Hendardi Imbau Prabowo Subianto Lakukan Upaya Hukum

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Direktur Setara Institute, Hendardi, menghimbau Calon Presiden nomor urut nol dua atas nama Prabowo Subianto, melakukan upaya hukum kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI), apabila merasa dirugikan hasil penetapan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU-RI) di Jakarta, dimana petahana Presiden Joko Widodo sebagai pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden 2019, Selasa dinihari, 21 Mei 2019.

Pencoblosan dilakukan pada Rabu, 17 Mei 2019, dan dari perhitungan KPU – RI, Joko Widodo meraih kemenangan hingga 55 persen, atau selisih jauh suara, dengan kekalahan telak Prabowo Subianto hingga lebih dari 16 juta suara pemilih.

“ Hal ini merupakan momentum penting bagi seluruh elemen demokrasi Indonesia untuk mencermati artikulasi mandat rakyat kepada penyelenggara negara. Penetapan KPU merupakan satu-satunya rujukan yang legitimate mengenai hasil Pemilu,” ujar Hendardi di Jakarta, Selasa pagi (21/5/2019).

Jika kontestan Pemilu tidak puas dengan hasil Pilpres yang ditetapkan oleh KPU, maka para kontestan dapat menggunakan satu-satunya saluran memperjuangkan keadilan elektoral dan mempersoalkan ketidakadilan—termasuk dugaan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif, yaitu dengan mengajukan sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.

Demikianlah aturan main demokratis yang sudah disepakati oleh para kontestan Pemilu, jauh sebelum tahapan Pemilu dilaksanakan. Oleh karena itu, setiap upaya untuk menggunakan cara-cara di luar mekanisme konstitusional yang disediakan oleh aturan main yang disepakati pada dasarnya merupakan tindakan pengkhianatan atas kesepakatan kolektif yang sudah dituangkan dalam seluruh peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Pemilu dan penegakan keadilan di dalamnya.

Menurut Hendardi, aksi massa yang akan dilakukan oleh salah satu kontestan Pilpres pada 22 Mei melalui mobilisasi pendukungnya merupakan tindakan yang secara konstitusional cacat prosedural. Sebab aturan main Pemilu tidak menyediakan prosedur jalanan untuk mempersoalkan hasil Pemilu.

Dalam konteks itu, unjuk rasa yang didorong oleh kekecewaan atas proses dan hasil Pemilu hanya perlu dibaca sebagai hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan mekanisme demokratis tambahan untuk mengartikulasikan kedaulatan rakyat setelah pemungutan suara pada 17 April 2019.

“Dengan perspektif tersebut, maka pemerintah dan aparat keamanan seharusnya menjamin penikmatan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi biasa, sesuai dengan koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan regulasi yang relevan untuk itu, maka aksi demonstrasi dimaksud mesti dilakukan secara damai dengan tidak merusak tertib sosial, tertib politik, dan tertib hukum yang berlaku. Dengan demikian, setiap tindak pidana dan melawan hukum dalam aksi unjuk rasa tersebut harus direspons dengan penegakan hukum yang tegas, adil, dan memberikan efek jera,” ungkap Hendardi.

Berkaitan dengan itu, Hendardi, mengatakan, publik semestinya tidak menjadikan aksi dari sekelompok kecil warga pendukung (voters) itu sebagai aspirasi demos secara keseluruhan.

Publik hendaknya tenang dan tidak terprovokasi dengan berita-berita bohong dan provokatif di media sosial, terutama dari dan yang mengatasnamakan tokoh-tokoh yang sesungguhnya bukan kontestan dalam perhelatan Pemilu, lebih-lebih mereka yang sejak awal memang nyata-nyata menjadi penumpang gelap Pemilu dengan menjadikan dukungan politik yang diberikan kepada kontestan sebagai alat bargaining dan negosiasi demi kepentingan politik dan ideologis kelompok dan jaringannya semata.

Kepada aparat keamanan SETARA Institute mengingatkan mereka untuk memperlakukan provokator-provokator sebelum dan pada saat aksi unjuk rasa pada Rabu, 22 Mein2019, sebagaimana provokator-provokator pada aksi demonstrasi pada umumnya.

Penegakan hukum harus dilakukan terhadap mereka, lebih-lebih jika provokasi tersebut mengancam keselamatan pejabat negara seperti Presiden, membahayakan keamanan negara, mendelegitimasi pemerintahan negara, dan menghasut agar terjadi kerusuhan. Namun begitu, tindakan penegakan hukum atas mereka, seperti dalam bentuk penangkapan dan penahanan, harus dilakukan secara presisi berdasarkan atas bukti permulaan yang memadai.

Aparat keamanan juga mesti dihimbau untuk senantiasa waspada dan tidak segan-segan menggunakan kerangka hukum pemberantasan terorisme terhadap kelompok-kelompok radikal dan jaringan teroris yang berusaha untuk menjadikan kegagalan politik penumpang gelap dalam Pemilu sebagai momentum untuk melakukan aksi-aksi yang mengancam keselamatan publik dan mengganggu keamanan negara.

Menurut Hendardi, elite politik nasional hendaknya memelihara kedamaian dan suasana kondusif dengan tidak menghasut penggunaan aksi-aksi jalanan dan tindakan melawan hukum sebagai respons atas proses dan hasil Pemilu 2019.

Hajatan elektoral kelima pasca reformasi ini jelas belum ideal, tapi sudah menunjukkan tata kelola yang semakin melembaga dengan sistem pengawasan yang berlapis dan berjenjang serta dengan penyediaan institusi dan mekanisme penegakan keadilan elektoral, baik substantif maupun prosedural, yang lebih baik melalui Bawaslu, Gakkumdu, DKPP, dan MK.

Di samping itu, publik pada umumnya menunjukkan sikap politik yang lebih matang terkait politik elektoral. Dalam situasi demikian, elite politik hendaknya membuang jauh setiap skenario politik yang menarik mundur kemajuan politik dan peradaban publik yang sudah semakin baik pasca reformasi.

Elemen masyarakat sipil, termasuk ormas-ormas keagamaan, hendaknya memelihara kemurnian politik elektoral dari infiltrasi kelompok konservatif yang menggunakan agama dan doktrin-doktrin keagamaan untuk kepentingan sektarian kelompok keagamaan tertentu.

“Dalam konteks itu, SETARA Institute mengapresiasi setinggi-tingginya PBNU dan PP Muhammadiyah yang mengeluarkan sikap resmi untuk; tidak mendukung aksi massa terkait pengumuman hasil Pemilu 2019, tidak mendelegitimasi penyelenggara Pemilu, dan menghimbau agar digunakan mekanisme konstitusional yang tersedia untuk memperjuangkan keadilan elektoral,” ungkap Hendardi. (Aju)