tumbuh agama besar yaitu agama Hindu, Budha dengan kerajaannya yang besar yaitu Kutai, Sriwijaya dan Majapahit. Itu tidak bisa dinafikan sebagai sebuah fakta historis, karena itu pilihan para pendiri negara, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam walaupun faktanya kemudian umat Islam adalah mayoritas.

“Tapi tidak dapat dipungkiri umat Islam mendapatkan sejumlah keuntungan dengan adanya UU Zakat, UU Haji, UU Peradilan Agama, ada Kementerian Agama. Kementerian agama dananya cukup besar sekali dan kalau kita kalkulasi mungkin 80% untuk melayani kebutuhan umat Islam, ada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang didalamnya ada Madrasah, perguruan tinggi dan ada pesantren,” urai Moqsith.

Ia tidak menampik bahwa  ada sebagian umat Islam yang masih ingin kembali ke Piagam Jakarta awal, ingin mendirikan Khilafah Islamiyah, ingin mendirikan negara Islam indonesia. Menurut Muqsit itu memang tidak pernah mati didalam sejarah, juga di negara-negara timur tengah.Namun itu sekarang sudah tidak penting lagi, karena Pancasila terbukti yang terbaik di Bumi Indonesia.

“Indonesia ini sudah cukup sebenarnya sebagai negeri yang didasarkan kepada nilai-nilai pokok di dalam Islam. Apalagi sejumlah syariat sudah diakomodasi dalam bentuk UU. Ada UU Peradilan Agama, ada kompilasi hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang mengatur soal perkawinan” ungkapnya.

Muqsit menilai organisasi seperti NU dan Muhammadiyah lebih realistis dengan menegaskan bahwa Pan sebagai keputusan final. “Min Huna Nabda’ (Dari sini kita mulai) UUD 45 pada pembukaannya tidak bisa diubah. Dari sini kita mulai Indonesia kearah peradaban yang lebih maju. Kita sudah 73 tahun merdeka, masih bicara pada hal-hal yang seperti ini, kapan kita mulai membangun, makanya realistis saja,” tandasnya.