Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat memberikan sambutan pada pertemuan kelompok-kelompok masyarakat sipil (People’s Summit) yang bertema “Voices on Equality and Justice” yang digelar di kawasan Sanur, Bali. (Humas Staf Kepresidenan)

Moeldoko: Organisasi Masyarakat Sipil, Mitra Kunci Pemerintah

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kelompok-kelompok dan organisasi masyarakat sipil merupakan mitra terpenting pemerintah yang dapat memberikan masukan dan kritik atas berbagai kebijakan dan program yang dijalankan pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah berusaha untuk mendengarkan saran dan kritik, karena pada dasarnya program-program dan kebijakan memerlukan penyempurnaan.

Demikian disampaikan oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko saat memberikan sambutan pada pertemuan kelompok-kelompok masyarakat sipil (People’s Summit) yang bertema “Voices on Equality and Justice” yang digelar di kawasan Sanur, Bali, oleh berbagai organisasi masyarakat sipil dalam menyambut pertemuan tahunan World Bank Group (WBG) dan International Monetary Fund (IMF) di Bali pada pekan kedua Oktober 2018.

“Saya menyambut baik forum ini, karena pertemuan semacam ini akan menjadi masukan yang baik bagi Pemerintah. Yang sekarang sudah dikerjakan Pemerintah juga tidak atau belum sempurna. Sehingga Pemerintah memerlukan masukan, bahkan kritik, sehingga suara-suara masyarakat yang selama ini belum terkena dampak kebijakan dapat didengarkan, sehingga suatu kebijakan dapat diperbaiki atau dikoreksi,” kata mantan Pangdam Tanjungpura dan Siliwangi ini.

Organisasi masyarakat yang berpartisipasi dalam kegiatan ini antara lain ELSAM, debtWatch Indonesia, HuMa, INFID, PRAKARSA, KSBSI, Migrant CARE, Public Services International, PWYP Indonesia, TuK Indonesia, WALHI, WALHI Bali, KIARA, Yappika ActionAid, Koalisi Perempuan Indonesia, TIFA, OXFAM, Kemitraan, Transparansi Internasional Indonesia, danHIVOS.

Ia memastikan bahwa Pemerintah saat ini tidak antikritik. Kepala Staf Kepresidenan juga membuka pintu seluas-luasnya melalui program #KSPMendengar. “Agar aspirasi yang ada di masyarakat bisa didengarkan langsung, saya catat, dan dapat saya sampaikan langsung pada kesempatan pertama saya bertemu Presiden. Saya ingin Presiden betul-betul mendapatkan informasi yang jujur, asli, genuine,”kata mantan Wakil Gubernur Lemhanas tersebut.

Moeldoko juga menjawab tudingan sebagian pihak yang mengkritik bahwa pembangunan saat ini hanya membangun infrastruktur. “Pembangunan infrastruktur fisik baik di darat, laut, dan udara, memiliki nilai yang jauh dari yang kita pikirkan. Pembangunan jalan akan memiliki nilai eksternal, dengan meningkatnya kegiatan dan nilai aset dari sekitar jalan yang dibangun, dengan demikian membangun dan menciptakan peradaban baru,” paparnya.

Sementara itu, pada tahun 2019, pembangunan akan lebih difokuskan dalam pembangunan sumber daya manusia. Salah satunya adalah program pemberantasan stunting. Program ini merupakan komitmen dari Presiden Jokowi untuk menciptakan generasi tangguh yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di masa yang akan datang. Jika dibiarkan dan tidak diatasi dari sekarang, maka dalam 20 tahun mendatang anak-anak yang menderita kekerdilan fisik dan otak ini akan menjadi beban bagi negara.

Moeldoko juga menjelaskan soal rumor tenaga kerja asing (TKA). Terhadap rumor ini, Moeldoko mengaku memilih pendekatan lain dalam menyelesaikan rumor adanya serbuan puluhan juta TKA. Ia justru mengajak wartawan untuk melihat sendiri kondisi TKA di kantong-kantong yang selama ini dirumorkan, yakni Morowali, Sulawesi Tengah. “Biarkan mereka menyelidiki sendiri, menginvestigasi, supaya dapat menemukan fakta yang sesungguhnya. Ternyata, isu soal TKA ini memang isu yang digunakan untuk menghantam Pemerintah,” ujar Moeldoko.

Ditanya oleh peserta forum soal reforma agraria, Moeldoko menjelaskan bahwa soal reforma agraria ini ada tiga urusan. “Pertama adalah program sertifikasi. Dulu, pemerintah baru bisa menyediakan 500 ribu sertifikasi per tahun. Sekarang ini, targetnya setiap tahun adalah 5 juta bidang yang tersertifikasi. Yang kedua adalah redistribusi lahan, dan yang ketiga adalah perhutanan sosial. Ada 12,7 juta hektar dialokasikan bagi perhutanan sosial. Yang dikerjakan baru sekitar 1,9 juta lahan. Dengan skema perhutanan sosial ini, masyarakat pengelola hutan memiliki kepastian pengelolaan sampai dengan 35 tahun dan dapat diperpanjang,” pungkas mantan Panglima TNI tersebut.