Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono menyebutkan pendekatan keadilan restoratif membantu mengurangi beban penumpukan perkara di pengadilan.(foto/muj/independensi)

Terapkan Restorative Justice, Kejaksaan Bantu Kurangi Penumpukan Perkara di Pengadilan

Loading

JAKARTA (Independensi.com)
Jajaran kejaksaan di seluruh Indonesia sejak keluarnya Peraturan Jaksa Agung (Per-JA) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice telah menghentikan penuntutan sebanyak 101 perkara pidana kecil.

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Hari Setiyono mengungkapkan dari 101 perkara sebanyak 97 perkara dengan korban perorangan dan 4 perkara dengan korban perusahaan atau lembaga negara yang tersebar di 27 Provinsi dan 70 kabupaten-kota.

“Tujuan pendekatan keadilan restoratif oleh kejaksaan ini adalah untuk membantu mengurangi penumpukan beban perkara di pengadilan,” kata Hari dalam konfrensi pers capaian kinerja satu tahun Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin  (26/10).

Dia menyebutkan dengan berkurangnya penumpukan perkara, membuat pengadilan bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan kasus-kasus besar yang merugikan masyarakat, menghemat waktu dan angggaran.

“Sehingga hukum menjadi efisien,” katanya seraya berharap pendekatan keadilan
restoratif oleh kejaksaan dapat menjadi evaluasi dalam penanganan tindak pidana
serta menjadi dasar perbaikan hukum acara pidana dalam penyusunan RUU KUHAP.

Dia menyebutkan penerapan restorative justice juga sebuah upaya dari kejaksaan untuk menyesuaikan pergeseran paradigma yang berkembang pada masyarakat Indonesia, yang sebelumnya keadilan retributif (pembalasan) menjadi keadilan restoratif.

Namun dia menegaskan hanya tindak pidana tertentu yang dapat dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Diantaranya, tutur Hari, yaitu tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun, serta barang bukti
atau nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2,5 juta.

“Pelaksanaannya juga harus melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil,” ucapnya.

Selain itu, kata dia, menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula meliputi penyelesaian perkara-perkara kecil (trivial case) atau perkara yang mungkin diselesaikan dengan perdamaian.(muj)