UU Pesantren, Bentuk Pengakuan Negara untuk Integrasi Keagamaan dan Kenegaraan

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Pengesahan Undang-Undang (UU) Pesantren oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI beberapa waktu lalu tidak hanya menjadi bentuk pengakuan negara terhadap sistem pendidikan keagamaan khas nusantara melalui pesantren.

Lebih dari itu pesantren harus dapat menunjukan diri sebagai role model pendidikan yang menanamkan kemandirian, toleransi dan perdamaian khususnya di bidang keagamaan. Pesantren juga harus bisa menjadi pusat peradaban keilmuan keislaman yang mampu menyuarakan dan menanamkan Islam, perdamaian, dan kebangsaan kepada generasi muda.

Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah  Jakarta, Prof Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum, mengatakan bahwa dengan disahkannya UU Pesantren ini setidaknya telah menjadi bentuk pengakuan dari negara terhadap Pesantren. Dengan adanya UU ini diharapkan nilai-nilai yang ada di pesantren yang terkait dengan integrasi keagamaan dan kenegaraan semakin bisa ditonjolkan ke depannya.

“Di pesantren sendiri, sering dibahasakan bahwa ideologi negara Indonesia itu sebagai Darul Ahdi yang mempunyai maksud Perjanjian atau tempat negara kita bersepakat untuk menerima ideologi negara itu, siapapun yang menghianati atau menolak ideologi itu, maka sama dengan menolak kesepakatan bersama kita,” ujar Prof Dr Oman Fathurrahman, MHum, di Jakarta, Rabu (2/10/2019).

Oman menjelaskan, selama ini pesantren telah dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang sudah sangat mengakar. Dalam konteks kebangsaan pun para tokoh-tokoh pesantren juga sudah  teruji dan berkontribusi. Dalam konteks Indonesia, pesantren ini juga punya sejarah tersendiri.

“Pesantren itu tumbuh dari masyarakat, karena hampir serratus persen pesantren yang ada di Indonesia ini tidak ada yang dibangun oleh negara. Tentunya banyak sekali pesantren itu dari segi support itu masih kurang, baik infrastruktur atau yang lainnya, termasuk support  baik kurikulumnya maupun  sumber daya manusia (SDM) nya,” ujarnya.

Oleh karenanya dengan disahkannya UU Pesantren tersebut kita berharap bahwa nilai-nilai yang ada di pesantren yang terkait dengan integrasi keagamaan dan kenegaraan semakin bisa ditonjolkan. Karena alumni pesantren itu para kyainya selama ini tidak ada yang resisten terhadap ideologi negara, yakni Pancasila.

“Tokoh-tokoh pesantren yang bersifat moderat tidak ada yang mempermasalahkan ideologi negara. Karena tokoh-tokoh pesantren itu sendiri sejak awal itu memang justru terlibat dalam perumusan ideologi negara tersebut yang kita sebut Darul Ahdi tadi,” kata Oman.

Materi Kebangsaan di Kurikulum

Lebih lanjut, Prof Oman mengatakan bahwa para pemilik sesantren, juga harus mensinergikan kurikulumnya dengan materi-materi tentang kebangsaan. Hal ini dikarenakan materi Pesantren itu pada  umumnya tentang keagamaan, sehingga perlu dibuatkan kurikulum formal tentang kebangsaan di pesantren-pesantren yang ada.

“Dengan dijadikan kurikulum maka akan ada sistem yang bisa diteruskan oleh anak-cucu pemilik Pesantren dalam mengelola pesantren itu. Jadi harus ada sistem yang menjamin bahwa kurikulum yang dibuat itu yakni keislaman-kebangsaan itu terus dilanjutkan dari waktu ke waktu,” tutur pria yang juga pernah menjadi Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Tak hanya itu, pria yang juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Agama bidang Manajemen Komunikasi dan Informasi ini mengatakan, pesantren juga bisa dianggap sebagai representasi dialog antara Islam dengan budaya lokal dan juga keberagaman, baik keragaman bahasa, budaya dan bahkan keragaman aksara.

“Contohnya adalah ketika Islam datang ke Indonesia, pesantren pesantren mengajarkan Islam dan mengajarkan kitab-kitab arab juga. Tetapi kemudian ada proses adopsi dan adaptasi. Di adopsi nilai-nilainya, ajaran-ajarannya, tetapi diadaptasi ke dalam budaya local,” kata pria kelahiran Kuningan, 8 Agustus 1969 ini.

Oleh karena itu, menurut Oman, dengan adanya UU Pesantren ini tentunya merupakan sebuah kesempatam bagi pesantren yang ada di Indonesia untuk bisa mendapatkan fasilitas dari negara yang dapat digunakan untuk mengembangkan diri.

“Karena pesantren di Indonesia itu memiliki kekhususan bidang ilmu. Mereka bisa terus mengembangkan ke khususan bidang ilmu mereka semacam brand pesantren itu, ada yang ke khususanya di Bahasa, ada juga pesantren yang kekhususasnnya di ilmu fiqh, tasawuf dan macam sebagainya,” ujarnya.

Dan di dalam UU Pesantren tersebut menruut Oman juga telah mengamanatkan kepada Pemerintah Daerah setempat untuk berkewajiban memfasilitasi dan memperkuat pesanteren yang ada di daerahnya masing-masing.

“Tetapi tentu saja harus balance. Negara juga harus membuat ukuran juga bahwa ‘Oke  Pesantren ini layak di afirmasi, layak diberikan kebijakan yang berpihak’ seperti membantu mensupport SDM nya, mungkin juga infrastruksturnya,” ujarnya

Namun demikian menurutnya tentu harus mengacu pada ukurannya akuntabilitas dan sebagainya. “Harus dibuat rumusan-rumusannya, supaya juga fasilitas yang diberikan oleh negara tidak disalahgunakan. Negara harus membuat infrastrukturnya. Sistemnya juga harus bisa menjaga akuntabilitas itu,” ucap peraih Doktoral dari Universitas Indonesia ini.

Selain itu menurutnya, dengan adanya UU Pesantren ini pemerintah akan punya modal sosial kultural yang sangat besar untuk mengkampanyekan contoh moderasi agama dan negara ke dunia internasional. Karena pesantren ini bisa menunjukkan terintegrasinya antara agama dan negara yang tidak menimbulkan masalah antara keislaman dengan kebangsaan..

“Karena pesan utama dari adanya Undang-Undang Pesantren ini kita ingin meneguhkan bahwa Pesantren ini pahamnya moderat, wasathiyah, mampu berdialog dengan keragaman, mau berdampingan dengan yang berbeda, tidak ekstrim kiri atau ekstrim kanan. Karena pesantren itu mengajakan khazanah keilmuan yang memberikan tafsir-tafsir terhadap keagamaan, Misalnya ‘bersikap ini terlalu liberal, tidak boleh, ini dalilnya dan sebagainya,” ujarnya mengakhiri.